Abuse of Power yang dipamerkan DPR dalam memberhentikan secara mendadak Aswanto akan menjadi catatan sejarah, pelanggaran konstitusi yang nyata, dan perusakan sistem ketatanegaraan kita yang dilakukan oleh pemerintah. Mengatakan bahwa pelanggaran itu hanya dilakukan oleh DPR rasanya kurang pas karena presiden pada ujungnya menyetujui penggantian dan dari latar belakang yang muncul, penggantian memang dimaksudkan untuk memberikan jalan mudah bagi kebijakan-kebijakan pemerintah yang selama ini dianggap terhambat oleh putusan-putusan Aswanto di MK.
Dari segi ketatanegaraan penggantian Aswanto oleh Pemerintah ini sebenarnya menunjukkan gejala berbahaya bagi demokrasi. Kekuasaan mencoba membatalkan kedaulatan. Kekuasaan lupa akan kedaulatan. Padahal kedaulatan yang melahirkan kekuasaan dalam negara merdeka. Kekuasaan yang membentuk kedaulatan pada negara yang belum merdeka, sehingga antarkekuasaan itu akan bertarung mencari dasar pembenaran atas kekuasaan yang terjadi. Melebarnya kekuasaan hingga menekan kedaulatan adalah ciri dari negara-negara otoritarian.
Peter Albrecht dan Helene Maria Kyed, dalam Policing and Politics of Order Making, melakukan studi empiris di Filipina dan Afrika Selatan, menyatakan concentrate power dan consolidating particular power position yang membuat plural policy diproduksi, dijadikan orkestra dan dipersaingkan. Jalinan relasi yang terkumpul menghasilkan konsentrasi kekuasaan yang biasanya dalam sejarah otoritarianisme mendorong pemerintahan untuk lepas dari kontrol dan mengalami privatisasi.
Dalam sejarah Indonesia, sejak kemerdekaan, kekuasaan di Indonesia terakumulasi di tangan presiden dan wakilnya. Gulungan konsentrasi kekuasaan terpecah saat Hatta mengeluarkan Maklumat X Tahun 1945 tentang multipartai, terakumulasi saat ide presiden seumur hidup digagas. Terpecah dalam partikular saat Kudeta 1965, terakumulasi pada 1966 meskipun naskah asli Supersemar tidak pernah ditemukan.
Orde baru menggunakan dasar pembenaran rechtstaat dalam machtstaat yang dibangun. Saat reformasi, kekuasaan yang terakumulasi tidak sebenarnya hancur hingga ke akarnya, seperti sisa orde lama ke orde baru. Kekuasaan yang tersisa pasca reformasi mengkonsolidasikan diri mencari atau membentuk posisi kekuasaan.
Partai di era orde baru tetap melenggang, pelanggaran HAM masa lalu tidak terselesaikan tuntas, namun formalitas, karena tujuannya bukan menyelesaikan HAM namun berorkestra dalam kekuasaan, dengan memainkan para korban-korban pelanggaran HAM masa lalu.
Era reformasi memberikan gagasan reformasi birokrasi dan percepatan penyelesaian tuntutan rakyat. Jadi, sembari lembaga yang lama diperbaiki, dibentuk lembaga-lembaga baru, yaitu extra auxiliaries body. Catatan Tempo Tahun 2020 dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara terdapat 98 lembaga non-struktural dengan rincian 71 lembaga dibentuk berdasarkan undang-undang, enam lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah dan 21 lembaga yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden/Peraturan Presiden.
Meskipun perluasan ini dirampingkan dengan membubarkan 10 (sepuluh) lembaga melalui Peraturan Presiden 112 Tahun 2020, 7 (tujuh) lembaga baru dibentuk. Jadi, jika jujur, pola ini adalah pengalihan semata bukan efektivitas kelembagaan.
Lembaga-lembaga ini menghadirkan simpul yang superior di titik DPR yang kewenangannya tidak terkendali, kecuali oleh batas waktu. Mahkamah Konstitusi, yang kewenangannya seolah di atas kewenangan lembaga negara lain, karena salah satu fungsinya menyelesaikan sengketa antar lembaga negara dan tidak terjamah oleh kontrol lembaga lainnya, misalnya Komisi Yudisial.
Di era Jokowi, peran strategis ini adalah partikular kunci dalam proses memainkan checks and balances. Di dalam proses ini ada upaya mengkonsolidasikan kekuasaan dengan cara melemahkan semua kritik dan perlawanan. Ketika oposisi telah ditaklukkan dalam kabinet, DPR diisi dengan partai-partai yang klientalistik terhadap pemerintah sebagai patronnya. Di saat yang sama mekanisme parlementary threshold mengamankan eksistensi dan kepentingan partai-partai yang membeo, untuk terus memegang kendali.
Selain secara prinsipiil merusak sistem ketatanegaraan demokratis, preseden ini juga merefleksikan bahaya lain dalam desain institusional kita yakni:
- Superioritas pemerintah dan melemahnya fungsi pengawasan serta kehakiman.
- Menguatnya kartel legislatif yang merambah sistem politik, hukum dan ketatanegaraan.
Lembaga negara yang menjadi organ kekuasaan mulai dari eksekutif merambah ke legislatif hingga mempengaruhi extra auxiliaries body dan merambah pada Mahkamah Konstitusi. Barangkali desain orkestra kekuasaan ini belum berakhir dan akan berlanjut pada rencana yang akan me-redesign pengaturan lembaga dan pihak-pihak dalam lembaga lain.
Perubahan Undang-undang Mahkamah Konstitusi tentang masa jabatan hakim konstitusi, Pemecatan hakim Aswanto dan pelantikan penggantinya adalah bentuk intervensi yang nyata dalam proses ini, kartel kekuasaan.
Sistem presidensial yang berlangsung tanpa oposisi yang sebanding, tidak mengimbangi kekuasaan presiden. Dominasi ini tidak sehat dan mempengaruhi fungsi presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Bentuk pemerintahan semacam ini seirama dengan presiden seumur hidup, persatuan ala sate, seperti konsep Soekarno yang dikritik Hatta tahun 1932.
Kedaulatan ada dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedaulatan itulah rakyat. Ada atau tanpa konstitusi, yang supreme adalah rakyat, namun tidak berarti bahwa yang mewakili rakyat itu adalah rakyat. Perwakilan adalah utusan yang tak ayal seperti tukang pos, maka tentu tukang pos tidak boleh membuka surat, apalagi merubahnya. Kedaulatan rakyat dalam pemerintahan republik memiliki jaminan virtue. (Robert, 2008).
Ya, kekuasaan melupakan kedaulatan, membentuk twilight institution (Lund, 2006) serta rule by law, bukan rule of law (Mudhoffir, 2021). Dan pola ini mengabadikan kekuasaan seperti kunyahan kacang yang tidak berhenti. Kekuasaan DPR dalam memberhentikan hakim Aswanto, adalah pelanggaran konstitusi. Pelanggaran konstitusi yang dibenarkan oleh Presiden melalui pelantikan hakim Guntur. Dan pengesahan RKUHP adalah cerita lanjutan dari orchestra kacang yang lupa kulitnya ini. Mahkamah Konstitusi akan menjadi tempat pembuangan akhir aduan pelanggaran hak konstitusional, sekaligus gladiator yang memupuskan harapan para pencari keadilan.