Mahkamah Agung pada 25 Juli 2022 telah memilih 8 (delapan) Hakim adhoc Pengadilan HAM peristiwa Paniai. Hal ini sebagai kelanjutan paska pelimpahan berkas perkara dan Tersangka oleh Kejaksaan Agung Cq Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) ke Pengadilan HAM Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Makassar pada 15 Juni 2022.
Kedelapan Hakim adhoc itu lolos setelah melewati serangkaian tahapan tes meliputi wawancara dan asesmen profil kandidat. Kedelapannya akan bertugas di pengadilan tingkat pertama dan tingkat Banding. Masing-masingnya, 4 Hakim Adhoc bertugas untuk pengadilan HAM tingkat pertama antara lain: Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, Sofi Rahmadewi, Anselmis Aldrin Rangga Masiku. Sedangkan 4 Hakim lain ditingkat Banding yakni Mochamad Mahin, Fenny Cahyani, Florentia Switi Andari dan Hendrik Dengah.
Pengadilan HAM Kasus Pelanggaran HAM Berat
Merujuk Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum (Pasal 2). Mungkin saja khalayak publik tidak begitu familiar dengan pengadilan HAM karena selama ini, sekira belasan tahun terakhir tidak ada satupun kasus pelanggaran HAM berat yang diadili.
Di dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2), bahwa Setiap peristiwa dugaan pelanggaran HAM yang berat dilakukan penyelidikan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dalam penyelidikan itu Komnas HAM dapat membentuk Tim Adhoc yang terdiri dari internal Komnas HAM dan unsur masyarakat. Penyelidikan kasus pelanggaran HAM yang berat oleh Komnas HAM harus mampu mencari dan menemukan ada atau tidaknya unsur pelanggaran HAM yang berat, untuk kemudian dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan Agung.
Untuk kasus Paniai, Komnas HAM telah melakukan serangkaian penyelidikan dan menemukan unsur pelanggaran HAM yang berat, selanjutnya berkas hasil penyelidikan telah dilimpahkan kepada Jaksa Agung dan pada 25 Juni 2022 Jaksa Agung telah melimpahkan berkas perkara berikut 1 orang Tersangka ke Pengadilan Makassar untuk disidang dan diadili oleh Majelis Hakim.
Dalam kurun waktu 2 dekade terakhir, 3 kasus pelanggaran HAM masa lalu yang telah berhasil dibawa ke sidang pengadilan HAM antara lain: Pertama, kasus Tanjungpriok Tahun 1984 disidang pada September 2003-Agustus 2004. Kedua, kasus pelanggaran HAM Berat Timor Timur 1999 sidang pada 2001. Ketiga, kasus pelanggaran HAM Berat Abepura Tahun 2000 disidang pada Mei 2004.
Peristiwa Paniai
Peristiwa kekerasan terhadap masyarakat sipil terjadi pada 8 Desember 2014, belum genap 2 bulan sejak pelantikan Presiden Joko Widodo, 20 Oktober 2014. Peristiwa memilukan tersebut bermula pada pagi hari 8 Desember 2014, adanya pemalangan jalan oleh warga setempat di Pondok Natal, Gunung Merah mengakibatkan tertutupnya akses Jalan utama Madi – Enarotal Km 4, Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai. Aksi pemalangan jalan sebagai reaksi masyarakat atas tindakan penganiayaan yang dilakukan oknum anggota TNI terhadap anak-anak warga setempat pada malam hari 7 Desember 2014.
Eskalasi protes dan tuntutan warga semakin besar, pergerakan massa diikuti dengan tarian Waita ke lapangan Karel Gobai, Distrik Enarotali, Kabupaten Paniai dan mendatangi Polsek dan Koramil Paniai, yang lokasinya berdekatan dengan lapangan Karel Gobai. Warga menuntut agar aparat keamanan menemukan pelaku penganiayaan anak-anaknya. Tidak terpenuhinya tuntutan menimbulkan kekecewaan warga kemudian berkumpul di lapangan Karel Gobai. Disaat itu aparat keamanan menanggapi aksi warga dengan pembubaran massa dan mengeluarkan tembakan. Maksud aparat untuk membubarkan massa justru berujung warga terkena tembakan, 4 orang korban berusia belasan tahun meninggal dunia. Selain menyebabkan jatuhnya korban meninggal dunia, terdapat 21 orang korban luka, mayoritas luka tembak.
