Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Disharmoni Hukum Regulasi Proses Penyidikan Pencucian Uang (Bagian 2)

image-profil

Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Polri/Doktor Hukum Universitas Pelita Harapan

image-gnews
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Rusdi Hartono (kedua dari kiri) didampingi Direktur Tindak Pidana Narkoba (Dirtipidnarkoba) Bareskrim Polri, Brigjen Pol Krisno Halomoan Siregar (tengah) dan Plt Deputi Bidang Pemberantasan PPATK, Aris Priatno (kedua dari kanan) memberikan konferensi pers terkait Tindak Pidana Pencucian Uang hasil kejahatan Narkoba di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis, 16 Desember 2021. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Rusdi Hartono (kedua dari kiri) didampingi Direktur Tindak Pidana Narkoba (Dirtipidnarkoba) Bareskrim Polri, Brigjen Pol Krisno Halomoan Siregar (tengah) dan Plt Deputi Bidang Pemberantasan PPATK, Aris Priatno (kedua dari kanan) memberikan konferensi pers terkait Tindak Pidana Pencucian Uang hasil kejahatan Narkoba di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis, 16 Desember 2021. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Iklan

Pencucian uang telah menimbulkan dampak negatif terhadap tatanan kehidupan, sistem perekonomian, dan keuangan masyarakat. Pencucian uang yang marak akan dapat mengganggu kegiatan sektor swasta yang sah, merongrong integritas pasar keuangan serta dapat menghilangkan kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi. Bahkan pencucian juga dapat mendistorsi ekonomi karena menyebabkan hilangnya pendapatan negara dari penerimaan pajak, membahayakan privatisasi perusahaan negara oleh pemerintah, merusak reputasi negara dan tingginya biaya sosial.

Secara normatif, tindak pidana pencucian uang (TPPU) bukan merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, melainkan sebagai kelanjutan dari tindak pidana asal. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU mengatur kewenangan menyidik pencucian uang oleh penyidik tindak pidana asal. Namun, tidak semua penyidik tindak pidana asal diberikan kewenangan untuk menyidik TPPU. Diantaranya, Polisi Militer, PPNS Kehutanan dan PPNS Perikanan.

Selain itu, penyidikan TPPU juga tidak ditetapkan menjadi kewenangan penyidik tindak pidana asal apabila ancaman hukumannya di bawah empat tahun tetapi melibatkan aset dalam jumlah besar. Dengan pengaturan seperti itu, maka terdapat potensi tumpang tindih kewenangan yang disertai dengan perbedaan penafsiran dan perlakuan dalam penanganan penyidikan TPPU.

Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan proses penyidikan TPPU di Indonesia kurang menjamin kepastian hukum. Untuk itu, diperlukan suatu kajian terstruktur dengan mendasarkan pada kerangka permasalahan sebagai berikut:

  • Bagaimana pengaturan mengenai kewenangan penyidikan TPPU saat ini?
  • Bagaimana implementasi kewenangan penyidikan TPPU?
  • Bagaimana konsep pengaturan kewenangan penyidik POLRI yang ideal untuk mewujudkan penyidikan TPPU yang efektif dan efisien?

Sebagai landasan pemikiran, digunakan tiga teori hukum:

Baca Juga:

Pertama, teori tujuan hukum dari Gustav Radbruch yang berpandangan bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan tiga nilai dasar hukum, yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Kedua, teori efektivitas hukum dari Lawrence M. Friedman yang memandang hukum sebagai sistem sosial yang mengubah input menjadi output melalui peran struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum.

Ketiga, teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo yang berpendapat bahwa hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia untuk hukum. Ini berarti, berhukum tidak bertujuan untuk menerapkan undang-undang tetapi untuk memunculkan keadilan.

