Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Merekam Cerita Orang-orang di Garis Depan Perubahan Iklim

image-profil

Wartawan lepas dan sukarelawan di Bike to Work (B2W) Indonesia

image-gnews
Aktivis lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah menenggelamkan manekin menyerupai pejabat pengambil keputusan saat aksi respon terhadap KTT perubahan iklim COP26, di pesisir Tambakrejo, Semarang, Jawa Tengah, Jumat 5 November 2021. Mereka mendesak agar pemerintah Indonesia memberikan solusi dan kontribusi nyata dalam mengatasi krisis iklim dengan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi, serta mengedepankan pembangunan yang berkesinambungan dengan alam. ANTARA FOTO/Aji Styawan
Aktivis lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah menenggelamkan manekin menyerupai pejabat pengambil keputusan saat aksi respon terhadap KTT perubahan iklim COP26, di pesisir Tambakrejo, Semarang, Jawa Tengah, Jumat 5 November 2021. Mereka mendesak agar pemerintah Indonesia memberikan solusi dan kontribusi nyata dalam mengatasi krisis iklim dengan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi, serta mengedepankan pembangunan yang berkesinambungan dengan alam. ANTARA FOTO/Aji Styawan
Iklan

Resensi Buku

Judul: 1001 Voices on Climate Change: Everyday Stories of Flood, Fires, Drought, and Displacement from Around the World
Penulis: Devi Lockwood
Penerbit: Simon & Schuster
Terbit: Agustus 2021
Tebal: 352 hlm. (e-book)

---

“SAYA tidak membawa kuas ke Tuvalu, tapi saya membekali diri dengan perekam suara. Misi saya: mendengarkan cerita tentang perubahan iklim.”

Namanya Devi Lockwood. Fotonya, dalam beragam momen, tersebar di dunia maya: berkaos oblong atau mengenakan pullover, menggendong ransel, terkadang sedang bersama sepedanya, sebuah Surly Disc Trucker; dan di lehernya selalu tergantung selembar potongan kardus yang bertuliskan kata-kata “Ceritakan kepadaku tentang Perubahan Iklim.”

Biasa bersepeda lagi sejak 2013, Devi mulanya mendapat ide untuk mendengarkan orang kebanyakan bercerita, tentang hal-hal penting dalam hidup mereka, selepas pengeboman dalam lomba maraton di Boston. Menjelang lulus dari jurusan Folklor dan Mitologi di Harvard University, dia memutuskan untuk mengumpulkan penuturan tentang perubahan iklim dari orang-orang biasa di garis depan di enam benua, yang suaranya tak pernah dihiraukan media--suara tentang pengalaman hidup yang bertambah pelik dan berat.

Perempuan yang kini bekerja sebagai editor di Philadelphia Inquirer itu ingin menempatkan cerita-cerita tersebut dalam suatu wadah yang memungkinkan satu dan yang lain seakan-akan berdialog, terutama dengan cerita yang didapatkannya lebih dulu manakala bersepeda 1.200 kilometer menyusuri Sungai Mississippi tak lama setelah pulih dari operasi cedera lutut. Dia ingin tahu makna yang bisa diperoleh.

Dengan “memberi nama dan suara kepada mereka yang terkena dampak... saya ingin memanusiakan isu yang kerap dibahas dalam kaitan dengan angka: milimeter naiknya permukaan laut atau derajat perubahan suhu,” katanya.

Mengapa perubahan iklim? Dan mengapa berfokus kepada air dan perannya bagi orang-orang yang dia temui dalam perjalanan? Devi berpendapat, keduanya merupakan isu yang saling bertautan. Dia menjelaskan di bagian pengantar: “Perubahan iklim sulit divisualisasikan. Air itu mudah dibicarakan. Setiap orang membutuhkan akses terhadap air minum yang aman agar bisa bertahan hidup. Dan setiap orang punya cerita tentang air: menjadi saksi banjir, atau hidup dalam kekeringan, atau bahkan pengalaman belajar berenang.”

