Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Dampak Ekonomi terhadap Penundaan Pemilu hingga Demokrasi

image-profil

Doktor Sosiologi

image-gnews
Ilustrasi Kotak SUara. TEMPO/Fahmi Ali
Ilustrasi Kotak SUara. TEMPO/Fahmi Ali
Iklan

Saya melihat pola umum di dunia sebagaimana ditulis oleh ekonom Amerika Benjamin Morton Friedman beberapa tahun lalu dalam bukunya “The Moral Consequences of Economic Growth”. Jika perekonomian sebuah negara mengalami stagnasi, gerakan-gerakan kanan (kanan religius atau gerakan supernasionalis) akan bersemi. Tapi jika ekonominya tumbuh, justru gerakan liberal progresif yang akan berkembang pesat, seperti isu pemerataan ekonomi (inequality), feminisme, antidiskriminasi, antirasisme, gender, LGBT, dan sejenisnya, yang rerata berakar pada ideologi kiri.

Harus diakui bahwa memang banyak positifnya jika ekonomi tumbuh progresif ketimbang stagnan. Sebagaimana tendensi yang diamati Benjamin M. Friedman tersebut, demokrasi sejatinya memang harus ditopang oleh “prosperity” agar stabil dan semakin mapan. Bahkan William J. Bernstein dalam bukunya “The Birth of Plenty” tahun 2004 lalu menyimpulkan dengan tegas bahwa prosperity (kesejahteraan/kemakmuran) adalah “driver” krusial lahir dan bertahannya demokrasi, bukan sebaliknya. Memang ada satu dua pengecualian, seperti China misalnya, tapi pada umumnya “prosperity” menjadi bahan pelengkap utama lahir atau bertahannya demokrasi.

Selain Jepang dan Jerman Barat, yang memang menjadi pihak yang kalah pada perang dunia kedua, Korea Selatan dan Taiwan adalah contoh signifikan dan nyata dari teori William J. Bernstein. Korea Selatan setelah Presiden Park Chung-hee dan Taiwan pasca Presiden Chiang Kai-shek secara perlahan beralih kepada demokrasi, setelah mengalami rezim otoriter yang brutal atas nama “state developmentalism”. Jerman Barat, Jepang, Korsel, dan Taiwan membantah pandangan neoliberalisme bahwa pertumbuhan cepat tidak selalu didapat dari mekanisme pasar murni, tapi juga dari intervensi pemerintah secara terukur. Pakar politik Amerika Serikat Chalmer Johnson menyebutnya dengan model “developmental state”, sementara professor ekonomi politik dari London School of Economics, Robert Wade menamainya dengan “Governed Market”.

Setelah 1978, Cina pun memodifikasi gaya pembangunan ekonomi keempat negara tersebut (Jerman Barat, Jepang, Korsel dan Taiwan) dengan cara "mengendalikan gerak langkah pasar" dan mengurangi peran pemerintah secara bertahap. Untuk penyesuaian harga, Cina memperkenalkan strategi “dual track pricing”. Sementara untuk Badan Usaha Milik Negara, Cina menerapkan pendekatan “merangkul yang besar dan melepaskan yang kecil” (kebijakan ini sepertinya yang ditiru oleh Erick Thohir terhadap BUMN RI). Pada dasarnya, kedua pendekatan developmental ini setali tiga uang. Empat negara pertama(Jerman Barat, Jepang, Korsel dan Taiwan) menambahkan peran negara ke dalam gerak langkah ekonomi pasar, sementara Cina mengurangi peran negara hingga batas tertentu. Karena Cina berangkat dari titik yang berbeda demokrasi tidak lahir semudah yang diproyeksikan.

Cina mengendalikan pasar sesuai dengan pengaruhnya kepada partai. Jika liberalisasi ekonomi membahayakan eksistensi partai, maka Cina menekannya. “Membahayakan partai” bermakna (1) mengurangi legitimasi partai di mata rakyat Cina dan (2) mengurangi pengaruh partai dalam menentukan arah kebijakan politik dan ekonomi. Sebelum peristiwa Tiananmen Square pada 4 Juni 1989, dua kepemimpinan partai pengikut Deng Xiaoping, masing-masing Hu Yaobang dan Zhao Ziyang, telah berhasil meliberalisasi ekonomi Cina secara cepat sehingga menyebabkan euforia politik yang berlebihan sebagaimana asumsi Benjamin M. Friedman.