Guna menjamin kesahihan gagasan ius constituendum, maka penelitian hukum normatif ini disertai dengan kajian Economic Analysis of Law (EAL), khususnya instrumen Cost Benefit Analysis (CBA) dan Regulatory Impact Assessment (RIA). Kesimpulan penelitian disertasi ini menghasilkan pokok-pokok kesimpulan sebagai berikut:

Pertama

Dalam tatanan global, pengaturan TPPU sebagai perbuatan pidana, baru dilakukan pada tahun 1970 ketika Pemerintah AS mengeluarkan The Bank Secrecy Act. Indonesia pada waktu itu juga tidak mengatur penanganan dan pemidanaan TPPU. Namun, tekanan politik dan desakan internasional sejak krisis ekonomi tahun 1997 memaksa Indonesia untuk menyusun undang-undang tentang TPPU yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dan selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Secara normatif, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 telah menegaskan kedudukan dan kewenangan penyidik tindak pidana asal untuk melakukan penyidikan. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 68 jo. Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Berdasarkan ketentuan tersebut, Kepolisian bukan satu-satunya institusi yang berwenang untuk menyidik TPPU. Bagi institusi Polri, proses penyidikan TPPU mendasarkan pada KUHAP, Undang-Undang Kepolisian, Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 6 Tahun 2019 dan SOP Nomor SOP/10/I/2011/Dit.Tipdeksus. Dalam kaitan ini, proses penyidikan TPPU oleh Penyidik Polri memiliki kaitan dengan kewenangan PPATK yang berwenang menilai ada tidaknya indikasi praktik pencucian uang, Kajian yuridis normatif mengindikasikan bahwa pengaturan mengenai kewenangan penyidikan TPPU memiliki kelemahan karena:

  • Tidak adanya kewajiban Penyidik Tindak Pidana Asal untuk melakukan penyidikan TPPU.
  • Tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai pola dan hubungan tata kerja antara Penyidik Polri dengan penyidik tindak pidana asal lainnya.
  • Tidak jelasnya pengaturan mengenai koordinasi antar institusi Penyidik di lingkungan internal Polri.
  • Tidak adanya pedoman atau panduan pembinaan dan pengembangan profesionalitas, integritas, dan moralitas Penyidik.

Selain itu, terdapat disharmoni pengaturan mengenai kewenangan Penyidik PPNS sebagaimana diatur dalam KUHAP dan Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04-PW.07.03 Tahun 1984 dengan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai yang juga menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama yang terkait dengan kewenangan beberapa institusi penyidik tindak pidana asal untuk melakukan penahanan.

Dalam kaitan ini, Putusan Mahmakah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIX/2021 telah secara tegas dan jelas memberikan kepastian hukum karena seluruh institusi penyidik tindak pidana asal dinyatakan dapat melakukan penyidikan TPPU selama tindak pidana asal yang ditangani sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Sejalan dengan itu, diperlukan pengaturan yang jelas mengenai koordinasi antar institusi penyidik, terutama untuk mencegah penonjolan sikap ego sektoral dan perbedaan penafsiran hukum dalam proses penyidikan TPPU.

Kedua.

Analisis terhadap implementasi kewenangan penyidik Polri dalam penyidikan TPPU pada kasus Ir. Heru Sulastyono, Bank Century dan Labora Sitorus menunjukkan bahwa setiap perkara memiliki karakteristik dan tingkat kesulitan yang berbeda. Hal ini disertai dengan banyaknya praktik TPPU yang melibatkan berbagai bentuk penyiasatan, seperti penempatan dana (placement) dengan memecah jumlah uang tunai kedalam jumlah kecil. Selain itu, pemisahan atau pelapisan (layering) untuk memutus hubungan uang hasil tindak pidana dari sumbernya serta penggabungan (integration) yang dilakukan setelah uang tersebut menjadi halal.

