Kejahatan seperti ini tidak sering terjadi di darat. Sebuah video berdurasi 10 menit dari kamera ponsel memperlihatkan pembantaian terhadap sekelompok pria tak bersenjata, satu-satu berjatuhan ke laut, bergantian dibunuh, dan para pelaku yang kemudian berpose merayakannya. Satu-satunya hal yang lebih mengejutkan dari rekaman ini adalah tidak adanya sikap dari pemerintah.
Kasus ini memperlihatkan tantangan nyata dalam mengusut kejahatan-kejahatan di lautan lepas dan menjadi alasan kekerasan di laut sering lepas dari jerat hukuman. Setidaknya ada empat kapal di lokasi kejadian saat itu, tapi tidak ada aturan yang mewajibkan puluhan saksi mata untuk melaporkan pembantaian tersebut, dan memang tidak ada yang melaporkannya. Pihak berwajib mengetahui pembunuhannya setelah video sadis itu muncul dalam telepon genggam yang tertinggal di sebuah taksi di Fiji pada 2014.
Hingga kini, identitas para korban dan alasan mereka dibantai masih belum jelas. Beberapa kasus pembunuhan yang mirip selalu terjadi tiap tahun–beberapa kelasi yang berada di kapal ketika video tersebut direkam mengakui mereka pernah menyaksikan pembantaian serupa pekan sebelumnya.
Masih sangat sulit untuk menilai jumlah pembunuhan keji–dan kematian di laut secara umum. Perkiraan kasar pada umumnya adalah sekitar 32.000 korban per tahun. Statistik ini menjadikan industri penangkapan ikan komersil salah satu profesi paling berbahaya di planet ini. Menurut penelitian oleh FISH Safety Foundation dan didanai oleh PEW Charitable Trust bahkan menemukan lebih dari 100.000 kematian per tahun, atau rata-rata lebih dari 300 dalam sehari.
“Alasan angka hilangnya nyawa yang signifikan ini salah satunya adalah kurangnya kerangka legislatif keselamatan yang komprehensif dan pendekatan terkoordinasi untuk mempromosikan keselamatan di laut, terutama di sektor perikanan,” mengutip sebuah laporan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, meski melacak angka kematian berdasarkan profesi, PBB tidak menunjukkan berapa banyak dari kematian ini berasal dari kecelakaan, penelantaran atau kekerasan yang dapat dihindari.
Kebrutalan di armada penangkapan ikan perairan lepas dan hubungannya dengan praktek kerja paksa telah menjadi rahasia umum. Sebuah laporan yang dirilis pada bulan Mei oleh Rights Lab Universitas Nottingham menunjukkan bahwa pekerja migran di kapal penangkap ikan Inggris secara sistematis bekerja terlalu keras, dibayar rendah sementara lebih dari sepertiga pekerja mengatakan mereka mengalami kekerasan fisik.
Pada 2020, sebuah tim peneliti menggunakan pelacakan data satelit dari sekitar 16.000 kapal penangkap ikan guna memperkirakan berapa banyak orang yang berisiko menjadi subjek praktek kerja paksa berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh Organisasi Perburuhan Internasional PBB. Hasilnya, hingga seperempat atau sekitar 100.000 orang berisiko tinggi menjadi korban kerja paksa, menurut penelitian yang diterbitkan dalam jurnal PNAS.
Direktur Yayasan Keadilan Lingkungan, Steve Trent, mengungkap wawancara stafnya dengan 116 awak kapal Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan dari China, yang memiliki armada perikanan laut lepas terbesar di dunia. Organisasi ini menemukan sekitar 58 persen pernah melihat atau mengalami kekerasan fisik.
Mengatasi tindak kekerasan dalam industri penangkapan ikan komersial termasuk sulit karena begitu sedikit data yang tersedia atau diketahui publik. Dan karena tiap masalah hanya dapat diatasi jika terdata atau disaksikan, kurangnya data yang terkspos ke publik ini merupakan hambatan utama untuk mengatur industri tersebut.
Kasus pembunuhan yang diabadikan video ponsel termasuk kasus yang tidak lumrah karena pelaku dan kapal akhirnya mampu diidentifikasi. Trygg Mat Tracking, sebuah perusahaan riset Norwegia yang berfokus pada kejahatan maritim, mengungkap bahwa kapal didalam video itu adalah Ping Shin 101 berbendera Taiwan setelah membandingkan rekaman video dengan gambar dalam database maritim. Mantan kru geladak Ping Shin ditemukan melalui posting Facebook dan di platform media sosial lainnya setelah mereka mendiskusikan pengalaman mereka di kapal. Wawancara dengan beberapa di antara mereka yang menyaksikan kejadian tersebut, mengungkap identitas kapten dan rincian pembunuhan tragis tersebut.
