Sebagai “mandataris” Muktamar ke-34, Rais Aam KH Miftachul Akhyar dan Ketua Umum KH Yahya Cholil Staquf telah mengumumkan susunan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmah 2022-2027 (Rabu, 12 Januari 22). Formasinya jauh beda dibanding periode-periode sebelumnya.
PBNU saat ini tidak saja berpostur gemuk—dengan 187 personel—tetapi juga memasukkan unsur perempuan baik di jajaran mustasyar, syuriah maupun tanfidziyah.
Kalau soal keterlibatan para politisi, tentu kita maklum. Dari dulu kepengurusan NU memang selalu begitu. Apalagi organisasi para kiai ini juga pernah menjadi partai politik mandiri.
Tak sedikit komentar, merespons diumumkannya kepengurusan baru tersebut. Biasa, ada pro dan kontra. Dari yang bernada serius hingga yang sekadar candaan saja.
Keadilan Gender
Soal masuknya tokoh perempuan, misalnya. Meski hanya 11 personel, jauh dari “tuntutan” 30 persen yang diidealkan, namun ini telah menjadi catatan penting menjelang satu abad masa khidmah NU. Sepanjang sejarahnya, baru kali ini para perempuan diakomodasi dalam kepengurusan.
"Kalau perempuan sudah masuk jajaran PBNU, boleh dong yang laki-laki menjadi pengurus Muslimat dan Fatayat." Demikian canda teman.
Muslimat adalah badan otonom (Banom) yang mewadahi kaum perempuan. Terutama untuk para ibu. Ketua Umumnya saat ini adalah Ibu Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur. Sudah tiga periode ini dia memimpin ibu-ibu Muslimat.
Sedang perempuan yang muda terwadahi dalam Fatayat. Disebut juga pemudi NU. Pemudanya disebut Ansor. Yang lebih muda lagi, atau para remaja, ke dalam IPPNU (Ikatan Putri Putri / Pelajar Putri Nahdlatul Ulama). Untuk remaja putra, ada IPNU (Ikatan Putra / Pelajar Nahdlatul Ulama).
Boleh jadi, usulan teman itu juga serius. Dia akan memastikan bahwa masuknya laki-laki ke dalam Banom perempuan tak lain agar keadilan gender benar-benar dapat diwujudkan. Dia akan all out memperjuangkan itu di sana.
Namun jika itu prinsipnya, justru yang lebih penting adalah merubah mindset tentang peran perempuan itu sendiri. Bahwa perempuan harus diwadahi secara eksklusif, hanya berkaitan dengan "dunia"nya, sudah semestinya dirubah.
Dalam konteks itu, kepemimpinan Kiai Mif dan Gus Yahya—sapaan akrab Rais Aam dan Ketua Umum PBNU—telah melakukan terobosan dan perubahan mendasar. Bukan sekadar menempatkan para perempuan asik dengan dunianya sendiri. Dunia para perempuan NU tak hanya Muslimat, Fatayat dan IPPNU. Mereka juga mempunyai hak yang sama untuk merumuskan berbagai kebijakan tentang ke-NU-an.
Itulah keadilan gender. Salah kaprah jika memperjuangkannya dengan meminta kuota untuk laki-laki dalam ormas perempuan. Yang terjadi bisa sebaliknya, justru hanya melanggengkan “penjajajahan” atas nama keadilan.
Kepengurusan Multipolar
Lalu, masuknya para politisi dalam kepengurusan kali ini juga tak luput dari sorotan. “Ternyata tak ada bedanya, sekarang justru lebih banyak.” Demikian di antara komentar itu.
Tentu beda dibanding periode sebelumnya. Yang lalu, sangat tampak jelas PBNU didominasi dari kekuatan partai tertentu. Sekjen Helmy Faishal Zaini misalnya, anggota DPRRI dari PKB. Kalaupun ada dari kader partai lain, bukanlah pada posisi yang menentukan.
Sementara saat ini jauh lebih beragam. Kepengurusan yang oleh Gus Yahya disebut “multipolar”, tidak bertumpu pada kutub politik tertentu. Kepengurusan ini memiliki banyak kutub.
Pada posisi strategis Waketum ada Nusron Wahid dari Golkar. Bahkan untuk Bendahara Umum dipercayakan kepada Mardani Maming, pengusaha muda yang juga Ketua PDI Perjuangan Kalimantan Selatan. Dari PPP juga tak sedikit. Konon, ada 25 orang termasuk Wakil Rais Aam KH Afifuddin Muhajir dan Rais Syuriah KH Mustofa Aqil Siradj, Ketua Majelis Syar'i DPP PPP.
Banyaknya pengurus dari latar belakang partai yang beragam itu, dinilai bahwa Rais Aam dan Ketua Umum PBNU saat ini tengah menerapkan politik akomodasi. Bahkan ada yang menganggap, ini telah mengingkari janji untuk menjaga “independensi” NU itu sendiri.
Namun, menurut saya, bukan di situ masalahnya. Independensi tak berarti “a-politik”, bebas dari politik, atau dengan melarang masuknya para politisi. Tetapi yang pasti, NU harus jauh dari kesan menjadi sub-ordinasi, apalagi di bawah kendali kekuatan partai tertentu.
Dalam konteks itulah sebenarnya PBNU saat ini justru dapat dinilai telah mewujudkan "pemerataan" peran. Saya menyebut itu sebagai keadilan politik. Bahwa seluruh “stakeholder” NU diberikan hak yang sama. Kader NU, dengan latar belakang partai apapun, diperlakukan setara untuk ikut bertanggungjawab membesarkan organisasi para kiai ini secara bersama-sama.
