Editorial Tempo.co
---
PEMBLOKIRAN platform pembayaran PayPal dan sejumlah game daring memperlihatkan kesewenang-wenangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat. Catatan: ini baru awal. Catatan lagi: korbannya bukan cuma platform tersebut, melainkan juga penggunanya—banyak pengguna PayPal yang menjerit karena tak bisa mencairkan dananya.
Alasan pemblokiran karena mereka belum terdaftar. Tapi platform digital yang sudah terdaftar pun bukan berarti tak dibayang-bayangi ancaman penutupan akses. Kelak, jika menolak permintaan Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk menurunkan konten yang dianggap “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum”, mereka pun bisa diblokir.
Setelah platform digital terdaftar sebagai penyelenggara sistem elektronik di Kementerian Kominfo, mereka harus tunduk pada Permenkominfo tadi. Selain platform pembayaran seperti PayPal dan game daring, penyelenggara sistem elektronik meliputi media sosial, aplikasi pesan dan panggilan, layanan surat elektronik, mesin pencari, perdagangan secara elektronik (e-commerce), hingga dompet digital. Bukan hanya wajib menghapus konten yang dilarang lewat pasal karet, mereka pun wajib memberikan akses terhadap akun pengguna demi kepentingan “pengawasan” dan “penegakan hukum”.
Keliru jika menganggap Permenkominfo tersebut hanya menyasar platform digital asal luar negeri. Lingkupnya yang luas menyebabkan platform lokal, termasuk blog publik dan media siber, juga bisa kena. Artinya, bukan hanya kebebasan berpendapat dan berekspresi yang terancam, melainkan juga kebebasan pers. Padahal, pers punya payung sendiri berupa Undang-Undang Pers, yang kedudukannya lebih tinggi ketimbang peraturan menteri.
Permenkominfo itu juga melampaui hukum acara di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP, tindakan yang memaksa seperti penyitaan dan penggeledahan, harus merupakan bagian dari proses hukum dan atas izin ketua pengadilan. Dalam Permenkominfo itu, akses terhadap akun pengguna bisa dilakukan demi kepentingan “pengawasan” yang definisinya longgar, bukan hanya untuk “penegakan hukum”. Tak salah jika ada yang mengartikan pengawasan di sini sebagai tindakan mematai-matai pengguna.
Demikian juga soal penghapusan atau penurunan konten. Seharusnya tindakan ini pun berdasarkan hukum dan sangat selektif. Penurunan konten terorisme atau pornografi anak bisa dipahami. Namun penghapusan konten yang “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” jelas keliru. Definisi “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” yang tidak jelas sehingga artinya bisa ditarik ulur oleh pemerintah ataupun pihak yang antikritik menyalahi prinsip legalitas. Sebuah aturan harus menjabarkan secara spesifik perbuatan yang diatur agar tak sewenang-wenang.
Pada akhirnya, publiklah yang sebenarnya paling dirugikan oleh Permenkominfo itu. Haknya untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi seperti yang dijamin Pasal 28F Undang-Undang Dasar dibelenggu peraturan tersebut. Kebebasannya untuk berpendapat dan berekspresi sudah pasti terancam. Privasinya dalam berkomunikasi ataupun menggunakan media sosial bisa diterabas dengan semena-sema.