Editorial Tempo.co
---
BANJIR besar yang menyerang sejumlah daerah dan nyaris terjadi saban tahun menjadi penanda pemerintah gagal mendiagnosa penyebabnya. Situasi buruk ini diperparah lagi tidak ada mitigasi ketika bencana itu tiba, yang berujung timbulnya korban nyama.
Pekan lalu, banjir kembali melanda dan sudah merenggut nyawa di Jakarta, Bengkulu, dan Aceh. Bencana ini kemungkinan akan berlanjut ke banyak daerah lain, karena cuaca ekstrem diprediksi baru akan mencapai puncaknya pada Desember 2022 ini, hingga awal tahun 2023.
Dalam sepuluh tahun terakhir, banjir begitu mudah terjadi di banyak daerah. Bencana itu datang, seiring masuknya musim hujan. Alih-alih melakukan antisipasi, langkah mitigasi dari pemerintah selalu terlambat. Tak hanya itu, para pengambil kebijakan seolah abai bencana berulang itu setiap tahun semakin parah karena faktor pemanasan global. Kondisi sekarang, yang membuat musim panas dan hujan sudah tak jelas batasnya dan intensitasnya di luar kenormalan, usaha yang lebih dari biasanya seharusnya dilakukan.
Pemerintah pusat dan daerah seperti terjebak dalam rutinitas tanpa ada kepekaan terhadap krisis. Tak ada usaha-usaha nyata dan lebih untuk mencegah banjir. Di kota, gorong-gorong banyak yang tak terurus, bahkan banyak jalan raya tak dilengkapi gorong-gorong yang memadai.
Sungai-sungai menyempit dibiarkan saja. Daerah resapan yang terus tergerus pembangunan juga tak bisa dicegah. Daerah-daerah cekungan yang sudah diprediksi akan mudah tergenang tak dicarikan solusi agar tak banjir.
Dampak kondisi cuaca ekstrem saat ini diperparah dengan pembangunan yang serampangan: penduduk dibiarkan membangun semaunya tanpa ada pengawasan dan pengetatan perizinan, bangunan-bangunan hunian, sekolah, dan kantor berdiri tanpa ada kontrol soal aspek keselamatannya baik dari aspek kualitas bangunan atau kelayakan menghadapi ancaman bencana dari sekitar. Faktor ini yang jadi penyeban hilangnya tiga nyawa dalam banjir di Madrasah Tsanawiyah Negeri 19 Jakarta.
Soal banjir Jakarta dan sekitarnya, Presiden Joko Widodo pernah bilang kalau dia presiden bisa diatasi tapi kenyataannya banjir masih terus terjadi. Mengurus banjir, terutama di Jakarta dan sekitarnya, memang harus menyeluruh, tak bisa parsial. Tapi usaha untuk mencegah dan memitigasi banjir seperti tak pernah optimal.
Salah satu pertimbangan ibu kota negara dipindahkan ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, adalah beban Jakarta yang begitu berat ditambah dengan kondisi alam yang kurang menguntungkan. DKI Jakarta sudah menjadi bagian dari banjir, dan rob. Belum lagi kemacetan, dan intrupsi air laut yang diperkirakan sudah mencapai Jakarta Pusat.
Sialnya, pindahnya ibu kota negara juga dilakukan semborono. Ancaman terhadap tata air yang salah satunya menyangkut sistem hidrologi, tak dihitung secara matang. Kehadiran ibu kota negara malah memperparah bencana ekologis dan merampas wilayah kelola rakyat. Banjir yang menghajar wilayah lingkar satu ibu kota negara pada Agustus lalu, dan pada akhir 2021, mempertegas wilayah itu tidak layak jadi lokasi ibu kota negara.
Krisis iklim kian memperparah banjir karena telah mengakibatkan kenaikan curah hujan dan muka air laut jadi tinggi saat pasang. Hilangnya desa di Demak yang berbatasan dengan Semarang adalah akibat perubahan iklim, ditambah imbas reklamasi di wilayah itu. Krisis iklim yang mengakibatkan air laut tinggi, dan turunnya permukaan tanah juga menjadi sebab hilangnya Kampung Muarajaya di Kabupaten Bekasi.
Perlu usaha lebih keras lagi dari untuk mengatasi kondisi buruk ini. Mitigasi jangka pendek dan jangka panjang perlu dilakukan di semua daerah, lebih dari sebelumnya. Pengadaan dan pemeliharaan saluran air, normalisasi sungai, juga usaha memperbanyak daerah resapan perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dalam jangka panjang, pembangunan berbasis ekologi harus jadi pilihan.