KEHADIRAN pasal pidana bagi kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau LGBT dalam Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP jelas-jelas menabrak ranah privasi warga negara. Upaya negara memaksakan hukum mengatur urusan privat hanya akan membangkitkan kriminalisasi terhadap kelompok minoritas. Dengan ketentuan ini, seseorang dapat dipidana hanya berdasarkan orientasi seksual.
Isu kriminalisasi terhadap LGBT bergulir setelah Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sepakat membawa naskah RKUHP ke rapat paripurna DPR. Pasal 421 ayat 1 dalam rancangan itu menyebutkan secara eksplisit soal perbuatan cabul sesama jenis. Semestinya penentuan unsur pidana pencabulan tak memerlukan penegasan perihal hubungan seksual berdasarkan kesamaan atau perbedaan jenis kelamin. Celakanya, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD setuju dengan rumusan pidana tersebut.
Pernyataan Mahfud berseberangan dengan prinsip-prinsip universalitas hak asasi manusia. Sebab hubungan seks antara orang dewasa yang saling sepakat merupakan hak pribadi mereka—apa pun orientasi seksualnya. Kalaupun ada ketidaksetujuan mayoritas masyarakat terhadap LGBT, biarlah penolakan tersebut tidak dibawa ke ranah pidana. Landasan moral yang dipercaya oleh kelompok mayoritas tidak bisa menjadi pegangan dalam merancangan undang-undang. Apalagi bila landasan moral itu menindas kelompok minoritas.
Yang patut diingat: hukum pidana seyogyanya menjadi payung bagi kita untuk mengatur relasi antarmanusia. Perangkat itu hanya bisa menghukum atau mempidanakan seseorang bila ada tindakan yang merugikan orang lain. Hukum pidana tidak perlu mengatur hal-hal yang tak punya dampak pada orang lain. Pemikiran, orientasi seksual, dan cara berbusana hanya segelintir contoh dari hal-hal yang seharusnya tidak perlu diatur dalam hukum pidana.
Sebaliknya pemidanaan seseorang berdasarkan orientasi seksual hanya menujukkan LGBT seakan-akan perilaku yang sesat. Pandangan ini sungguh berbahaya karena akan muncul kebencian dan kekerasan yang tak berdasar, juga meluasnya fobia dan diskriminasi terhadap mereka. Bukan tidak mungkin pemidanaan terhadap LGBT akan menjadi momentum baru bagi kelompok agama konservatif untuk melakukan persekusi.
Apalagi kekerasan terhadap LGBT memiliki sejarah panjang di negeri ini. Data Arus Pelangi, misalnya, menunjukkan sepanjang 2006-2018 sebanyak 1.850 individu LGBT menjadi korban persekusi. Sejumlah kasus persekusi ini membuktikan negara gagal melindungi mereka.
Dengan adanya pasal pidana bagi LGBT, wajar bila komitmen negara terhadap pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan HAM dipertanyakan. Sebab sudah seharusnya negara hukum yang mengakui HAM mencegah dan melindungi individu dari penyiksaan dan kekejaman yang tidak manusiawi, termasuk perlakuan yang merendahkan bagi kelompok LGBT. Pemerintah wajib melindungi setiap individu dari homofobia dan kekerasan transfobik.
Lebih jauh dari itu, sudah semestinya pemerintah menetapkan undang-undang tentang kejahatan kebencian yang bisa mencegah kekerasan terhadap individu berdasarkan orientasi seksual. Dalam peraturan turunannya, negara perlu menyiapkan sistem pelaporan yang efektif untuk mencegah kekerasan yang dimotivasi kebencian seksual.
Sikap Mahfud yang menggampangkan proses legislasi dengan mempersilakan pihak yang memprotes pemidanaan LGBT untuk memperkarakannya ke Mahkamah Konstitusi patut disayangkan. Bisa dibayangkan jika semua produk hukum didorong agar segera disahkan DPR, lalu terjadi banjir judicial review di MK hanya karena proses deliberatif tak dijalankan.
Jalan pintas itu menunjukkan perilaku buruk pembuat UU yang mengabaikan proses pembahasan yang komprehensif bersama publik. Lebih buruk lagi bila aturan pidana bagi LGBT dalam RKUHP ini hanya sebagai kedok berjualan untuk mendulang suara menjelang tahun politik 2024.