Demonstrasi besar-besaran (gerakan liberal progresif) terjadi di saat inflasi meninggi setelah meninggalnya Hu Yaobang yang dianggap proliberalisme politik. Dan Zhao Ziyang yang dipercaya Deng Xiaoping sebagai pengganti Hu Yaobang beberapa tahun sebelumnya ternyata memilih berpihak kepada para mahasiswa. Deng memerintahkan Jiang Zemin, yang kala itu sebagai Walikota Shanghai, untuk menekan aksi demonstrasi dengan menerapkan pendekatan militeristik, yang berbuah pahit untuk pergerakan progresif tapi memberi pelajaran berharga bagi Deng dan PKT bahwa cara Soviet (liberlisasi politik) harus dikesampingkan dan liberalisasi ekonomi bertahap adalah opsi terbaik.

Atas perannya, Jiang Zemin akhirnya dipilih oleh Deng sebagai pengganti Zhao Ziyang, yakni menjadi Sekretaris Umum PKT(Partai Komunis Tiongkok), lalu kemudian menjadi presiden negeri Tirai Bambu. Dari tahun 1989 hingga awal 1992, reformasi Deng terhenti sejenak. Kekuatan kanan menguat di dalam partai, yang dinakhodai Chen Yun. Meskipun Deng yang revisionis (reformis) menjadi “paramount leader”, di dalam PKT sendiri ada oposisi konservatif yang “setengah Maois” tapi kurang reformis, yaitu Chen Yun (pendiri Central Planning Commision di era Mao) dan pengikutnya, yang menginginkan peran negara tetap dipertahankan secara signifikan.

Dialektika ide berlangsung selama dua tahun di mana Deng mendapat banyak kritikan dari kelompok konservatif, sampai awal tahun 1992, pada “Southern Tour” Deng yang terkenal itu, reformasi ekonomi digaungkan kembali, dengan peran politik partai tetap dipertahankan secara dominan. Sebagian pengamat mengenal gaya ini dengan “Birdcage Style (gaya sangkar burung)” yang diperkenalkan pengikut Chen Yun di mana kapitalisme dianggap sebagai "burung" dan sosialisme sebagai sangkarnya. Bagi Deng, “birdcage” adalah “win-win solution” antara kelompok konservatif Chen Yun dan kelompok reformis Deng. Ide dasar “birdcage” inilah yang menjadi roh dari Kawasan Ekonomi Khusus di mana liberalisasi ekonomi dikerangkeng hanya di dalam kawasan semata.

Dan tak lupa, model “birdcage” pula yang membuat PKT berhasil mengendalikan liberalisasi ekonomi dengan tiga pendekatan utama (legitimation, cooptation, dan repression) sebagaimana dibahas secara apik oleh Bruce J Dickson dalam bukunya “The Dictator's Dilemma” beberapa tahun lalu. Intinya, PKT berhasil menjinakkan kapitalisme dan memangkas "ambisi demokratisasi" yang dibawanya. Walhasil, Cina menjadi anomali dalam teori pembangunan ekonomi di mana kesejahteraan dan kemakmuran yang dihasilkan oleh kebijakan-kebijakan liberalisasi ekonomi ternyata gagal membawa angin demokrasi ke negeri Tirai Bambu itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sementara itu, sebaliknya krisis finansial 2008 di Amerika Serikat dan 2011-an di Eropa, yang menyebabkan lahirnya “secular stagnation” pada ekonomi global, terutama ekonomi negara-negara demokrasi utama dunia, justru mulai menuai apa yang diteorikan Benjamin M. Friedman tadi, yakni mulai berseminya gerakan kanan. Dua pakar politik masing-masing Pippa Norris dan Ronald F. Inglehart dalam buku barunya tahun 2019 lalu, “Cultural Backlash”, menemukan kecenderungan demikian. Donald Trump adalah puncaknya di Amerika Serikat sebagai simbol yang menguatkan kekuatan kanan. Pun ada Viktor Orbàn di Hungaria, Jair Bolsonaro di Brazil, dan Rodrigo Duterte di Filipina. Begitu pula dengan hampir seluruh negara di Eropa yang dianggap demokratis, juga ditemukan kekuatan atau partai baru yang beraliran kanan (neo nazisme dll.), walaupun sebagian belum mampu muncul ke dalam arena elektoral resmi.