Dalam praktik, terdapat banyak kendala yang dihadapi Penyidik. Di antaranya:

  • Banyaknya alat bukti yang harus dicari, ditemukan, dan dianalisis.
  • Luasnya wilayah penyidikan yang menjadi locus delicti.
  • Resistensi dari institusi yang terkait dengan tindak pidana.
  • Saksi dan Tersangka yang masih dalam pencarian atau berstatus DPO.
  • Adanya upaya-upaya untuk menggagalkan penyidikan, baik dari dalam maupun luar institusi Penyidik.
  • Adanya perbedaan pendapat atau penafsiran hukum dengan institusi penegak hukum lain.
Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berbagai hambatan tersebut membutuhkan integritas, moralitas, dan profesionalisme tinggi Penyidik dalam menyikapinya. Integritas, moralitas dan profesionalitas Penyidik sangat dibutuhkan dalam menghadapi situasi di lapangan, terutama untuk mengatasi segala tantangan, hambatan, dan gangguan. Faktanya, kapasitas dan kapabilitas Penyidik secara umum masih belum sepenuhnya memadai untuk menangani kompleksitas perkara, khususnya yang terkait dengan:

  • Penerapan hukum dalam mengurai perbuatan tersangka.
  • Analisis transaksi keuangan.
  • Komunikasi dan interogasi terhadap pihak-pihak yang terlibat.
  • Komunikasi dan adaptasi dengan pihak-pihak lain guna mengatasi hambatan dan kendala.

Selain itu, pengendalian dan pengawasan juga diperlukan untuk mendukung kelangsungan penyidikan, khususnya dalam menyidik dugaan TPPU yang melibatkan tersangka dengan koneksi dan kekuatan ekonomi besar.

Ketiga.

Berdasarkan analisis yuridis normatif dan yuridis empiris, ditemukan adanya persoalan hukum terkait pengaturan mengenai kewenangan Penyidik dari institusi Polri maupun Penyidik diluar Polri dalam menyidik TPPU. Di antaranya, yang penting adalah kewenangan Penyidik PPNS yang tidak dapat melakukan penangkapan atau penahanan. Ketentuan tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.

Selain itu, dari aspek struktur hukum, terdapat tumpang tindih kewenangan yang disertai dengan sikap ego sektoral serta perbedaan penafsiran sejumlah ketentuan hukum dalam penanganan kasus TPPU. Kondisi tersebut berdampak pada lemahnya kepastian hukum. Selanjutnya, pada aspek budaya hukum, beberapa faktor influensial lain yang mendorong timbulnya masalah adalah:

  • Kurangnya pemahaman hukum dikalangan aparat penyidik.
  • Kecenderungan personel penyidik untuk lebih memprioritaskan target kinerja institusinya.
  • Minimnya upaya konkret untuk menindaklanjuti berbagai arahan, instruksi, dan himbauan.

Penggunaan metode CBA terhadap masalah pada aspek substansi, struktur dan budaya hukum tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa masalah ketidakpastian hukum dalam penyidikan TPPU oleh Penyidik Tindak Pidana Asal telah menimbulkan inefisiensi. Hal tersebut tidak hanya mengganggu kinerja penegakan hukum tetapi juga merugikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan untuk menata kembali pengaturan mengenai kewenangan dalam menyidik TPPU. Dari aspek instrumen hukum, diperlukan penyempurnaan substansi yang meliputi:

  • Kejelasan pengaturan mengenai kewenangan, tugas dan fungsi penyidik tindak pidana asal dalam Undang-Undang TPPU.
  • Penguatan koordinasi dan tata kerja antara Penyidik Polri dengan penyidik tindak pidana asal dalam penyidikan TPPU.
  • Penegasan kewajiban penyidik tindak pidana asal untuk menyidik TPPU yang berada dalam lingkup kewenangannya.

