Editorial Tempo.co
---
Kasus pemerkosaan belasan santri di pesantren Manarul Huda, Bandung, menunjukkan bahwa kejahatan seksual rawan terjadi di lembaga yang dikelola secara tertutup. Kementerian Agama harus segera “mengaudit” seluruh pesantren dan sekolah berasrama berbasis agama yang selama ini tidak berinteraksi dengan masyarakat sekitar dan menutup diri dari pengawasan pihak luar.
Dalam sidang di Pengadilan Negeri Bandung, pemilik dan pengasuh pesantren Manarul Huda, Herry Wirawan, terungkap telah mencabuli korbannya tanpa terendus sejak 2016. Korban rata-rata masih berusia 13-16 tahun. Delapan di antaranya telah melahirkan bayi. Bahkan, salah satu korban sudah melahirkan dua bayi. Pengadilan seharusnya menjatuhkan vonis seberat-beratnya bila Herry terbukti bersalah. Sebab, sebagai pemimpin dan pengasuh pesantren yang seharusnya mendidik dan melindungi, dia justru menyalahgunakan relasi kuasanya dengan para santri yang tidak berdaya.
Perbuatan Herry juga bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pesantren dan sekolah berasrama lainnya. Dulu, pondok pesantren adalah salah satu tempat yang dianggap paling aman oleh masyarakat. Itulah sebabnya banyak orang tua yang mempercayakan anak-anaknya untuk diasuh di pesantren. Jangan sampai citra pesantren dan sekolah berbasis agama lainnya terus tergerus gara-gara perbuatan bejat para predator berkedok ustad, guru, atau pembina siswa asrama.
Kasus di pesantren Manarul Huda bukanlah yang pertama—tapi kita berharap ini menjadi kasus yang terakhir. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat 37 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan pesantren sepanjang 2018-2019. Dari jumlah itu, sebanyak 67 persennya didominasi kekerasan seksual yang sempat membetot perhatian publik. Adapun menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, pesantren menempati urutan kedua setelah universitas dalam hal kasus kekerasan seksual periode 2015-2020.
Terungkapnya satu per satu kasus kekerasan seksual itu menunjukkan bahwa pengawasan terhadap pesantren atau sekolah agama berasrama lainnya masih lemah. Kementerian Agama memang telah mengakui kecolongan atas peristiwa di Kota Bandung itu. Bahkan, kementerian juga telah mencabut izin operasional pesantren tersebut. Namun, semua itu belum cukup.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama dua tahun lalu telah membuat aturan tentang pedoman pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di perguruan tinggi Islam. Sayangnya, belum ada aturan sejenis untuk lingkup pendidikan madrasah dan pesantren. Bahkan, Undang-Undang No. 18/2019 tentang Pesantren sama sekali tidak menyinggung hak-hak santri untuk memperoleh perlindungan dari kekerasan seksual. Kementerian Agama penting segera mengeluarkan aturan untuk melindungi anak-anak di madrasah, pesantren, dan lembaga pendidikan berbasis agama lainya.
Berbekal aturan itu, kementerian punya landasan kuat untuk mengawasi seluruh pesantren dan sekolah agama berasrama. Pada saat yang sama, kementerian juga perlu melibatkan orang tua, masyarakat sekitar, dan lembaga independen dalam pengawasan bersama. Dengan begitu, pesantren atau sekolah agama berasrama lainnya lebih mungkin dicegah menjadi sarang predator seksual.