KISAH MEREKA YANG TERSIA-SIA
Film terbaru sutradara Jepang Hirokazu Kora-eda yang tengah beredar masih memperlihatkannya sebagai maestro dalam drama keluarga. Aktor Song Kang-ho mendapatkan predikat Aktor Terbaik dalam festival film Cannes tahun ini.
BROKER
Sutradara : Hirokazu Kore-eda
Skenario : Hirokazu Kore-eda
Pemain : Song Kang Ho, Kang Dong Won, Bae Doona, Lee Ji Eun, Lee Joo Young
****
Ketika malam turun, seluruh isi kota lelap, seorang perempuan muda perlahan menuju ke sebuah pojok gereja. Dari balik jaketnya, dia mengeluarkan sebuah mahluk mungil , seorang bayi yang kemudian ditinggalkannya di depan pintu. Sepasang mata perempuan yang marah, menanti sang ibu muda pergi, lalu dia diam-diam menghampiri sang bayi dan meletakkannya ke dalam boks bayi. Dari malam yang menentukan itu, cerita sutradara Jepang Hirokazu kemudian bergulir dari sebuah pojok kota Busan. Ibu muda itu bernama So-Young (Lee Ji Eun, yang lebih dikenal dengan nama panggung IU). Sementara perempuan yang geram tadi ,yang memindahkan sang bayi ke dalam boks bayiagar dia tak kedinginan, adalah Detektif Soo-jin ( Bae Doona) yang berambisi mengungkap jaringan perdagangan bayi.
Sang bayi , subyek terpenting dalam film ini, yang bernama Woo Sung adalah putera So-young. Sang Ibu semula ingin menyerahkan bayinya dalam sebuah sistem ‘penampungan’ –lazimnya di gereja atau panti sosial --yang disebut “Baby Box”. Di beberapa negara Asia, sistem “Baby Box” adalah sebuah solusi yang kontroversial karena dianggap menyuburkan keinginan para orangtua yang tak mau bertanggungjawab untuk seenaknya membuang bayinya. Syahdan, malam yang jahanam itu sungguh berbisa. Sang bayi Wo Sung ternyata dicaplok oleh dua makelar bayi bernama Sang-heyon (diperankan Song Kang-ho, aktor Korea terkemuka yang antara lain dikenal dalam film “A Taxi Driver” dan “Parasite” ) dan Kang Dong Won (Dong-soo).
Keesokan hari, So Young berubah pikiran berkeliling mencari bayinya. Pada akhirnya , dia berhasil bertemu dengan duo makelar yang kemudian membujuknya berkongsi menjual bayinya kepada “keluarga yang membutuhkannya”. So Young tergoda dengan tawaran ini. Tetapi, tunggu sebentar, jangan langsung menghakimi keputusan So Young yang tampak laknat itu. Ingat ini penulis skenario dan sutradara Hirokazu Kore-eda yang dikenal sebagai maestro dalam film-film keluarga. Mereka yang sudah mengenal karya-karyanya pasti tahu jangan pernah menebak, menghakimi atau menuduh tingkah laku para tokohnya pada 15 menit pertama penayangan filmnya. Kore-eda sudah mahir membuat lekuk dan belokan yang membuat penonton terpana, terkejut sekaligus memahami logika cerita dan karakterisasi.
Film Broker yang menjadi salah satu bintang saat Festival Film Cannes tahun ini—terutama karena seni peran Song Kang Ho yang memperoleh penghargaan sebagai Aktor Terbaik—karena Kora-eda selalu menghasilkan karya yang menyitir diskusi dan perenungan.
Seperti yang diutarakan Kora-eda di dalam berbagai wawancara, dia selalu tertarik mencoba berbagai genre, tetapi inti storytelling yang dipilihnya selalu berpusar pada drama keluarga. Film Broker yang bisa dikatakan sudah memasuki genre road movie, tetap saja bercerita tentang “sebuah keluarga yang tidak biasa”. Adapun arti ‘keluarga tidak biasa’ di sini adalah karena mobil van bobrok yang pintunya senantiasa harus ditendang agar bisa tertutup rapat itu, berisi orang-orang dengan catatan kriminal yang cukup hitam: pendagangan anak dan pembunuhan.
Namun mengapa kita tetap bersimpati kepada orang-orang di dalam kendaraan van bobrok itu? Dan bagaimana orang-orang yang hidup dalam dunia hitam dan sepanjang dua jam bermaksud menjual bayi itu tetap tak terasa sebagai sekumpulan sampah masyarakat yang keji?
Itulah kedahsyatan sutradara Kore-eda yang secara perlahan mengupas lapisan-lapisan batin manusia yang berwarna-warna.Tokoh So Young yang sejak awal sudah didisain sebagai perempuan muda tanpa hati, yang dingin karena tega menjual bayinya , belakangan terungkap betapa rumitnya jika dia tak segera “menjauhkan” putranya dari kegelapan dunia di sekelilingnya. Tokoh Sang-heyon, si bapak tua yang sebetulnya mempunyai warung binatu kecil-kecilan juga mendapat giliran pengungkapan sejarahnya, bagaimana perlahan-lahan dia terpaksa terjun ke bisnis jual-beli bayi. Dong-so , partner Sang-heyon yang paling keras menghakimi sang Ibu muda ternyata mempunyai sejarah pahit sebagai ‘alumni’ rumah yatim piatu yang merasa tak diinginkan orangtuanya . Ditambah salah satu anak lelaki kecil dari asrama yatim yang menyelinap ke dalam mobil van mereka karena “kepingin diangkat anak oleh Sang-heyon”, bayangkan nasib perjalanan ‘keluarga jadi-jadian’ ini mencari pembeli bayi Sung Woo.
Ini adalah film pertama sutradara Jepang Hirokazu Kore-eda menggarap film dengan setting, pemain dan produksi Korea Selatan. Para penggemar karya Kore-eda tentu saja bisa merasakan bagaimana dia memperlakukan orang-orang yang terpinggirkan di dalam Broker ,seperti halnya sekelompok orang-orang marjinal di dalam “Shoplifter” yang hidup nyaris seperti sebuah keluarga. Karakteristik lainnya yang selalu muncul dalam filnya adalah: tema anak-anak yang disia-siakan sebagaimana yang dia persoalkan dalam film Nobody Knows (2004) atau film “Like Father, Like Son” (2013) yang menuntut sebuah definsi ulang tentang konsep keluarga sesungguhnya (apakah orangtua berarti yang berhubungan darah dengan kita atau mereka yang membesarkan kita?
Di dalam Broker pesoalan itu kembali terlontar. Tetapi cara Kore-eda yang halus dan puitis selalu memilih menggunakan nuansa, daripada gelora dalam dialog. Ketika kita memahami alasan So -Young untuk “menyerahkan” puteranya kepada orang lain, kita baru menyadari bahwa ibu seburuk apapun, hampir selalu mengutamakan keselamatan anaknya dari maut. Itu semua disajikan dengan adegan-adegan sederhana bagaimaan sikap So Young yang ternyata jauh lebih galak dan selektif saat menyeleksi ‘pembeli’. Tentu saja penonton Kore-eda cenderung lebih mengunggulkan “Shoplifter” daripada “Broker”, bukan saja karena keberhasilannya meraih Palm D’or, tetapi lebih karena akhir cerita “Shoplifter” yang lebih gelap yang terasa lebih realistik dalam hidup orang-orang marjinal).
Leila S. Chudori