Editorial Tempo.co
---
TATA kelola riset pemerintah amburadul pasca-pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional. Ini merupakan petunjuk yang terang bahwa keputusan menjadikan BRIN sebagai sebagai sebuah lembaga riset raksasa yang menangani semua riset pemerintah merupakan langkah yang tidak strategis dan tidak efektif.
Agar semua penelitian secara teknis langsung dikendalikan oleh BRIN, semua lembaga riset milik pemerintah dibubarkan dan ditarik ke dalam BRIN. Reorganisasi ini mengakibatkan banyak penelitian dan fungsi penting lain pada lembaga-lembaga yang dibubarkan tersebut terhenti. Misalnya, beberapa pekerjaan pengawasan dan riset terkait Covid-19 oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman kini terancam terhenti karena BRIN menghentikan kontrak dari 113 pekerja honorer dan pegawai pemerintah non-pegawai negeri (PPNP) di lembaga yang baru dibubarkan itu. Sebanyak 71 staf yang diberhentikan itu berstatus peneliti.
Sejumlah peneliti di Kapal Baruna Jaya milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi juga diberhentikan dengan dalih perampingan organisasi. Proyek prototipe strategis seperti pesawat nirawak Elang Hitam di BPPT pun terancam mandek karena perisetnya tercerai-berai, sementara panduan kerja setelah reorganisasi belum jelas.
BRIN memang menawarkan solusi bagi para peneliti dengan skema alih status menjadi aparatur sipil negara. Periset dapat mengikuti seleksi penerimaan aparatur sipil negara atau melanjutkan studi. Peneliti juga bisa memilih untuk menjadi operator laboratorium di Cibinong, Jawa Barat. Tapi jalan keluar itu terlambat dipersiapkan. Seharusnya kebijakan tersebut sudah dirumuskan sejak pembentukan BRIN melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Lambannya reorganisasi BRIN tak lepas dari politisasi lembaga riset tersebut. Selama lebih dari setahun sejak undang-undang disahkan, BRIN berjalan tanpa struktur organisasi yang jelas. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang aktif mengawal pengesahan Undang-Undang Sisnas Iptek bersikeras mendorong Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN.
Struktur organisasi BRIN yang baru membuat fokus dan prioritas riset menjadi kabur. Dengan dalih menyelaraskan penelitian dengan ideologi negara, BRIN menarik seluruh proses pengkajian dan riset ke lembaga otonom itu. Terbaru, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia diminta mengintegrasikan penelitian dan kajiannya ke BRIN. Permintaan ini jelas menyalahi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan Komnas HAM sebagai lembaga independen yang juga menjalankan fungsi penelitian.
Sebagai lembaga yang membantu Presiden menyelenggarakan pemerintahan di bidang riset dan inovasi, BRIN seharusnya menjadi regulator dan perumus strategi riset dan inovasi nasional, bukan malah menjadi lembaga riset baru. Secara teknis lembaga-lembaga riset yang ada sebenarnya masing-masing sudah berjalan. Semestinya mereka dapat diatur, diarahkan, dipayungi, tanpa perlu dibubarkan. Karena yang paling dibutuhkan sekarang adalah ekosistem yang mendukung penelitian dan inovasi, arah yang jelas dan terpadu, sistem pendanaan riset yang efektif, hingga strategi hilirisasi, bukan satu lembaga riset super.
Pemerintah dan BRIN mesti segera menyelesaikan carut-marut reorganisasi ini. Jangan sampai kekacauan tersebut menghambat tujuan untuk membangun ekosistem riset yang mendukung pengembangan perekonomian yang berbasis pengetahuan.
Sedangkan untuk jangka pendek, jika tidak segera diselesaikan, kekacauan ini dapat menghambat banyak riset strategis yang tengah berjalan, terutama penelitian yang didesain khusus untuk merespons pandemi Covid-19 seperti pengembangan vaksin Merah Putih. Jangan sampai riset untuk mewujudkan kemandirian vaksin terkatung-katung hanya karena tata kelola kelembagaan BRIN yang berantakan.
Baca juga: Dampak Eijkman Bergabung ke BRIN, 71 Staf Peneliti Diberhentikan