Editorial Tempo.co
USULAN Menteri Luhut Binsar Pandjaitan supaya perwira aktif TNI bisa kembali menempati jabatan sipil sungguh berbahaya. Di samping bertentangan dengan semangat reformasi, usulan tersebut mengancam tatanan pemerintahan yang demokratis.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi itu mengusulkan perubahan Undang-Undang TNI dalam acara Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat, Jumat, 5 Agustus 2022. Menurut pensiunan jenderal ini, bila perwira aktif bisa bertugas di kementerian atau lembaga, TNI-AD akan lebih efisien. Para perwira tingginya tak perlu berebut jabatan karena mereka bisa berkarir di luar institusi militer.
Negeri ini memiliki pengalaman getir ketika pemerintahan dikendalikan oleh militer. Di era Orde Baru, atas nama dwifungsi, tentara tak hanya bertugas di bidang pertahanan, tapi juga merambah ke urusan sipil dan politik. Pemerintahan di bawah Presiden Soeharto pun kerap memakai pendekatan militeristik dalam menyelesaikan persoalan sipil. Akibatnya, sejarah mencatat, kekerasan oleh militer dan pelanggaran hak asasi manusia terjadi di banyak tempat.
Pengalaman pahit itu pula yang menjadi alasan tuntutan penghapusan dwifungsi tentara dan penegakan supremasi sipil dalam gerakan reformasi 1998. Supremasi sipil, yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, adalah salah satu prinsip utama dalam demokrasi. Demokrasi akan selalu terancam jika militer—yang memiliki senjata dan terbiasa melakukan kekerasan—tidak berada di bawah kendali sipil.
Setelah gerakan reformasi berlalu 24 tahun, kita kembali menyaksikan keinginan para elite militer untuk kembali ikut campur dalam urusan masyarakat sipil. Ini jelas merupakan residu doktrin kekaryaan yang pernah menjadi alasan pembenar atas penempatan militer di birokrasi sipil. Padahal, pendekatan militeristik dalam birokrasi akan mematikan diskusi dan adu argumentasi yang sehat dalam pengambilan berbagai keputusan urusan sipil.
Tentara dilatih untuk berperang demi menjaga pertahanan negara, bukan untuk menyelesaikan pelbagai persoalan di kementerian dan lembaga sipil. Banyak bukti bahwa pelibatan militer dalam pekerjaan sipil justru hanya berujung kegagalan. Contohnya proyek lumbung pangan di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Proyek lumbung singkong yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan Prabowo Subianto itu tak hanya gagal mencapai target. Proyek food estate yang membabat ratusan hektare tersebut juga menyisakan kerusakan lingkungan dan rutin memicu bencana banjir.
Penumpukan perwira tanpa penugasan di Markas Besar TNI-AD yang menjadi perhatian Menteri Luhut tak ada urusannya dengan kompetensi jabatan sipil. Penumpukan itu terjadi karena kesalahan dalam sistem kenaikan pangkat dan penempatan jabatan di institusi tentara. Karena itu, pemerintahan Joko Widodo seharusnya berfokus memperbaiki profesionalisme dan tata kelola di tubuh TNI. Jangan coba-coba mengundang bahaya dengan membuka pintu bagi perwira aktif untuk kembali merambah ke jabatan sipil.