Kekuatan kanan baru, yang kental dengan narasi antiimigrasi, adalah simbol menyempitnya lapangan pekerjaan di suatu negara (stagnasi ekonomi), yang menyebabkan persaingan semakin ketat karena kehadiran imigran-imigran dari luar. Donald Trump menuai banyak suara dari kalangan pekerja industri padat karya Amerika Serikat yang merasa terancam oleh kehadiran para pekerja imigran. Plus investasi padat karya Amerika menyusut karena pindah ke Cina, Meksiko, Kanada, dan India, sehingga terjadi pengurangan lapangan pekerjaan. Sementara secara politik, Washington dipandang kian hari kian disfungsional, kian mirip dengan Republik Weimar Jerman( republik parlementer) di era Adolf Hitler yang bergelimang bencana ekonomi akibat Perjanjian Versailles (PD I). Donald Trump mengibaratkan Washington dengan “swamp” alias rawa (istilah dari Steve Bannon). Hal senada juga dipersepsi oleh Viktor Orbàn di Hungaria atau Jair Bolsonaro di Brazil. Dan tak lupa, Brexit yang heboh beberapa tahun lalu, juga dimotori spirit yang sama.

Di Indonesia, saya juga melihat terpaan hal yang sama. Suara anti TKA Cina, misalnya, atau narasi anarkis radikal para pemuka agama, atau “hot and sexy nationalism” ala Gatot Nurmantyo, termasuk gerakan yang ingin menunda Pilpres dan memperpanjang masa jabatan presiden (dengan alasan pemulihan ekonomi) adalah bagian dari stagnasi ekonomi nasional di mana lapangan pekerjaan kian menyempit, setidaknya demikian yang dirasakan masyarakat umum (pribumi) di satu sisi dan melemahnya peran negara dalam memperjuangkan perut rakyat di sisi lain. Penipisan peran negara ini bisa bermakna bahwa dorongan fiskal dari pemerintah tetap besar tapi perannya atau daya ungkitnya pada ekonomi sangat kecil. Boleh jadi bepindah ke saku para oligar atau karena biaya ekonomi yang mahal, sepertinya diperlukan penelitian lebih lanjut tentang hal itu.

Dengan kata lain, melalui pendekatan Friedman di atas, jika lapangan pekerjaan berlimpah, angkatan kerja (pribumi) mudah mendapatkan pekerjaan, maka suara-suara kanan sumbang itu akan hilang dengan sendirinya. Tapi jika lapangan pekerjaan susah dan jutaan angkatan kerja berubah profesi menjadi tukang ojek online sementara tambang-tambang nikel makin bergeliat di Indonesia Timur sana atau proyek-proyek infrastruktur tetap berjalan masif , misalnya, yang tidak dibarengi dengan penyerapan tenaga kerja dalam negeri secara maksimal, ditambah dengan asimetri informasi akibat gelora sosial media yang kredibilitas informasinya belum teruji, maka bisa dipahami sentimen dan narasi seperti itu akhirnya bermunculan.

Pemerintah perlu melihat persoalan penguatan suara-suara kanan religius dalam kacamata ini, selain kacamata radikalisme, antitoleransi, narasi kebencian, dan sejenisnya. Hal yang sama juga dialami oleh negara-negara lain. Joe Biden menjawabnya dengan “Renew New Deal” yang mencakup rencana penyerapan tenaga kerja besar-besaran dari proyek-proyek Green New Deal, infrastruktur, dan Research and Development. Tapi di sentral Asia seperti Tajikistan, Usbekistan, Kirgistan, dan lainnya, suara antiasing (baca: anti China) juga sangat lantang karena mengalami hal yang sama dengan Indonesia.