Setelah membawa identitas korban dan kapal pada 2015 dan 2016 kepada otoritas Taiwan, mereka menduga kuat para korban merupakan bagian dari serangan bajak laut yang gagal. Tetapi analis keamanan maritim mencatat bahwa klaim pembajakan telah digunakan untuk membenarkan kekerasan untuk berbagai pelanggaran, terlepas memang itu faktanya atau bukan. Para korban, kata mereka, mungkin adalah awak kapal yang memberontak, pencuri yang tertangkap basah, atau sekadar persaingan antarnelayan.
Setelah tekanan dari publik dan media selama bertahun-tahun, pemerintah Taiwan akhirnya mengeluarkan surat perintah penangkapan kapten Ping Shin 101, Wang Feng Yu, yang memerintahkan pembunuhan. Pada tahun 2021, ia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 26 tahun penjara.
Kasus-kasus pembunuhan semacam itu akan terus ada sebelum sistem pengawasan lepas pantai diperbaiki. Transparansi identitas bendera dan perusahaan perikanan, dan lebih banyak upaya pemerintah untuk menuntut para pelakunya harus lebih baik juga. Dan ini penting karena apa yang terjadi di laut mempengaruhi semua orang. Menurut beberapa analisa, lebih dari 90 persen perdagangan dunia digerakkan oleh laut dan makanan laut merupakan sumber protein utama bagi sebagian besar dunia.
Apa yang bisa dilakukan? Advokat, penegak hukum, dan peneliti menyarankan empat langkah.
Laporkan kekerasan. Peneliti hak asasi manusia menyarankan bahwa pemilik kapal dan awak kapal harus secara hukum diwajibkan untuk melaporkan kejahatan di laut. Data yang dihasilkan tidak boleh disimpan secara pribadi oleh perusahaan asuransi atau pendaftar bendera kapal, tetapi harus tersedia untuk umum.
Regulasikan para pendaftar. Kapal-kapal laut lepas mematuhi aturan negara-negara darimana bendea mereka dikibarkan. Flag of convenience, yaitu praktek penggunaan bendera yang tidak sesuai negara asal yang sebenarnya, sering kali memberikan perlindungan untuk perilaku ilegal, termasuk kekerasan yang dialami para kru. Perusahaan makanan laut harus mewajibkan kapal penangkap ikan yang memasok mereka hanya mengibarkan bendera dengan standar akuntabilitas dan transparansi yang paling ketat.
Larangan transshipment. Kerja paksa dan kejahatan dengan kekerasan lebih sering terjadi pada kapal penangkap ikan yang melaut lebih lama, dan hal tersebut dimungkinkan oleh transshipment, di mana kapal pemasok membawa hasil tangkapan kembali ke pantai sehingga kapal penangkap ikan dapat tetap bekerja. Memaksa kapal kembali ke pantai lebih cepat membantu membatasi kerja paksa atau perdanganan illegal pekerja, dan ini akan memungkinkan perusahaan dan pemerintah untuk memeriksa kekerasan atau kondisi kerja yang buruk.
Memantau agen tenaga kerja. Pembeli makanan laut dan perusahaan perikanan harus membersihkan rantai pasokan mereka dengan mewajibkan agen yang merekrut, membayar, dan mengangkut kru membuat salinan digital kontrak yang menunjukkan upah dan melarang taktik perdagangan umum seperti jeratan utang, biaya perekrutan di muka, atau penyitaan paspor.
Harapan yang beralasan. Satelit mempersulit penggelapan kapal dan menyulitkan pelaku menyembunyikan kejahatan mereka. Ponsel memudahkan awak kapal untuk mendokumentasikan kekerasan. Meningkatnya penggunaan rekaman sumber terbuka oleh jurnalis telah meningkatkan kesadaran publik akan pelanggaran hak asasi manusia dan perburuhan di kalangan lepas pantai. Sekarang, semua kembali kepada perusahaan dan pemerintah untuk menjalankan porsi mereka dalam solusi ini.
---
Ian Urbina adalah Direktur The Outlaw Ocean Project, yaitu sebuah organisasi jurnalisme nirlaba yang berfokus pada masalah lingkungan dan hak asasi manusia di laut. Pembunuhan di Ping Shin 101 adalah subjek dari episode pertama seri podcast baru, The Outlaw Ocean, dirilis oleh CBC dan Los Angeles Times.