Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Wajah DPR Kita Hari Ini

image-profil

Tempo.co

Editorial

image-gnews
Arteria Dahlan. Facebook/@Arteria Dahlan
Arteria Dahlan. Facebook/@Arteria Dahlan
Iklan

ARTERIA Dahlan memang sudah minta maaf karena sikap rasialisnya dalam rapat dengan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pada 17 Januari 2022. Dalam rapat itu, anggota Komisi Hukum DPR dari PDI Perjuangan ini meminta Burhanuddin mengganti seorang Kepala Kejaksaan Tinggi karena memakai bahasa Sunda ketika sedang rapat dengannya.

Orang Sunda tentu harus menerima permintaan maaf itu. Jika mau terus menghukumnya, jangan beri suara kepadanya. Karena Arteria mewakili Jawa Timur, orang Sunda bisa menghukum dengan tak memilih partainya. Dalam demokrasi, cara menghukum politikus yang menjengkelkan adalah dengan tidak memilihnya agar mereka tak mewakili kita membuat hukum yang mengatur hajat hidup orang banyak.

Sebab, politikus seperti Arteria jadi wajah DPR kita hari ini, yang tenar karena perilakunya tak senonoh. Mungkin mereka sedang mempraktikkan peribahasa Arab bul 'alaa zamzam fatu'raf, kencingi sumur zamzam jika ingin terkenal. Tentu, terkenal seperti itu bukan tenar karena prestasi tapi karena kebodohan dan ketidakpatutan.

Bisa juga karena ini: petantang-petenteng untuk menutupi nyali, sok kuasa untuk menyembunyikan kelemahan. Soalnya, dalam sebuah rapat di DPR, Arteria Dahlan ternyata juga memakai idiom bahasa Sunda ketika mengucapkan kata “ujug-ujug”. Arteria seolah tidak tahu jika kata ini berasal dari bahasa Sunda.

Karena itu, setelah Indonesia merdeka 76 tahun, menyoal perbedaan karena suku, ras, agama, sudah sangat ketinggalan. Jika politikus seperti Arteria tak paham soal mendasar ini memang ada yang keliru dalam pendidikan karakter kita. Setidaknya, PDIP gagal mendidik kadernya.

Apalagi, memuliakan bahasa daerah adalah amanat UUD 1945 pasal 32 ayat 2, yang harusnya jadi pengetahuan dasar seseorang sebelum terjun ke dunia politik. Cara memuliakan bahasa daerah adalah memakai idiom-idiomnya dalam percakapan. Sehingga bahasa Indonesia, yang terbangun oleh begitu banyak bahasa daerah, akan semakin kaya.

Arteria Dahlan mungkin tak paham makna bahasa sedalam itu. Arogansinya mengubur kedudukannya sebagai anggota DPR yang mendapat kemuliaan mewakili rakyat membuat undang-undang dan mengawasi pemerintahan. Arogansi yang kini jadi gejala umum di gedung parlemen.

Dalam rapat 19 Januari 2022 saat membahas APBN, Komisi Sosial DPR mengusir Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial karena dianggap berkomunikasi tidak sopan. Sepekan sebelumnya Komisi Hukum mengusir Komisi Nasional Perempuan karena telat. Alih-alih terlihat menegakkan aturan, para anggota DPR tengah menunjukkan sok kuasa dengan semena-mena kepada orang lain.

Pamer jabatan dan kuasa ini juga acap kita lihat di luar gedung DPR. Dengan nomor khusus kendaraan mereka acap minta diistimewakan di jalan umum, bahkan di tengah kemacetan. Itu kenapa lima mobil Arteria Dahlan memiliki nomor khusus polisi.

Dengan deretan arogansi dan sok kuasa itu wajar jika DPR tak dipercaya publik. Dalam survei Indikator Politik pada September tahun lalu, DPR dan partai politik menjadi lembaga negara paling tidak dipercaya masyarakat.

Untuk itu, agar kehormatan DPR sedikit naik, Majelis Kehormatan Dewan sebaiknya proaktif menangani perilaku anggota-anggotanya yang lancung. Meskipun ini harapan muluk, jika MKD memberi sanksi tegas kepada mereka yang berbuat tidak patut, publik mungkin akan kembali menaruh harapan kepada lembaga ini.

Satu-satunya cara agar kepercayaan masyarakat pulih, DPR kembali ke perannya sebagai lembaga yang mewakili kepentingan publik. Merebut kembali kebebasan melalui Reformasi 1998 terlalu mahal ongkosnya jika demokrasi melahirkan DPR seperti kritik Franz Kafka yang dikutip penulis Italia Leo Longanesi dalam Let’s Talk About the Elephant: seorang idiot adalah seorang idiot, dua orang bodoh adalah dua orang bodoh, tapi sepuluh ribu orang dungu adalah partai politik.

 

Catatan koreksi: Editorial ini telah diubah 24 Januari 2022 pukul 21.20 WIB pada kalimat "Itu kenapa lima mobil Arteria Dahlan memiliki nomor polisi yang sama berlogo DPR" menjadi "Itu kenapa lima mobil Arteria Dahlan memiliki nomor khusus polisi."

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

2 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

23 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


25 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

31 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

35 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

50 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

51 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.