Komnas HAM sendiri telah melakukan penyelidikan kasus Paniai sejak Tahun 2015 hingga tahun 2020. Sebelumnya Komnas HAM di dalam Sidang Paripurna Khusus pada 3 Februari 2020 menetapkan peristiwa Paniai 7-8 Desember 2014 sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat
Kejahatan Kemanusiaan
Yurisdiksi pengadilan HAM untuk kasus pelanggaran HAM yang berat meliputi 2 (dua) jenis yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,kelompok agama. Kemudian kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. penyiksaan dan tindakan lainnya. Secara umum pengertian dan penjelasan mengenai kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan diatur di dalam Pasal 8 dan 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat ditandai adanya serangan meluas atau sistematis, yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, elemen inilah yang membedakan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan kejahatan lain. Berdasarkan yurisprudensi Internasional, putusan ICTR dalam kasus Akayesu, menjelaskan kata “meluas” sebagai “tindakan massive, berulang, dan berskala besar yang dilakukan secara kolektif dengan dampak serius dan diarahkan terhadap sejumlah besar korban (multiplicity of victim)”, Sedangkan “sistematis” diartikan sebagai “diorganisasikan secara rapih dan mengikuti pola tertentu yang terus menerus berdasarkan kebijakan yang melibatkan sumber daya publik atau privat yang substansial,” meskipun kebijakan tersebut bukan merupakan kebijakan Negara secara formal.
Selain itu di dalam Sidang Pengadilan Akayesu, 2 September 1998, kejahatan kemanusiaan mempunyai beberapa unsur yaitu sifat dan karakter perbuatan tidak manusiawi, menimbulkan penderitaan sangat berat, atau luka yang serius terhadap tubuh atau kesehatan fisik dan mental, perbuatan tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis atau meluas dan tindakan/serangan harus dilakukan terhadap penduduk sipil. (Saripati Kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat dalam Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda, Elsam, 2007 hal. 55)
Mengapa Pengadilan HAM penting?
Tidak terbantahkan secara teoritis dan regulatif pengadilan HAM diakui ada dilingkungan peradilan umum, namun ketiadaannya selama belasan tahun juga tidak terbantahkan, sidang pengadilan HAM terakhir pada Tahun 2004 untuk kasus Peristiwa Abepura. Penantian 18 tahun bukanlah waktu yang singkat, selama itu vakum, tidak ada perkara pelanggaran HAM yang diadili di pengadilan, padahal pengadilan HAM begitu penting dan dibutuhkan. Hal itu menunjukkan tidak adanya perhatian Pemerintah terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat secara yudisial/ pengadilan.
Pentingnya pengadilan HAM bagi banyak pihak, bagi keluarga korban pelanggaran HAM, untuk kepentingan pemenuhan dan pemulihan keadilan. Penyelesaian perkara pelanggaran HAM di pengadilan memberikan secercah harapan kepastian hukum. Setiap perbuatan pelaku tentu konsekuensinya adalah pertanggungjawaban, kepastian hukum ditandai dengan ada atau tidaknya pelaku berikut dengan pertanggungjawabannya.
Lebih lanjut bagi segenap bangsa kita, menunjukkan komitmen Negara terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM Paniai dan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Jelang pengadilan HAM Paniai kita patut bersyukur dan apresiasi atas pengadilan HAM untuk kasus Paniai. Selaku orang yang pernah terlibat di dalam penyelidikan adhoc projustisia kasus Paniai, pengadilan kasus Paniai akan memberikan harapan tidak saja bagi keluarga korban namun harapan bagi segenap Bangsa Indonesia akan penyelesaian seluruh kasus pelanggaran HAM masa lalu yang mandek selama ini. Kita berharap penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu terwujud hingga berakhirnya periode Presiden Joko Widodo pada Oktober 2024, tidak hanya kasus Paniai.