Kita tak memungkiri, memang ada hubungan "khusus" antara NU dengan PKB. Partai yang dideklarasikan pada 23 Juli 1998 ini dibidani kelahirannya oleh para kiai NU. Demikian pula PPP, kaitan historisnya sangat nyata, merupakan fusi partai-partai Islam pada 1973 di mana saat itu NU bahkan ikut membentuknya.
Namun kita juga tak boleh menutup mata bahwa dengan Kembali ke Khittah 1926, sebagaimana keputusan Muktamar Situbondo (1984), NU tidak lagi terikat secara formal dengan kekuatan politik manapun. Tanpa kecuali dengan PKB, partai yang lahir di masa Khittah itu sendiri.
Pasca Khittah kita menyaksikan bertebarannya kader NU di hampir semua partai. Slamet Efendi Yusuf adalah salah seorang kader handal yang terhitung awal berkarir melalui Golkar. Saat itu posisinya sebagai Ketua Umum GP Ansor (1985-1995).
Namun jauh sebelum itu, KH Musta’in Romly, pengasuh Pesantren Darul Umum, Rejoso Jombang, sebenarnya telah terlebih dahulu mengawali. Mursyid Tharekat dan pendiri Universitas Darul Ulum, Jombang, itu bisa disebut “Assabiqunal awwalun”, generasi paling awal yang hijrah ke Golkar, justru tak lama setelah NU berfusi ke dalam PPP.
Saat ini, terutama sejak satu dekade terakhir, di beberapa daerah bahkan ada kader NU yang menjadi Anggota Legislatif dari PAN dan PKS. Di partai nasionalis selain PDI Perjuangan dan Golkar, juga tak sedikit jumlahnya. Di NasDem ada Aam Haerul Amri, Waketum Ansor yang menjadi Ketua Bidang Kepemudaan sekaligus Sekjen Garda Pemuda NasDem.
Demikian pula di Gerindra, KH Irfan Yusuf (Gus Irfan), putra KH Yusuf Hasyim atau cucu Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy'ari, masuk jajaran elitenya. Ini berarti pemerataan peran politik kader NU telah tercipta sangat baik. "NU tidak ke mana-mana tetapi ada di mana-mana." Demikian bahasa populernya.
Tumbuh Merata
Selain multipolar, yang menarik sebenarnya, kepengurusan NU saat ini juga lebih heterogen dari latar kewilayahan, profesi, dan jabatan.
Tampilnya banyak tokoh dari berbagai daerah semakin membuktikan bahwa NU tidak “Jawasentris”. Kesan NU hanya berpusat di Jawa, khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah, tidak saja bisa ditepis, tetapi akan dapat dibuktikan dengan langkah nyata ke depan.
Di situlah kejelian Ketua Umum PBNU membaca keadaan dan kompleksitas persoalan. Gus Yahya—yang mempunyai visi “menghidupkan Gus Dur kembali”—mengistilahkan kepengurusan NU saat ini berwajah nusantara. Lebih inklusif dan pluralistik.
Bisa disebutkan misalnya, Herman Deru, Gubernur Sumatera Selatan, yang juga fungsionaris Partai NasDem, ditunjuk sebagai Mustasyar. Dari Kalimantan, selain Mardani Maming, juga ada Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor sebagai A'wan Syuriah. Dia adalah Ketua Partai NasDem di sana. Beberapa pejabat, terutama dari Kementerian Agama, juga tampil.
Dengan membaca susunannya, kepengurusan NU telah merepresentasikan kekuatan Indonesia. Tentu, mereka ditampilkan bukan sekadar sebagai pajangan, jauh dari maksud hanya untuk memenuhi kepantasan. Yang paling utama, dengan kekuatan tersebut, justru akan semakin mempermudah jalan “pemerataan” program kemaslahatan.
Komitmennya, NU tumbuh merata. Gairah dan “gebyar” ke-NU-an, baik di Jawa maupun luar Jawa, harus sama. Karena, jujur mesti diakui, pertumbuhan NU sampai saat ini masih sangat timpang.
Jika mengikuti teori “trickle down effect” sebagaimana Orde Baru menerapkan itu, pertumbuhan NU yang sangat besar di Jawa khususnya, tidak kunjung memberikan stimulasi untuk bisa menggerakkan kekuatan NU di luar Jawa. Jelas, ketimpangan ini tidak cukup diselesaikan dengan sekadar memasang orang. Menjadikan perwakilan Luar Jawa, sekali lagi, hanya sebatas pajangan, tentu bukan merupakan jawaban.
Langkah konkrit segera yang harus dilakukan, tak lain, dengan pemerataan program. Jauh hari, sebelum menjadi Ketua Umum, Gus Yahya sering mengibaratkan NU memiliki 500an outlet (jumlah kepengurusan Cabang, baik Kabupaten maupun Kota). PBNU cukup memfasilitasi agar pemerintah atau kalangan swasta bisa hadir mengisi outlet itu, sudah lebih dari cukup untuk bisa menggerakan NU di seluruh Indonesia.
Tentu, outlet itu mesti diisi dengan barang yang bermutu. Tak lain, berupa program yang benar-benar sesuai kebutuhan, menjawab persoalan, untuk meningkatkan kemaslahatan. Kita tunggu saja program aksinya.
Kalisuren, 21 Januari 2022