---
PEMERINTAH dan masyarakat jangan sampai lengah dengan Covid-19 varian Omicron. Tiga kasus infeksi Omicron yang terjadi di Indonesia merupakan alarm supaya kita tetap waspada. Kolapsnya fasilitas kesehatan gara-gara varian Delta yang memicu lonjakan kasus sepanjang Mei-Juni 2021 lalu seharusnya menjadi pelajaran agar kejadian serupa jangan sampai terulang.
Kehadiran varian baru ini sekaligus menunjukkan bahwa pandemi belum berakhir. Riset menunjukkan kalau jenis virus tersebut terbentuk dari mutasi yang cukup banyak dan berbeda dari jenis Covid-19 sebelumnya. Memang, dari 15 ribu kasus varian Omicron di dunia, hanya satu pasien di Inggris yang meninggal dan gejala yang ditimbulkan terbilang ringan. Meski begitu, kita tidak boleh gegabah. Justru dengan ringannya gejala yang muncul, maka Omicron bisa "menyelinap" di mana saja tanpa isyarat.
Satu dari tiga kasus Covid-19 varian Omicron yang terjadi di Indonesia menunjukkan sudah ada penularan di dalam negeri. Infeksi itu terjadi di Wisma Atlet Kemayoran yang menerapkan protokol kesehatan ketat dan untungnya ketahuan dalam pengecekan kesehatan secara berkala. Sementara dua kasus lainnya terjadi pada pasien yang baru kembali dari Amerika Selatan dan Inggris.
Atas tiga kasus tadi, pemerintah harus lebih serius menerapkan 3T, yakni testing, tracing, dan treatment. Sudah selayaknya pemerintah menggencarkan pelacakan aktivitas untuk mencegah penularan yang lebih luas. Jika semula hanya menelisik delapan kontak langsung, tidak ada salahnya untuk menambah lagi penelusuran jumlah kontak erat sampai jejaknya benar-benar bersih. Pendek kata, investigasi lapangan dan penyelidikan epidemiologi harus lebih dimaksimalkan.
Tak hanya berlaku bagi orang-orang yang pernah berinteraksi langsung dengan pasien, tes Covid-19 juga mesti diterapkan kepada masyarakat yang merasakan gejala umum infeksi virus corona, di antaranya demam, saturasi oksigen turun, hingga kehilangan kemampuan indra penciuman atau anosmia. Sebab, temuan satu kasus biasanya akan terus berlanjut pada kasus kedua, ketiga, dan seterusnya. Satu-satunya cara untuk memutus mata rantai penularan hanyalah dengan memperbanyak penelusuran dan pengetesan.
Jika dua dari tiga kasus varian Omicron di Indonesia tadi berasal dari luar negeri, maka sudah sepatutnya pemerintah memperketat aturan perjalanan lintas negara. Pemerintah memang sudah tidak menerima pendatang dari sembilan negara Afrika dan Hongkong karena Omicron, kecuali mereka delegasi G20. Namun langkah itu belum cukup. Tak ada salahnya pemerintah mempertimbangkan kembali untuk menambah daftar pelarangan kedatangan terhadap sejumlah negara yang sedang mengalami ledakan kasus Covid-19.
Hal lain yang harus menjadi perhatian adalah karut-marut urusan karantina. Dalam membuat kebijakan, pemerintah seyogyanya tidak membuat aturan pilih kasih. Celah abu-abu seperti ini justru mudah diselewengkan sehingga memicu persekongkolan. Lebih jauh dari itu, diskresi atau pengecualian yang berlaku bagi pejabat publik malah menyalahi filosofi karantina menghadapi wabah. Kita seharusnya paham penyebaran virus tidak pernah pandang bulu, apalagi strata sosial.
Oleh karena itu, pemerintah jangan mencla-mencle dalam urusan kesehatan. Tingginya mobilitas selama libur Natal dan tahun baru justru membuat kita harus lebih waspada. Jangan sampai kerja keras menurunkan kasus dalam dua-tiga bulan terakhir buyar gara-gara kita memadang sebelah mata Covid-19 varian Omicron.
Baca juga:
Apakah Vaksin yang Ada Efektif Mencegah Keparahan Infeksi Varian Omicron?