Editorial
---
SUNGGUH berat menjadi pengguna jalan raya di negeri ini. Bukan hanya yang berkendara, yang berjalan kaki dengan tertib, bahkan yang tengah menunggu bus di halte, pun tak lepas dari risiko kecelakaan, ditabrak kendaraan besar seperti truk. Tragedi seperti ini terus berulang tapi belum ada upaya sungguh-sungguh dari pemerintah maupun kepolisian untuk mengatasinya.
Sebuah truk trailer menabrak halte dan menara BTS (base tranceiver station) di Bekasi pada Rabu lalu, menewaskan 10 orang. Empat di antaranya adalah siswa sekolah dasar yang sedang menunggu jemputan pulang sekolah. Truk berkapasitas 20 ton milik PT Wilmar Nabati Indonesia yang tengah mengangkut beban 55 ton itu kehilangan kendali saat melewati jalan turunan dengan kecepatan tinggi.
Ini bukan kecelakan truk yang pertama. Sejak awal tahun ini, setidaknya ada 10 kecelakaan yang melibatkan truk. Mayoritas disebabkan oleh rem blong dan kelebihan muatan. Sebagai contoh, pada pertengahan Juli lalu, truk tangki Pertamina kecelakaan di Cibubur dan menewaskan 11 orang. Sebelumnya, pada 21 Januari, sebuah truk tronton menyebabkan lima orang tewas di Balikpapan.
Berbagai kecelakaan ini menunjukkan betapa longgarnya pengawasan terhadap truk dan angkutan jalan raya pada umumnya. Kendaraan angkutan yang tak layak jalan dengan mudah terus beroperasi dan membahayakan masyarakat.
Semestinya pemerintah, melalui Dinas Perhubungan, memiliki sistem uji berkala yang efektif untuk memastikan keamanan kendaraan umum sejak sebelum meluncur di jalan raya. Sistem ini harus bisa memastikan tak ada lagi ruang kongkalikong antara sopir atau pemilik truk dengan aparat di lapangan untuk meloloskan kendaraan yang serfitikat uji layak jalannya sudah kedaluwarsa.
Pada kasus kecelakaan, pengusutannya jangan berhenti pada pengemudi. Jika terbukti kecelakaan terjadi karena kerusakan pada kendaraan seperti rem blong, atau pelanggaran muatan, maka polisi juga mesti menuntut pertanggungjawaban perusahaan dan pemilik kendaraan.
Tapi penegakan hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Urusan pemilik truk selalu dianggap selesai usai membayar biaya pengobatan dan biaya pemakaman korban. Belum pernah ada upaya menjerat pemilik truk, sementara pengemudi truk selalu dijadikan tersangka dalam kasus kecelakaan semacam ini.
Rantai kecelakaan maut yang terus berulang ini mesti diakhiri. Temuan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) pada kasus kecelakaan di Bekasi seharusnya ditindaklanjuti kepolisian dengan menjerat pemilik kendaraan agar ikut bertanggung jawab. Tidak mungkin sopir truk berinisiatif sendiri untuk membawa muatan hingga 200 persen di atas kapasitas normal.
Selanjutnya, audit seluruh perusahaan dan pemilik truk yang kendaraannya pernah terlibat kecelakaan. Pastikan mereka mengelola perusahaannya mengikuti standar keamanan dan keselamatan yang berlaku. Kalau perlu cabut izin usaha yang kendaraanya lebih dari tiga kali mengalami kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa lantaran pelanggaran yang disengaja.
Yang juga perlu dilakukan adalah membenahi kondisi jalan dan mengatur lalu lintas dengan lebih baik. Pada kejadian di Cibubur, misalnya, posisi lampu merah di ujung jalan menurun disinyalir merupakan salah satu penyebab kecelakaan truk tangki Pertamina pada pertengahan Juli lalu.
Angka kecelakaan lalu lintas memang turun dalam sepuluh tahun terakhir. Dari 277 kecelakaan pada 2013 dengan 69 orang meninggal, pada tahun ini hingga September jumlah kecelakaan yang tercatat 184 dengan 33 korban meninggal. Tapi pemerintah dan kepolisian semestinya tidak berpuas diri.
Mereka yang tewas tertabrak truk di Bekasi bukan sekadar angka statistik. Setiap mereka adalah warga negara yang berhak mendapatkan perlindungan dari negara. Sudah saatnya pemerintah dan kepolisian bersungguh-sungguh mengawasi keselamatan transportasi umum.