Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

RKUHP dan Masa Depan Living Law di Indonesia

image-profil

Advokat/Founder FWLS Law Firm dan Kairos Institute Indonesia

image-gnews
Massa menampilkan poster sindiran untuk pemerintah saat menggelar aksi di sekitar Istana Bogor, Rabu, 6 Juli 2022. Aliansi Bogor tolak RKUHP yang terdiri dari berbagai universitas kota Bogor, kembali menggelar aksi dengan tuntutan dibukanya draft RKUHP terbaru. TEMPO/Muhammad Syauqi Amrullah
Massa menampilkan poster sindiran untuk pemerintah saat menggelar aksi di sekitar Istana Bogor, Rabu, 6 Juli 2022. Aliansi Bogor tolak RKUHP yang terdiri dari berbagai universitas kota Bogor, kembali menggelar aksi dengan tuntutan dibukanya draft RKUHP terbaru. TEMPO/Muhammad Syauqi Amrullah
Iklan

Ibarat menunggu prajurit pulang perang (dibaca: ketidakpastian) akhirnya pemerintah menyatakan final atas RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) pada tanggal 4 Juli 2022 dan telah diserahkan ke DPR RI pada tanggal 6 Juli 2022, hal ini sontak menimbulkan pro serta kontra dari sebagian masyarakat terkait beberapa pasal yang masih bias baik secara tekstual maupun dalam bentuk penerapan delik.

Penulis akan mencoba untuk mengkaji sekaligus memberikan pandangan subjektif terkait peran hukum masyarakat adat dalam pembaharuan hukum pidana di Indonesia, sebagai masyarakat multikultural Indonesia memiliki berbagai macam bentuk aturan-aturan adat yang beragam dari teknis pengaturan waris dalam keluarga, urusan dagang, hingga sanksi terhadap suatu peristiwa yang melanggar norma adat tersebut.

Pada prinsipnya hukum adat tidak secara eksplisit memisahkan mana bagian dari hukum perdata dan mana bagian dari sebuah hukum pidana. Seiring berjalannya waktu, masyarakat adat sendirilah yang menganggap tindakannya merupakan bagian dari hukum positif, sebagai contoh ialah sebuah sanksi denda untuk seseorang yang telah melanggar ketentuan adat pada suatu wilayah adat berupaharta” yang terkadang kita tak tau persis apa tolok ukurnya hingga masyarakat adat dapat menyimpulkan besaran dari nilai atau barang atas denda tersebut.

Dalam RKUHP yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR RI pada Pasal 1 Ayat (1) masih tertuang azas legalitas sebagai pondasi pertama dari ratusan pasal dalam KUHP semenjak awal diundangkannya yakni pada tahun 1946, namun yang menarik dalam RKUHP ini ialah pemerintah pada Pasal 2 Ayat (1) secara gamblang mengadopsi living law ke dalam hukum positivisme Indonesia, menurut Barda Nawawi Ariefdalam buku Beberapa Pokok Pemikiran Dalam Aturan Umum Konsep KUHP Baru beliau menyatakanbahwa konsep KUHP baru ini merupakan karateristik asas legalitas menurut pandangan dan pemikiran orang Indonesia yang tidak terlalu formalistic dan terpisah-pisah”.

Dari pandangan ahli di atas RKUHP ini dibentuk bertujuan agar penegak hukum dalam menjalankan tugas profesi diharapkan dapat memprioritaskan orientasinya kepada keadilan dibandingkan kepastian hukum secara tekstual, sebab hal ini menyumbangkan resiko terbesar dari menumpuknya perkara di Mahkamah Agung yang notabene sederhana dan harusnya dapat terselesaikan dengan restorative justice.

Menjawab isu terkait Pasal 2 Ayat (1) RKUHP di mana sebagian kalangan Praktisi dan Akademisi hukum beranggapan bahwa pasal tersebut telah menyimpangi prinsip asas legalitas yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (1) RKUHP dikarenakan Pasal2 Ayat (1) secara tidak langsung telah mengakomodir aturan-aturan adat hingga memperluas makna asas legalitas di dalam RKUHP tersebut, akan tetapi hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisional suatu daerah sesungguhnya telah diatur dalam konstitusi UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 Pasal 18B Ayat (2) yakni Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masihhidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalamundang-undang”.

Dengan berlandaskan konstitusi sudah jelas dan mutlak bahwa eksistensi dari masyarakat hukum adat ini sesungguhnya telah diselamatkan terlebih dahulu oleh konstitusi negara Republik Indonesia sendiri, artinya bukan tanpa alasan pemerintah menggandengkan asas legalitas dengan living law di dalam RKUHP yang mana tujuannya tak jauh dari memberi peran masyarakat adat Indonesia dalam pembaharuan serta penegakan hukum pidana nasional kedepan.

Secara historis aturan adat kerap hanya bersumber dari kebiasaan yang telah turun-temurun diterapkan oleh masyarakatnya sendiri, dalam hal ini jika kita menyigi prinsip hukum pidana yakni asas lex scripta (hukum pidana itu harus tertulis) dan lex certa (hukum pidana itu harus jelas) dibandingkan dengan aturan adat jelas sangat tak selaras sebab hukum adat sendiri mayoritas tidak tertulis bahkan antara Pidana dan Perdata pun hukum adat tidak mendikotomikannya secara jelas.

Dalam praktiknya pemisahan tersebut terjadi hanya atas dasar kebiasaan saja sebagai contoh ketika seseorang melakukan perzinahan ada yang dihukum dengan denda sejumlah uang sebagai bentuk hukuman pidana dan atau dipaksa menikah agar menimbulkan suatu hubungan hukum baru antara laki-laki dengan perempuan secara keperdataan.

Oleh karena masyarakat adat tidak secara jelas dan tertulis dalam menerapkan hukum yang bersumber dari kebiasaan tersebut maka RKUHP dalam bagian penjelasan Pasal 2 Ayat (1) menyatakan bahwa “…Untuk memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum pidana adat (delik adat), perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah yang berasal dari Peraturan Daerah masing-masing tempat berlakunya hukum pidana adat….” Hal ini menurut penulis sengaja dituangkan oleh pemerintah agar tetap menjaga marwah konstitusional RKUHP dalam pembaharuan hukum pidana nasional serta guna mempertegas bagaimana eksistensi hukum pidana adat tanpa bertolak belakang dengan asas lex scripta dan lex certa.

Dapat kita tarik kesimpulan bahwa maksud dari RKUHP mengadopsi living law dan mengawinkannya dengan asas legalitas ialah demi kepentingan masyarakat adat yang kerap terisolir oleh perkembangan hukum positif di Indonesia, serta dengan adanya peran hukum masyarakat adat yang masuk ke dalam hukum positif pidana Indonesia justru menjadi suatu bentuk pembenaran secara konstitusional.

Selanjutnya aturan ini juga berguna untuk mengakomodir kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam penyelesaian sebuah peristiwa hukum yang melanggar norma-norma hukum pidana adat, hadirnya RKUHP juga membantu para penegak hukum agar lebih mengemukakan keadilan dibanding kepastian hukum terutama majelis Hakim yang menangani perkara-perkara hukum pidana adat bisa terbantu dalam upaya menemukanhukum (rechtvinding) dengan memanfaatkan peran judge made law agar Putusannya kelak dikemudian hari dapat menjadisumber hukum yurisprudensi dan berguna untuk hukum di masa mendatang (ius constituendum).

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


23 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.