Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kenapa Tindakan Kekerasan oleh Polisi terhadap Pelaku Kejahatan Harus Dihentikan

image-profil

Tempo.co

Editorial

image-gnews
Ilustrasi Penyiksaan oleh Polisi atau Kekerasan oleh Polisi. shutterstock.com
Ilustrasi Penyiksaan oleh Polisi atau Kekerasan oleh Polisi. shutterstock.com
Iklan

Editorial Tempo.co

----

Aksi polisi menyiksa seseorang untuk mencari barang bukti atau memperoleh pengakuan tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Selain melanggar hak asasi manusia, mengorek informasi dengan cara semacam itu hanya menunjukkan rendahnya profesionalitas mereka. Kekerasan oleh polisi dalam pemeriksaan harus diakhiri—betapa pun orang tersebut terindikasi melakukan kejahatan.

Sayangnya, praktik kekerasan oleh polisi terus terjadi. Yang terbaru, anggota Kepolisian Sektor Tembaleng, Bekasi ditengarai melakukan kekerasan saat menangkap empat pemuda dalam kasus begal. Bukannya membawa ke kantor polisi, aparat malah menggiring mereka terlebih dulu ke Gedung Telkom yang berada di seberang Polsek Tambelang. Persoalan tambah serius karena membawa seseorang yang diduga melakukan kejahatan ke sebuah tempat transit merupakan tindakan ilegal.

Apa yang terjadi selanjutnya sungguh memilukan. Di situlah polisi diduga menyiksa mereka selama hampir delapan jam agar mengaku sebagai begal. Komnas HAM menyebut setidaknya ada sepuluh bentuk penyiksaan dalam penangkapan yang terjadi pada 28 Juli 2021 tersebut. Ada ancaman verbal, mata ditutup dengan lakban, pemukulan dengan tangan kosong di bagian tubuh dan wajah, pemukulan di bagian kepala menggunakan tali gantungan kunci, serta ditendang di bagian tubuh, kaki dan wajah.

Seperti yang sudah-sudah, Kepolisian berusaha menutup-nutupi peristiwa tersebut. Kepada Komnas HAM, polisi berdalih keempat pemuda tadi langsung dibawa ke kantor polisi tak lama setelah penangkapan. Belakangan terkuak: selembar foto yang menjadi bukti mereka langsung dibawa ke kantor polisi merupakan hasil rekayasa. Patut diduga, polisi telah memberikan keterangan palsu demi menutupi alibi bahwa tidak terjadi penyiksaan terhadap para korban.  

Insiden ini menambah panjang daftar kekerasan yang dilakukan polisi. Aliansi Kerjasama untuk Pencegahan dan Penyiksaan (KuPP) menerima 115 aduan perihal penyiksaan dan perlakuan buruk polisi dari 2018 hingga 2020. Sepanjang tahun lalu, Komnas HAM mencatat ada 15 insiden penangkapan sewenang-wenang dan 24 kasus kriminalisasi warga alias korban salah tangkap.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kepolisian sebenarnya punya aturan internal untuk mencegah penyiksaan terus berulang. Salah satunya lewat Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2009. Aturan ini menyebutkan anggota polisi dilarang merendahkan terperiksa, termasuk menggunakan kekerasan fisik atau psikis, untuk memperoleh pengakuan. Polisi semestinya mengacu pada Peraturan Kapolri tersebut saat menjalankan interogasi.

Penyidik Kepolisian semestinya juga paham bahwa pengakuan tersangka hanya salah satu alat bukti saja. Menurut kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pengakuan tersangka bukan variabel terpenting dari pengungkapan kasus. Yang lebih penting adalah keterangan saksi dan dokumen lain yang mendukung adanya tindak pidana. Mereka semestinya mencari bukti lain untuk menguatkan penyidikan, bukan malah memaksakan pengakuan seseorang.

Memaksa seseorang mengakui perbuatan dengan menyiksa adalah tabiat aparat masa lalu yang harus ditinggalkan. Cara ini justru bisa menyebabkan polisi keliru dalam menentukan tersangka. Orang terpaksa mengaku bersalah karena tak kuat disiksa.

Melanggengkan cara-cara barbar dalam memeriksa seseorang menunjukkan bukti reformasi di tubuh Polri jalan di tempat. Sudah 20 tahun reformasi berlalu namun polisi masih memakai cara kuno untuk memperoleh pengakuan. Pengetahuan mereka tentang hak asasi manusia masih cekak.

Yang lebih celaka: polisi seolah-olah tidak menganggap penyiksaan masalah serius. Tak heran bila sanksi yang dijatuhkan kepada polisi yang melakukan tindakan penyiksaan tergolong ringan, bahkan ada juga yang tak diusut. Kasus penyiksaan saksi yang dipaksa mengakui kasus pembunuhan oleh penyidik di Polsek Percut Sei Tuan, Medan, pada Agustus 2020, misalnya, tak pernah diusut hanya karena korban mencabut laporan. Padahal, Kepolisian bisa mengusut kasus itu tanpa perlu laporan korban. Kekerasan oleh polisi juga kerap mengakibatkan korban cacat permanen, trauma, bahkan ada yang sampai kehilangan nyawa. Polisi harus memastikan keadilan bagi korban penyiksaan.

Sudah seharusnya polisi berbenah agar kekerasan tidak berulang. Bila ingin tetap disebut pengayom masyarakat, polisi harus meninggalkan tradisi main siksa.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


23 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

49 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

50 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.