Editorial Tempo.co
---
KITAB Undang-Undang Hukum Pidana baru membuat rakyat Indonesia laksana hidup di ruang kaca. Setiap gerak-gerik individu dikontrol ketat oleh negara, bahkan melalui pemidanaan masalah privat seperti urusan “kamar tidur”. Turut campur dan mengatur privasi warga negara sama artinya dengan pelanggaran hak asasi.
Dalam KUHP yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah pada 6 Desember 2022 lalu, aturan soal campur tangan negara terhadap urusan personal ada di pasal 411 dan pasal 412. Kedua pasal tersebut mengatur sanksi pidana untuk seks di luar nikah dengan ancaman hukuman penjara 1 tahun dan perbuatan kohabitasi atau pasangan yang tinggal satu atap tanpa ikatan pernikahan dengan ancaman bui 6 bulan. Berlaku efektif tiga tahun setelah diundangkan, KUHP baru ini merupakan bentuk kemunduran demokrasi Indonesia.
Negara yang menjunjung tinggi demokrasi semestinya mengedepankan perlindungan hak privat rakyatnya, bukan justru mengekang kebebasan personal dengan kriminalisasi. Negara seharusnya hanya mengatur apa yang terjadi di ruang publik, demi menjaga ketertiban hidup bersama. Sepanjang menyangkut privasi, kewajiban negara adalah melindungi, bukan malah mengintervensinya. Apalagi konstitusi kita telah menjamin perlindungan atas privasi. Pelbagai kovenan internasional pun, misalnya Universal Declaration of Human Rights Pasal 12, telah menyamakan pelanggaran atas privasi sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Negara tidak boleh terjebak pada legalisme karena akan menjadi pemerintahan otoriter berbalut agama. Ajaran agama yang semestinya privat tak seharusnya menjadi ranah publik. Produk hukum ini menjadi gambaran bagaimana politik konservatisme kini dipakai untuk mendulang popularitas. Mendekati pemilihan umum 2024, partai maupun tokoh politik bisa menjadikan dua ketentuan yang mengatur urusan privat ini sebagai bahan klaim kepada konstituen bahwa mereka sudah menciptakan produk hukum yang bisa membuat Indonesia lebih bermoral. Di tengah masyarakat yang kian konservatif, urusan seks di luar nikah dan kohabitasi adalah isu populer.
Dalih DPR dan pemerintah bahwa kedua pasal itu berlaku jika ada yang melapor jelas alasan yang prematur. Dengan pemidanaan seks di luar nikah dan kohabitasi, undang-undang ini bisa menjadi celah kalangan tertentu bahwa dua urusan personal tersebut masuk ranah kepentingan umum. Dengan alasan kepentingan umum itulah mereka merasa berhak melakukan persekusi atau penggerebegan terhadap tindakan seks di luar nikah dan kohabitasi. Bahkan bisa saja mereka mendesak pasangan, orang tua atau anak untuk melapor ke polisi atas tindakan tersebut.
Tanpa undang-undang ini saja sudah banyak korban persekusi dan penggerebegan. Misanya, pada Januari 2020, anggota DPR Andre Rosiade yang ikut menjebak pekerja seks di sebuah kamar hotel untuk membuktikan adanya praktik prostitusi online di Padang. KUHP baru ini memberi legitimasi bagi berbagai kelompok masyarakat untuk menjadi polisi moral. Jadi bukan hanya polisi, masyarakat umum berpotensi main hukum sendiri. Semua orang saling mengawasi dan saling menghakimi sehingga ada potensi konflik di masyarakat.
KUHP baru ini juga mengancam kelompok tertentu di masyarakat yang status pernikahannya tak tercatat negara. Misalnya karena permasalahan ekonomi, kendala geografis, maupun karena kesalahan administrasi. Seperti diatur Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, negara menyatakan pernikahan yang sah adalah yang tercatat dalam administrasi kependudukan. Mereka yang masuk Kelompok rentan ini adalah masyarakat adat, masyarakat terpencil, atau pun masyarakat miskin yang pernikahannya sering kali tidak disahkan oleh negara.
Dua pasal karet di KUHP baru itu juga bisa menyuburkan kelompok intoleran. Alih-alih menciptakan ketertiban dan kenyamanan di masyakarat, produk hukum ini justru memunculkan ketakutan tak hanya bagi warga negara Indonesia tapi juga negara lain atau orang asing. Australia dan Amerika Serikat bahkan mengecam pemidanaan kebebasan privat ini. Mereka khawatir warganya yang tinggal atau sedang melancong ke Indonesia menjadi korban aturan di KUHP tersebut. Walhasil, Indonesia dianggap tak menarik bagi investor dan turis asing.
Karena begitu bahayanya dua pasal tersebut di KUHP baru, semua saluran harus dipakai untuk menganulir ketentuan itu. Terutama melalui uji materi kepada Mahkamah Konstitusi. Masih ada waktu tiga tahun sebelum undang-undang itu berlaku. Pasal moral tersebut harus hilang dari KUHP karena kebebasan mendasar menyangkut urusan privat sudah selayaknya tak disandera negara dengan alasan apapun.