Editorial Tempo.co
-----------------
Pemberian sanksi sosial seperti membaca Alquran bagi pelanggar lalu lintas setelah tilang manual ditiadakan adalah tindakan salah kaprah. Ketimbang memberikan sanksi yang aneh-aneh, polisi sebaiknya memberikan edukasi tentang aturan lalu lintas kepada pelanggar sembari memberikan sosialisasi penerapan sistem tilang elektronik atau electronic traffic law enforcement (ETLE).
Sanksi membaca Alquran tersebut diterapkan Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Bogor, Jawa Barat, pada 26 Oktober lalu, saat menindak para pelanggar lalu lintas di sekitar pos polisi Simpang Pemda. Ada 31 pelanggar lalu lintas yang diberi sanksi membaca Alquran. Kepolisian Resor Bogor bahkan melibatkan tokoh agama saat pemberian sanksi tersebut. Berdalih sebagai upaya meningkatkan kesadaran hukum masyarakat di jalan raya, Polres Bogor memberlakukan sanksi ini setelah tilang manual ditiadakan.
Dua hari berselang, polisi menggelar razia di lokasi yang sama. Kali ini, selain membaca Alquran, puluhan pelanggar lalu lintas yang terjaring operasi tersebut diminta menyebutkan Pancasila dan Sumpah Pemuda. Hari itu memang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober. Dengan pemberlakuan tilang elektronik, mustinya razia dan penindakan di lapangan sudah tak diberlakukan. Tilang elektronik diberlakukan agar kontak fisik polisi dan pelanggar lalu lintas tak terjadi guna mencegah praktik pungutan liar atau kongkalikong di jalan.
Sanksi bagi pelanggar lalu lintas seperti dengan membaca alquran juga tak akan memberikan efek jera atau menumbuhkan kesadaran hukum. Membaca Alquran bagi umat muslim adalah ibadah, bukan tindakan yang merupakan bentuk sanksi atau hukuman. Di sinilah salah kaprahnya. Penerapan sanksi tersebut juga rancu karena tilang merupakan sanksi pelanggaran di ranah publik, adapun membaca Alquran itu urusan privat.
Keputusan Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo meniadakan tilang manual patut diapresiasi. Larangan tilang manual ini tercantum dalam Instruksi Kapolri tertuang dalam Surat Telegram Nomor: ST/2264/X/HUM.3.4.5./2022 pada 18 Oktober 2022. Sebagai gantinya, diberlakukan tilang elektronik dengan ETLE statis maupun mobile. Agar kebijakan ini bisa berjalan dengan baik, polisi mustinya mengedepankan sosialisasi kepada pengguna jalan dengan pendekatan senyum, sapa, salam seperti instruksi Kapolri, bukan justru memberi sanksi sosial yang nyeleneh.
ETLE merupakan implementasi teknologi dengan mencatat berbagai pelanggaran lalu lintas secara elektronik. Teknologi itu mendukung keamanan, keselamatan dan ketertiban dalam berlalu lintas. ETLE tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 272 menyebutkan, untuk mendukung penindakan pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan bisa digunakan peralatan elektronik.
Penerapan ETLE menggunakan 243 kamera statis dan 10 kamera mobile sudah dilakukan di 12 kepolisian daerah. Peralatan tersebut bakal bertambah di 14 kepolisian daerah dengan 28 kamera statis dan 2 kamera mobile. Dengan begitu, sudah 26 Polda yang menerapkan ETLE.
Informasi dari Direktorat Penegak Hukum Korps Lalu Lintas Polri, setidaknya kini sudah ada 281 kamera statis. Kemudian 800 lebih kamera mobile yang berbasis hand held atau peranti bergerak, dan 50 ETLE mobile yang menggunakan mobil. Hasil ETLE bisa digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Teknologi seperti ini memungkinkan polisi dan pelanggar lalu lintas tak perlu bertemu sehingga bisa mencegah pungutan liar atau sogokan di jalan.
Bagi titik-titik di jalan yang belum memiliki ETLE statis atau mobile, polisi lalu lintas harus mengedepankan teguran yang bertujuan memberikan edukasi bagi mereka yang masih melanggar. Teguran tersebut harus untuk meningkatkan kesadaran hukum di jalan. Di sinilah titik rawan terjadinya penyimpangan baik oleh polisi maupun pelanggar lalu lintas.
Oleh karena itu, pengawasan dan sanksi tegas bagi polisi yang tetap melakukan tilang manual, apalagi disertai denda "damai", amatlah penting. Tanpa itu semua, penerapan tilang elektronik sebagai upaya menghilangkan pungutan liar atau sogokan di jalan sama saja seperti menegakkan benang basah.