Selanjutnya, dari aspek institusional, dibutuhkan penataan kelembagaan untuk menghilangkan sekat-sekat teknis operasional serta mencegah timbulnya ego sektoral antara penyidik Polri dan institusi Penyidik Tindak Pidana Asal. Disamping itu, dibutuhkan juga peraturan manajemen penyidikan yang efektif dan efisien dengan tetap berorientasi pada nilai kemanfaatan, kepastian hukum dan keadilan. Beberapa pilihan kebijakan yang dapat ditempuh meliputi:

  • Reformulasi pengaturan mengenai kewenangan penyidik tindak pidana asal dalam menyidik TPPU.
  • Merevisi UU TPPU dan/atau KUHAP guna menata kembali kewenangan dan mekanisme penyidikan TPPU yang dapat lebih menjamin kepastian hukum, termasuk optimalisasi peran dan kewenangan Penyidik Polri
  • Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas personel penyidik tindak pidana asal dan Penyidik Polri.
  • Mengembangkan mekanisme pengawasan dan pengendalian penyidikan untuk mencegah penyimpangan dalam proses penyidikan TPPU.

Perlu disampaikan bahwa hasil analisis RIA ex-ante menunjukkan bahwa kebijakan tersebut sebaiknya dipilih dan diberlakukan secara menyeluruh pada setiap aspek sistem hukum, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Dalam kaitan ini, pelaksanaan kebijakan secara terbatas tidak akan mampu mewujudkan manajemen penyidikan yang utuh dan komprehensif yang berorientasi pada nilai kemanfaatan, kepastian hukum dan keadilan.

Berdasarkan pokok-pokok temuan hasil penelitian diatas, ada beberapa saran konkret sebagai berikut:

Pertama, Pemerintah perlu menyusun naskah akademik untuk merevisi UU TPPU guna memperkuat jaminan kepastian hukum. Arahnya, untuk menegaskan ketentuan tentang:

  • Kedudukan dan kewenangan institusi Polri sebagai penyidik utama perkara TPPU.
  • Peran institusi penyidik tindak pidana di luar institusi Polri sebagai pendukung penyidikPolri dalam menyidik TPPU.
  • Kewajiban penyidik tindak pidana asal untuk melakukan penyidikan TPPU apabila terdapat indikasi terjadinya praktik pencucian uang.

Kedua, merevisi Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04-PW.07.03 Tahun 1984 untuk menyelaraskan kewenangan penyidik tindak pidana asal di luar institusi Polri dalam menyidik dan menahan tersangka TPPU.

Ketiga, merevisi Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 untuk memperjelas:

  • Kewajiban penyidik Polri di luar Subdirektortat (Subdit) TPPU untuk berkoordinasi dengan Subdit TPPU apabila laporan hasil penyidikan tindak pidana asal menunjukkan adanya indikasi praktik pencucian uang.
  • Mekanisme pengendalian dan pengawasan penyidikan yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel.
  • Kewajiban penyidik untuk menjamin kerahasiaan identitas pelapor mengenai adanya penyimpangan dalam proses penyidikan.
  • SOP terkait mekanisme dan standar penilaian kinerja penyidikan TPPU.
  • Mekanisme pelaporan masyarakat dan internal institusi dalam hal terjadi dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh penyidik Polri selama proses penyidikan TPPU.

Keempat, menyusun program dan rencana kerja peningkatan kapasitas personel penyidik Polri dan penyidik tindak pidana asal dengan mengembangkan program pendidikan dan pelatihan bersama untuk menyamakan persepsi dan mengurangi sikap ego sektoral.

Kelima, mengintensifkan pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penyidikan TPPU di internal institusi Polri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Terakhir, menyusun policy paper penanganan TPPU yang efektif dan efisien sebagai bahan bagi Kepala Kepolisian RI untuk mengusulkan langkah-langkah reformasi penyidikan TPPU kepada presiden melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

Tulisan ini bagian terakhir dari dua tulisan, yang diambil dari pidato Arief Sulistyanto pada sidang promosi doktor hukum Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan pada 1 September 2022.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

20 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


22 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

28 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

32 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

47 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

48 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.