Untuk trip--sebagian besar dengan bersepeda--yang direncanakannya tersebut, dia mengajukan proposal ke mana-mana. Banyak yang menolak. Dia beruntung mendapat dukungan dana dari Gardner Traveling Fellowships, satu-satunya pihak yang menjawab ya untuk permohonan yang disampaikannya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Buku berjudul 1001 Voices on Climate Change: Everyday Stories of Flood, Fires, Drought, and Displacement from Around the World ini, kumpulan berbagai cerita yang dia dapatkan selama lima tahun, mengikuti perjalanannya sejak dari Tuvalu. Negara mini berupa atol atau pulau karang di Pasifik bagian selatan ini terancam tenggelam karena naiknya permukaan air laut. Dia bertemu dan berinteraksi, di antaranya, dengan kepala kantor meteorologi setempat, yang menunjukkan bagaimana intrusi air laut memustahilkan penanaman bahan pangan pokok penduduk Tuvalu; petugas counter penjual kartu telepon, yang memberinya tumpangan menginap serta mengajarinya menghemat air dan melarangnya ikut mencuci piring karena “orang kulit putih tak tahu cara mencuci piring tanpa menghabiskan air”; dan koordinator proyek badan adaptasi nasional, yang menggambarkan kepadanya bahwa air laut bukan saja naik dan datang dari kawasan pantai, “tapi juga muncul dari dalam tanah”.

Di Tuvalu, Devi dipaksa menyadari keturutsertaannya sebagai warga Amerika Serikat dalam ketidakadilan lingkungan di tataran global. Warga Tuvalu yang dia temui adalah sebagian dari penduduk bumi yang paling terdampak oleh perubahan iklim tapi justru teramat sedikit berkontribusi kepada hal-hal yang menjadi penyebabnya.

Lalu, dia melawat dari kawasan hutan hujan Amazon ke Lingkar Arktik, mendengarkan para pencerita lain di sepanjang perhentian. Dia merekam banyak kisah dari para orang tua, khususnya ibu-ibu, yang memutuskan untuk menyingsingkan lengan baju merespons ancaman bencana. Dia bahkan bersua dengan Trisha Dello Iacono pada saat berlangsung People’s Climate March di Washington D.C. Iacono adalah Manager Lapangan dan Legislatif di Moms Clean Air Force, sebuah komunitas yang berjuang melawan polusi udara demi kesehatan anak. Cerita pertanian keluarga Iacono ikut mengisi buku ini.

Ada kisah lain dari, umpamanya, Katrine Boel Gregussen di Norwegia. Di dapur rumahnya, perempuan yang pada masa mudanya aktif di Partai Sosialis Kiri dan sempat melihat sendiri kerusakan di Greenland ini membagikan kecemasannya tentang kecanduan negaranya terhadap minyak. Dia menyebut hal itu sebagai penyebab sikap “tak hormat terang-terangan terhadap dampaknya bagi masa depan”. Tapi dia melihat masih ada harapan karena munculnya generasi muda pencinta lingkungan.

Devi juga menuturkan cerita tentang, antara lain, seorang perempuan Uganda bernama Gertrude. Dia menjumpainya di Maroko, pada 2016, saat berlangsung United Nations Climate Change Conference di Marakesh. Dengan dorongan motivasi kesetaraan gender, Gertrude bertolak menghadiri konferensi itu demi upaya memperlihatkan dampak yang tak adil dari perubahan iklim terhadap perempuan.

Berbeda dari buku-buku lain yang tergolong telak dan menggugah tentang ancaman katastrofi akibat perubahan iklim, misalnya The Uninhabitable Earth dan The Future We Choose, Devi tak menjejali bukunya dengan statistik dan analisis, juga argumentasi. Dia hanya bertindak sebagai pendongeng, mengantarkan detail dari orang-orang yang membuka diri kepadanya, walau di sana-sini membubuhkan pula perenungan pribadinya. Dia percaya cerita yang disampaikan dengan baik, dengan penuh empati, bukan saja mampu menyentuh pembaca, melainkan juga memotivasi mereka untuk bertindak.

Menurut pengamatannya, percakapan tentang perubahan iklim kerap mengabaikan orang-orang yang seharusnya didengar. Karena itu, melalui cerita yang dia himpun ini, dia menghadirkan mereka, yang tinggal di tempat terpencil atau yang bisa didengar pendapatnya di dapur, demi mengisikan “tekstur dan nuansa yang utuh”.

Dalam situasi krisis, membuka telinga semacam itu sangat diperlukan. Seperti diyakini pula oleh Devi, mendengar adalah titik tolak untuk memulai perjalanan membangun solusi. “Kalau kita membangun solusi yang tak menghiraukan suara orang-orang yang bakal terdampak, itu berbahaya--dan lebih penting lagi: tidak efektif,” katanya.

Berkat buku seperti ini, siapa saja yang belum punya bayangan, apalagi para pembuat kebijakan, mestinya jadi dimudahkan dalam memahami apa itu dan akibat riil dari perubahan iklim. Jelas, tak perlu mengikuti jejak Devi untuk ini, termasuk dengan mengalungkan potongan kardus bertuliskan “Ceritakan kepadaku tentang Perubahan Iklim.”

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

16 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

25 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

46 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


48 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

54 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

58 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

7 Maret 2024

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

6 Maret 2024

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.