Editorial Tempo.co
LANGKAH Kejaksaan Agung menetapkan tersangka pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Kabupaten Paniai, Papua, pada 2014 lalu merupakan langkah maju setelah sebelumnya sempat tersendat. Namun upaya hukum ini tentu tidak boleh berhenti pada satu tersangka saja, seorang perwira penghubung yang bertugas di Komando Distrik Militer Paniai.
Upaya melokalisasi kasus dan menjadikan satu tersangka sebagai kambing hitam atas seluruh rangkaian insiden brutal tersebut tidak boleh terjadi. Penyidik kejaksaan jangan terlalu cepat membuat konstruksi hukum bahwa kejadian penembakan yang menewaskan lima warga Paniai hanya karena karena tak ada pengendalian efektif dari komandan militer. Jika kesimpulan dini dipakai, sulit menjerat para pelaku kejahatan HAM berat ini.
Paling dekat, jika konstruksi hukum ini yang dipakai, komandan militer yang mestinya bertanggung jawab penuh hanya bisa dijerat sanksi ringan karena abai mengendalikan pasukannya. Padahal, penyidik kejaksaan harusnya menggali kemungkinan adanya komunikasi antara komandan di lapangan dengan atasan di Kodam XVII/Cendrawasih hingga Markas Besar TNI di Jakarta.
Apalagi merujuk kesimpulan penyidikan Komnas HAM yang mendapati bahwa anggota TNI yang harus bertanggung jawab adalah struktur komando di Enarotali hingga Kodam XVII/Cendrawasih, yang bertugas saat insiden Paniai terjadi. Walhasil, sungguh ganjil jika kasus ini berhenti pada satu orang tentara saja.
Agar pengusutan ini lebih akuntabel, Kejaksaan Agung mesti bekerja lebih transparan. Caranya, dengan membuka semua proses penyidikan perkara ini dengan melibatkan Komnas HAM, yang sudah jauh lebih dulu menginvestigasi pembunuhan keji terhadap warga sipil ini.
Upaya ini penting karena sedari awal sudah ada kesimpangsiuran sikap pemerintah dalam insiden berdarah ini. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut insiden itu terjadi secara tiba-tiba, tidak terstruktur, dan tak sistematis.
Penyataan Moeldkoko ini sangat berjarak dengan janji Presiden Joko Widodo selama ini. Beberapa hari setelah insiden Paniai terjadi atau tak lama setelah Jokowi dilantik menjadi Presiden pada 2014 lalu, ia berjanji akan menuntaskan pengusutan kasus Paniai. Tujuh tahun berlalu, janji itu belum tunai.
Jokowi juga sempat berjanji kasus Paniai harus menjadi insiden pelanggaran HAM terakhir di Papua. Faktanya, janji-janji tingga janji, karena setelahnya rentetan peristiwa pelanggaran HAM masih terus terjadi di Papua. Keadaan ini memang mendorong Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengubah pendekatan dalam menangani konflik Papua supaya lebih humanis. Tapi pendekatan humanis ini tak akan berarti ketika kebijakan pemerintah pusat belum terang dan jelas dalam mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua.
Kasus Paniai ini hanya satu contoh buruknya penanganan perkaran HAM berat. Ada 12 kasus pelanggaran HAM berat temuan Komnas HAM, yang hingga kini belum diusut oleh pemerintah. Ada kecenderungan hanya kasus Paniai yang akan didorong penyelesaiannya secara yudisial. Kasus pelanggaran HAM berat lainnya akan didorong lewat non-yudisial karena terjadi sebelum Undang-Undang Pengadilan HAM dibuat pada 2000.
Pemerintah seharusnya tak mencari legitimasi untuk menyelesaikan perkara HAM berat masa lalu secara non-yudisial. Meminta pendapat DPR tentang kecukupan bukti seperti yang diutarakan sebelumnya oleh pemerintah merupakan langkah keliru. Kewenangan DPR hanya mengusulkan pembentukan pengadilan HAM ad-hoc, bukan menganalisis kecukupan bukti.
Di separuh sisa waktu pemerintahan periode keduanya, Jokowi tak perlu banyak berjanji lagi dalam menangani pelanggaran HAM masa lalu. Saatnya Jokowi merealisasikan janji-janjinya dengan membuat terobosan dengan membentuk tim independen untuk setiap pelanggaran HAM berat. Biarkan tim itu bekerja secara leluasa dan memastikan temuan mereka diproses hingga ke pengadilan, tanpa ada intervensi dan kompromi politik.