Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Langkah Absurd Pemidanaan LGBT lewat RKUHP

image-profil

Tempo.co

Editorial

image-gnews
Ilustrasi LGBT. Dok. TEMPO/ Tri Handiyatno
Ilustrasi LGBT. Dok. TEMPO/ Tri Handiyatno
Iklan

KEHADIRAN pasal pidana bagi kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau LGBT dalam Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP jelas-jelas menabrak ranah privasi warga negara. Upaya negara memaksakan hukum mengatur urusan privat hanya akan membangkitkan kriminalisasi terhadap kelompok minoritas. Dengan ketentuan ini, seseorang dapat dipidana hanya berdasarkan orientasi seksual.

Isu kriminalisasi terhadap LGBT bergulir setelah Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sepakat membawa naskah RKUHP ke rapat paripurna DPR. Pasal 421 ayat 1 dalam rancangan itu menyebutkan secara eksplisit soal perbuatan cabul sesama jenis. Semestinya penentuan unsur pidana pencabulan tak memerlukan penegasan perihal hubungan seksual berdasarkan kesamaan atau perbedaan jenis kelamin. Celakanya, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD setuju dengan rumusan pidana tersebut.

Pernyataan Mahfud berseberangan dengan prinsip-prinsip universalitas hak asasi manusia. Sebab hubungan seks antara orang dewasa yang saling sepakat merupakan hak pribadi mereka—apa pun orientasi seksualnya. Kalaupun ada ketidaksetujuan mayoritas masyarakat terhadap LGBT, biarlah penolakan tersebut tidak dibawa ke ranah pidana. Landasan moral yang dipercaya oleh kelompok mayoritas tidak bisa menjadi pegangan dalam merancangan undang-undang. Apalagi bila landasan moral itu menindas kelompok minoritas.

Yang patut diingat: hukum pidana seyogyanya menjadi payung bagi kita untuk mengatur relasi antarmanusia. Perangkat itu hanya bisa menghukum atau mempidanakan seseorang bila ada tindakan yang merugikan orang lain. Hukum pidana tidak perlu mengatur hal-hal yang tak punya dampak pada orang lain. Pemikiran, orientasi seksual, dan cara berbusana hanya segelintir contoh dari hal-hal yang seharusnya tidak perlu diatur dalam hukum pidana.

Sebaliknya pemidanaan seseorang berdasarkan orientasi seksual hanya menujukkan LGBT seakan-akan perilaku yang sesat. Pandangan ini sungguh berbahaya karena akan muncul kebencian dan kekerasan yang tak berdasar, juga meluasnya fobia dan diskriminasi terhadap mereka. Bukan tidak mungkin pemidanaan terhadap LGBT akan menjadi momentum baru bagi kelompok agama konservatif untuk melakukan persekusi.

Apalagi kekerasan terhadap LGBT memiliki sejarah panjang di negeri ini. Data Arus Pelangi, misalnya, menunjukkan sepanjang 2006-2018 sebanyak 1.850 individu LGBT menjadi korban persekusi. Sejumlah kasus persekusi ini membuktikan negara gagal melindungi mereka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dengan adanya pasal pidana bagi LGBT, wajar bila komitmen negara terhadap pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan HAM dipertanyakan. Sebab sudah seharusnya negara hukum yang mengakui HAM mencegah dan melindungi individu dari penyiksaan dan kekejaman yang tidak manusiawi, termasuk perlakuan yang merendahkan bagi kelompok LGBT. Pemerintah wajib melindungi setiap individu dari homofobia dan kekerasan transfobik.

Lebih jauh dari itu, sudah semestinya pemerintah menetapkan undang-undang tentang kejahatan kebencian yang bisa mencegah kekerasan terhadap individu berdasarkan orientasi seksual. Dalam peraturan turunannya, negara perlu menyiapkan sistem pelaporan yang efektif untuk mencegah kekerasan yang dimotivasi kebencian seksual.

Sikap Mahfud yang menggampangkan proses legislasi dengan mempersilakan pihak yang memprotes pemidanaan LGBT untuk memperkarakannya ke Mahkamah Konstitusi patut disayangkan. Bisa dibayangkan jika semua produk hukum didorong agar segera disahkan DPR, lalu terjadi banjir judicial review di MK hanya karena proses deliberatif tak dijalankan.

Jalan pintas itu menunjukkan perilaku buruk pembuat UU yang mengabaikan proses pembahasan yang komprehensif bersama publik. Lebih buruk lagi bila aturan pidana bagi LGBT dalam RKUHP ini hanya sebagai kedok berjualan untuk mendulang suara menjelang tahun politik 2024.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

2 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

23 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


25 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

31 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

35 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

50 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

51 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.