Editorial Tempo.co
------------
Penetapan tersangka Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti mengindikasikan polisi bukan tengah menegakkan wibawa hukum dan keadilan, tapi lebih terkesan menjadi alat kekuasaan. Mengkritik pemerintah---apalagi menggunakan hasil riset---bukan hanya bagian kebebasan berekspresi, tapi juga dilindungi undang-undang.
Pemberian status tersangka untuk Direktur Lokataru dan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tersebut merupakan tindakan kebablasan. Polisi semestinya menutup kasus yang berawal dari laporan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tersebut sejak awal. Apalagi, aturan yang digunakan menjerat keduanya adalah pasal pencemaran nama Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ini adalah pasal karet yang kerap dipakai penegak hukum untuk membungkam pengkritik penguasa.
Luhut melaporkan Haris dan Fatia ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) dengan tuduhan pencemaran nama atas tayangan video yang disiarkan di YouTube. Dia juga menggugat perdata keduanya Rp 100 miliar. Video tersebut berjudul: Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga ada!! Di video itu, mereka sejatinya hanya menyampaikan hasil riset sejumlah organisasi masyarakat sipil yang metodenya ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan. Riset yang dimaksud berjudul Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya.
Riset yang digarap para aktivis lingkungan dan pembela hak asasi manusia (HAM), termasuk Kontras yang dipimpin Fatia, itu menyoroti bisnis tambang emas di Intan Jaya, Papua. Salah satu temuannya adalah dugaan Luhut terafiliasi dengan perusahaan pemegang izin tambang emas di Sungai Derewo, Intan Jaya. Luhut, yang kerap mengklaim sebagai orang yang menjunjung tinggi budaya demokrasi, semestinya cukup merespons tuduhan itu dengan menunjukkan bukti kepada publik, bahwa dia tak terlibat dalam bisnis tambang seperti temuan riset yang diangkat Haris dan Fatia dalam tayangan videonya.
Bukan hanya berlebihan, langkah Luhut melaporkan keduanya ke Kepolisian bisa dianggap sebagai bentuk kriminalisasi atas kebebasan berekspresi dan berpendapat. Diskusi hasil riset yang disampaikan Haris dan Fatia juga bukan kategori tindak pidana. Pasal 310 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan surat keputusan bersama perihal dugaan tindak pidana dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik poin 3 (c) untuk Pasal 27 ayat 3 mengatur bahwa semua bentuk ekspresi yang menyangkut riset, kajian, penilaian, kritik, dan evaluasi merupakan kepentingan publik. Luhut juga pejabat negara yang kerjanya harus diawasi publik. Sehingga melaporkan keduanya ke polisi dan menggugat perdata mereka adalah tindakan keliru.
Penetapan tersangka dua aktivis itu bertolak belakang dengan janji Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat uji kelayakan dan kepatutan di Dewan Perwakilan Rakyat. Ketika itu, Listyo Sigit berjanji tidak menjadikan polisi sebagai alat kekuasaan. Dia mengatakan polisi akan mengedepankan penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan dan persuasif. Bahkan Kapolri sudah mengeluarkan Surat Edaran SE/2/11/2021 agar anggotanya mengedepankan keadilan restoratif untuk laporan kasus pencemaran nama berkaitan dengan UU ITE dan kebebasan berekspresi.
Apa yang terjadi pada Haris dan Fatia, adalah preseden buruk dan ancaman serius bagi demokrasi. Bukan tidak mungkin ke depan pejabat pemerintah kian getol mempidanakan para pengkritik penguasa. Dengan menggunakan Undang-Undang ITE, siapapun yang berseberangan dengan pemerintah bisa dengan mudah dipidana. Apalagi ketika penegak hukumnya beranggapan lebih penting melayani pejabat ketimbang melindungi masyarakat. Situasi kian membahayakan karena saat ini banyak elit yang memiliki budaya demokrasi rendah sehingga bersikap antikritik dan hobi mengadu ke polisi. Tak berlebihan rasanya jika menyebut Luhut masuk kategori ini.
Belum terlambat polisi menganulir penetapan tersangka Haris serta Fatia dan segera menutup kasus tersebut. Terlalu mahal harganya jika kita mengorbankan demokrasi hanya demi menyenangkan seorang menteri.