Mereka mengimpor hampir semua barang dari Cina dan hanya mengekpor minyak dan gas. Sebagaimana kita ketahui, impor (barang atau jasa) adalah bahasa lain dari “offshoring” lapangan pekerjaan. Artinya, mengonsumsi barang dan jasa yang dikerjakan oleh pekerja di luar negara sendiri. Apalagi di Afrika yang konon katanya sudah menjadi wilayah ‘jajahan’ Cina hari ini, suara “sumbang” dan narasi kanan yang mewakili suara "keputusasaan ekonomi domestik" sudah menjadi bagian dari narasi politik sehari-hari, terlepas ditekan atau dibiarkan oleh penguasa setempat.

Pendek kata, tak ada cara lain bagi pemerintah untuk tetap tumbuh bersama demokrasi selain mempercepat “recovery” ekonomi, membenahi fundamental perekonomian nasional, memperbaiki kinerja kebijakan, membangun sektor-sektor dengan keunggulan komparatif dan kompetitif, dan lain lain, yang menyerap sebanyak-banyaknya tenaga kerja domestik agar kue perekonomian nasional segera bisa dirasakan oleh sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia. Artinya secara politik, jika banyak elemen masyarakat yang tak puas dengan kinerja ekonomi nasional, mereka akan mengekpresikannya dengan berbagai cara dan berbagai jenis suara. Pemerintah harus memaklumi itu.

Bukan berarti mereka membenci pemerintah, mereka hanya menyuarakan isi perut dan isi hatinya. Tapi jika sampai mereka membenci pemerintah, berarti pemerintah sudah seperti mantan pacar yang telah menyayat-nyayat hati pacarnya sendiri. Tidak ada yang berani menyalahkan seorang kekasih yang dendam kesumat pada mantan kekasihnya. Dengan lain perkataan, pemerintah tidak bisa melulu berlindung di balik narasi demokrasi untuk tetap mempertahankan demokrasi, tapi juga tidak bisa ujuk-ujuk mengorbankan demokrasi atas nama ekonomi. Cara terbaik untuk membuat demokrasi tetap menjadi pilihan terbaik bagi mayoritas rakyat di satu sisi adalah berjuang sekuat tenaga men-delivery prosperity kepada sebanyak-banyak masyarakat Indonesia, bukan “in the way around” (meminjam bahasa William J. Bernstein) atau hanya dengan ibukota baru, di sisi lain misalnya. Semoga.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Politikus Demokrat Timo Pangerang Diduga Rangkap Jabatan, Ada Indikasi Benturan Kepentingan di LPS

9 hari lalu

Andi Timo Pangerang. Foto: Facebook
Politikus Demokrat Timo Pangerang Diduga Rangkap Jabatan, Ada Indikasi Benturan Kepentingan di LPS

Politikus Partai Demokrat A.P.A Timo Pangerang diduga rangkap jabatan sebagai kader partai dan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)


Dua Begal Terekam CCTV Saat Beraksi di Grogol Petamburan, Ditangkap di Kuningan dan Bogor

15 hari lalu

Ilustrasi begal / penyerangan dengan senjata tajam / klitih / perampokan. Shutterstock
Dua Begal Terekam CCTV Saat Beraksi di Grogol Petamburan, Ditangkap di Kuningan dan Bogor

Unit Reskrim Polsek Grogol Petamburan Jakarta Barat mengungkap motif di balik aksi begal ponsel di warteg wilayah Jelambar Baru, Grogol Petamburan, Jakarta Barat.


Pantang Menyerah Lawan Kanker Ginjal, Vidi Aldiano: Segala Ikhtiar Dilakukan

18 hari lalu

Vidi Aldiano mengunggah foto dirinya saat bertolak ke Koh Samui, Thailand untuk menjalani terapi melawan kanker ginjal. Foto: Instagram.
Pantang Menyerah Lawan Kanker Ginjal, Vidi Aldiano: Segala Ikhtiar Dilakukan

Vidi Aldiano mengaku mengalami serangan kecemasan saat transit di Bandara Changi, Singapura sebelum melanjutkan perjalanan ke Thailand untuk terapi.


