Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Yang Perlu Dilakukan Presiden Jokowi Setelah Mencabut Izin Konsesi Kawasan Hutan

image-profil

Tim Program Peningkatan Kapasitas Penegak Hukum Sektor SDA Yayasan Auriga Nusantara

image-gnews
Ilustrasi - Hutan (Mengapa Kita Butuh Hutan?). dok. KOMUNIKA ONLINE
Ilustrasi - Hutan (Mengapa Kita Butuh Hutan?). dok. KOMUNIKA ONLINE
Iklan

Pengumuman pencabutan izin konsesi kawasan hutan diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo. Surat keputusan dengan nomor SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut 2.078 izin usaha yang berada di kawasan konsesi. Berbagai izin yang dicabut tersebar dalam bentuk zin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), perizinan penggunaan kawasan hutan (PPKH), hutan tanaman industri (HTI), dan hak pengusahaan hutanHPH. Menurut laporan Auriga Nusantara, terdapat 1,7 juta hektare hutan alam dan 380 ribu hektare gambut yang terletak dalam area ini. Dengan kata lain, keputusan tersebut menjadi angin segar bagi kelangsungan ekosistem hutan yang lebih lestari. Pertanyaannya, apakah SK yang dikeluarkan pada 5 Januari lalu itu bisa menjadi pertanda positif komitmen pemerintah, terutama presiden dalam menjaga kelestarian hutan?.

Untuk sesaat, kita perlu mengapresiasi langkah pemerintah ini. Selanjutnya, kita perlu memberikan perhatian serius terhadap langkah-langkah lanjutan dari kebijakan tersebut. Jika pencabutan izin tidak disertai dengan kebijakan yang mendukung, SK tadi hanya akan menjadi bumbu penyedap kebijakan kehutanan Indonesia. Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah berikut ini.

Pertama, presiden harus berani membuka seluruh data perusahaan yang dicabut izinnya. Selain nama, luasan, dan wilayah konsesi, pemerintah seharusnya mengumumkan alasan pencabutan izin usaha untuk menghindari konflik pasca-keputusan. Seperti diketahui, tiga sektor usaha yang menjadi objek, yaitu sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan, merupakan sektor yang sering memicu konflik agraria di lapangan. Merujuk pada catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sebanyak 121 dari 207 kasus konflik agraria sepanjang 2021 terjadi pada tiga sektor tersebut. Dengan dibukanya alasan pencabutan izin, pengambil kebijakan dan masyarakat dapat memutuskan kebijakan lanjutan yang tepat terhadap objek yang telah dicabut.

Kedua, pemerintah harus berani untuk mem-blacklist perusahaan yang telah dicabut izin konsesinya, khususnya perusahaan yang memang bermasalah dalam perizinannya. Blacklist ini untuk memberikan efek jera yang maksimal sehingga perusahaan tidak mengulangi perbuatan yang sama di kemudian hari. Selain itu, pemerintah perlu untuk merumuskan skema pengklasifikasian daftar hitam tersebut untuk dipublikasikan ke publik, baik pelanggaran terhadap penggunaan izin maupun pelanggaran yang berpotensi merugikan negara. Dalam perumusan ini, koordinasi antarlembaga, seperti seperti Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jenderel Administrasi Hukum Umum, penting dilakukan. Dari Ditjen AHU, akan diperoleh informasi resmi mengenai kepemilikan dan pengoperasian usaha suatu perusahaan.

Ketiga, pemerintah harus mengambil langkah yang memihak masyarakat dan lingkungan di areal hutan yang telah dicabut konsesinya. Proteksi terhadap hutan alam yang ada merupakan kebijakan penting di tengah maraknya perambahan kawasan hutan alam dan penyusutan luas dan fungsinya. Menurut KLHK, penyusutan luasan kawasan hutan alam produksi akibat kebakaran hutan yang berlangsung setiap tahun, perambahan hutan, dan penebangan liar, terjadi hampir merata di semua wilayah kepulauan, kecuali sebagian wilayah Kalimantan dan Papua. Hutan alam adalah kawasan yang merupakan penyangga bagi kelangsungan hutan secara umum. Maka, penyelamatan hutan alam dari degradasi kualitas dan kuantitas kawasan akan sekaligus berkontribusi terhadap kelangsungan ekosistem hutan secara keseluruhan, kehidupan satwa yang ada di dalamnya, dan kehidupan manusia secara luas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terhadap lahan gambut dalam area yang dicabut, pemerintah harus memastikan kondisi keseluruhan areanya. Kerusakan pada area gambut tidak hanya merugikan lingkungan, namun juga berdampak sangat besar secara sosial dan ekonomi. Sebagai kawasan penyimpan cadangan karbon dalam jumlah yang cukup besar, kerusakan dan degradasi lahan gambut akan memberi kontribusi nyata dalam peningkatan emisi gas rumah kaca dan akhirnya dapat menimbulkan pemanasan global. Apalagi, hutan rawa gambut Indonesia memiliki luas yang siginifikan, yaitu sekitar 20 juta hektare atau kurang-lebih 50 persen dari total luas lahan gambut tropika dunia.

Selain itu, pemerintah dapat menyalurkan kawasan hutan kepada masyarakat setempat. Laporan Greenpeace yang mengungkapkan bahwa penjelasan presiden mengenai pencabutan izin lebih menitikberatkan pada faktor produktivitas atau pemanfaatan lahan daripada pertimbangan perlindungan lingkungan. Hal ini menjadi alarm bagi kebijakan lanjutan dari pencabutan tersebut. Pengembalian lahan kepada masyarakat agar bisa mengambil manfaat dari hutan melalui skema yang memadai harus menjadi pilihan mutlak agar kebijakan pencabutan tidak sia-sia. Akan sangat disayangkan jika pada akhirnya lahan yang telah dicabut justru kembali ke tangan korporasi.

Pada akhirnya, pilihan kebijakan ada di tangan pemerintah. Kita semua tentu tidak ingin negara yang dikaruniai kekayaan sumber daya alam yang luar biasa ini mengalami paradox of plenty atau paradoks keberlimpahan, yang justru membuat kekayaan sumber daya alam menjadi kutukan. Pengambilan kebijakan kehutanan dalam lingkup pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana sangat penting sebab negara dengan kekayaan sumber daya melimpah menghadapi kesempatan sekaligus tantangan. Ketika digunakan dengan baik, sumber daya yang ada dapat menciptakan kemakmuran yang lebih besar untuk saat ini dan generasi yang akan datang. Sebaliknya jika digunakan secara tidak bijak, dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi hingga konflik sosial. Pada titik inilah komitmen Presiden Jokowi diuji.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

13 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

22 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

43 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


45 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

51 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

55 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

7 Maret 2024

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.