Editorial Tempo.co
---
DI Stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang, kita tak hanya membaca statistik kematian, tapi tragedi kemanusiaan. Tindakan represif polisi menangani kerusuhan penonton pertandingan sepak bola membuat 174 penonton laga Arema Malang dan Persebaya Surabaya di seri BRI Liga 1 tewas. Tak hanya memakai kekerasan, polisi juga menembakkan gas air mata ke arah tribun yang disesaki 40.000 orang.
Melepaskan gas air mata ke arah penonton dalam stadion yang rusuh sangat terlarang. FIFA, asosiasi sepak bola internasional, menyatakan dengan jelas larangan itu dalam pasal 19 Regulasi Keamanan dan Pengamanan Stadion. Referensinya adalah tewasnya 328 penonton dalam pertandingan Argentina-Peru pada 24 Mei 1964.
Hingga kini korban tewas di Estadio Nacional Lima itu menjadi rekor terbanyak kematian suporter pertandingan sepak bola. Kematian ratusan penonton di ibu kota Peru itu juga terjadi karena mereka terinjak ketika rebutan keluar stadion menghindari cara represif polisi mencegah kerusuhan dengan gas air mata. Peringkat kedua, sebelum tragedi Kanjuruhan, terjadi di Accra Sports Stadium di Ghana pada 9 Mei 2001.
Polisi Indonesia mungkin tak membaca tragedi-tragedi kematian penonton sepak bola atau tak peduli bahwa sepak bola—sebagai olah raga paling digemari di dunia—punya aturan ketat dalam menangani kerumunan penonton. Pertandingan Arema dan Persebaya disebut juga Super Derby Jawa Timur karena kedua kesebelasan adalah “musuh bebuyutan”.
Maka polisi seharusnya sudah mengantisipasi sejak awal pertandingan genting ini. Apalagi selama 23 tahun Arema tak pernah kalah jika main di kandang sendiri. Kekalahan Arema 2-3 atas Persebaya dalam pertandingan 1 Oktober 2022 malam itu membuat penonton tak puas.
Itulah yang terjadi di Kanjuruhan. Alih-alih siap menangani penonton kecewa yang menginvasi lapangan setelah pertandingan usai, polisi masuk ke dalam stadion dengan menyamakan suporter sebagai perusuh demonstrasi. Dari sini, kita patut cemas bahwa kultur kekerasan di polisi kita telah begitu melekat. Mereka menyamakan segala jenis kerumunan sehingga penanganannya pun sama, yakni membubarkan massa dengan gas air mata—meski sasaran kemarahan penonton, yaitu pemain Persebaya, sudah tak ada di lapangan
Pernyataan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Nico Afinta mengonfirmasi minimnya pengetahuan polisi menangani pertandingan sepak bola. Nico mengatakan pemakaian gas air mata sesuai prosedur mencegah penonton berbuat anarki. Ia bahkan dengan enteng menjelaskan penyebab kematian penonton, yakni sesak napas dan terinjak karena berebut keluar stadion akibat panik melihat tembakan polisi.
Tragedi ini harus diusut. Jika melihat petinggi polisi seperti Nico Afinta saja berpandangan keliru soal gas air mata, Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit harus membentuk tim penyelidik independen mengusut kematian ini. Pernyataan Presiden Joko Widodo sudah benar ketika ia memerintahkan menghentikan sementara Liga 1 selama pengusutan ini berlangsung.
Tim independen tak hanya harus memeriksa tindakan kekerasan polisi dan tentara serta tak mengantisipasi pertandingan dua kesebelasan dengan suporter fanatik. Ofisial Liga 1 juga harus diperiksa karena mereka menolak permintaan panitia pertandingan memajukan waktu pertandingan lebih siang dengan alasan keamanan hanya karena hak siar. Panitia juga harus diusut karena mencetak tiket melebihi kapasitas aman stadion.
Tak hanya memastikan penyebab jatuhnya korban jiwa, tim independen mesti menghasilkan rekomendasi standar prosedur operasi bagi penyelenggara Liga 1. Pertandingan di Kanjuruhan ini baru berlangsung 11 putaran dari 34 hingga 2023. Rekomendasi ini penting untuk mencegah kejadian serupa dalam pertandingan-pertandingan bergengsi dua klub sepak bola.
Sebelum tragedi Kanjuruhan, ada daftar panjang kematian penonton akibat penanganan polisi dan panitia yang keliru mengelola pertandingan. Juni lalu dua pendukung Persib tewas terjatuh saat berdesakan menonton pertandingan klub kesayangannya melawan Persebaya dalam Piala Presiden 2022 di Gelora Bandung Lautan Api. Dari 15 ribu batas aman penonton, stadion berkapasitas 38 ribu itu penuh sesak.
Tanpa evaluasi menyeluruh seluruh ofisial hingga pengurus PSSI, penanganan salah mengelola pertandingan sepak bola seperti di Kanjuruhan akan terus terulang. Sepak bola yang seharusnya mempersatukan kegembiraan berakhir menjadi tragedi kemanusiaan.