PLN Gandeng 28 Mitra Kembangkan Infrastruktur Catu Daya Kendaraan Listrik

21 hari lalu

Direktur Retail dan Niaga PLN Edi Srimulyanti saat menyampaikan sambutannya pada acara penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan 28 mitra badan usaha terkait pengembangan dan penyediaan charging di PLN Unit Induk Distribusi Jakarta Raya (UID Jaya) pada Rabu, 3 Juli 2024.
PLN Gandeng 28 Mitra Kembangkan Infrastruktur Catu Daya Kendaraan Listrik

PT PLN (Persero) melakukan langkah besar dalam memperkuat ekosistem kendaraan listrik di Indonesia dengan menandatangani 30 set Memorandum of Understanding (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan 28 mitra badan usaha terkait pengembangan dan penyediaan charging.


Deretan Film yang Diadaptasi dari Video Game

26 hari lalu

Film Detective Pikachu merupakan film Pokemon live-action pertama dan dikemas lebih modern.
Deretan Film yang Diadaptasi dari Video Game

Adaptasi film yang diambil dari video game menawarkan pengalaman menarik dan menghibur bagi penonton segala usia.


Disdag Palembang Gelar Pasar Murah, Antisipasi Lonjakan Harga Menjelang Idul Adha

43 hari lalu

Antisipasi Lonjakan Harga menjelang Idul Adha, Dinas Perdagangan Kota Palembang Adakan Pasar Murah. TEMPO/ Yuni Rohmawati
Disdag Palembang Gelar Pasar Murah, Antisipasi Lonjakan Harga Menjelang Idul Adha

Pemerintah Kota Palembang melalui Dinas Perdagangan (Disdag) menggelar pasar murah menjelang hari Raya Idul Adha 2024


Asosiasi Tagih Janji Pemerintah Soal Penguatan Industri Game Nasional, Isu Pendanaan Paling Krusial

57 hari lalu

Salah satu industri game dunia Sony and XBOX ONE, mengikuti pameran ini. Industri game di Inggris menyumbang GDP terbesar bagi Inggris, dengan total nilai transaksi mencapai  1.72 milyar poundsterling. Birmingham, Inggris, 24 September 2015.  M Bowles / Getty Images
Asosiasi Tagih Janji Pemerintah Soal Penguatan Industri Game Nasional, Isu Pendanaan Paling Krusial

Asosiasi game nasional mendesak realisasi Perpres Nomor 19 tahun 2024 soal pengembangan industri game nasional sebelum rezim berganti.


Mengenal Tangkahan, Kawasan Ekowisata dan Konservasi Gajah di Taman Nasional Gunung Leuser Sumut

58 hari lalu

Gajah-gajah saat menyiram wisatawan saat berkunjung ke Tangkahan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Gajah-gajah tersebut digunakan bagi wisatawan untuk trekking keliling kawan ini. Tempo/Soetana Monang Hasibuan
Mengenal Tangkahan, Kawasan Ekowisata dan Konservasi Gajah di Taman Nasional Gunung Leuser Sumut

Tangkahan dijuluki sebagai The Hidden Paradise of North Sumatra, karena letaknya yang tersembunyi dengan keindahan alam yang masih alami,


Mengenal Tapera yang Akan Memotong Gaji Pegawai Sebesar 3 Persen

58 hari lalu

Pekerja tengah menyelesaikan proyek pembangunan rumah subsidi di kawasan Sukawangi, Bekasi, Jawa Barat, Senin, 6 Februari 2023. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. targetkan 182.250 unit KPR FLPP dan Tapera, seiring dengan rasio jumlah kebutuhan rumah (backlog) masih tinggi mencapai 12,75 unit. Tempo/Tony Hartawan
Mengenal Tapera yang Akan Memotong Gaji Pegawai Sebesar 3 Persen

Tapera adalah penyimpanan dana yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu


Dieng Caldera Race Digelar 8-9 Juni 2024, Peserta Diajak Lari Menikmati Keindahan dan Dinginnya Dieng

59 hari lalu

Telaga Merdada terlihat dari atas ketinggian 2.500 meter, di Dieng, Banjarnegara, (4/10). Penghujung musim kemarau di Dataran Tinggi Dieng menyuguhkan pemandangan yang eksotis. Aris Andrianto/Tempo
Dieng Caldera Race Digelar 8-9 Juni 2024, Peserta Diajak Lari Menikmati Keindahan dan Dinginnya Dieng

Pada Juni hingga Agustus, suhu udara di ketinggian Dieng mencapai nol derajat Celcius, bahkan minus.