Tindakan Menteri Sosial Tri Rismaharini memaksa seorang anak difabel tuli pengguna alat bantu dengar untuk berbicara patut dikritik. Pemaksaan itu bisa diartikan bahwa Risma sedang mempertanyakan disabilitas seseorang. Ironisnya, peristiwa tersebut terjadi di atas panggung pembukaan peringatan Hari Disabilitas Internasional 2021 di Gedung Kementerian Sosial pada Rabu pekan lalu.
Risma juga tak memahami bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki kondisi berbeda-beda. Difabel tuli, misalnya, ada yang mengalami gangguan pendengaran sejak lahir, ada pula yang mengalami penurunan kemampuan mendengar. Tidak tepat pembelaan bahwa Risma mengambil contoh Staf Presiden Bidang Sosial, Angkie Yudistia, seorang difabel tuli yang mampu bicara. Dengan mengambil contoh Angkie, lalu menyimpulkan bahwa semua difabel tuli bisa bicara, jelas Risma memiliki pengetahuan terbatas. Sebab, Angkie terlahir memiliki kemampuan mendengar, namun kemudian mengalami kemunduran pendengaran.
Kondisi ini berbeda dengan difabel tuli yang tak dapat mendengar sejak lahir. Sebab itu, mereka membutuhkan alat bantu sejak usia dini, yakni alat bantu dengar dan bahasa isyarat, supaya dapat berkomunikasi dengan orang lain. Dengan kemampuan pendengaran yang berbeda, mereka mempunyai metode komunikasi yang berbeda, sesuai kenyamanan masing-masing.
Ada insan tuli yang menggunakan alat bantu dengar, menggunakan bahasa isyarat, dan membaca gerak bibir. Usaha tersebut adalah cara mereka untuk terhubung dengan orang lain. Risma menafikan semua usaha tadi dengan memaksa anak tuli untuk bicara.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyatakan asas pelaksanakan dan pemenuhan hak difabel harus berlandaskan penghormatan terhadap martabat, otonomi individu, aksesibilitas, kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak, inklusif, serta perlakuan khusus dan perlindungan lebih. Risma sebagai seorang pejabat negara telah menabrak asas tersebut dengan memaksa anak berkebutuhan khusus melakukan sesuatu, tanpa melihat bagaimana riwayat tumbuh kembang anak itu.
Jangankan penyandang disabilitas tuli, orang non-difabel pun bisa jadi bakal gelagapan jika “ditodong” mikrofon lalu diminta untuk bicara di depan publik, seperti yang dilakukan Risma. Peringatan Hari Disabilitas Internasional mestinya menjadi momentum untuk saling menghargai dan memahami kelompok disabilitas, bukan memojokkan salah satu ragam disabilitas seperti menuduh penyandangnya "malas" bicara.
Sudah cukup Menteri Risma membuat blunder. Sejak dilantik pada 23 Desember 2020 sebagai Menteri Sosial, Risma berulang kali menyuguhkan ketidakpantasan seorang pejabat negara: marah-marah, membentak, dan terakhir ini memaksa penyandang disabilitas melakukan kemauan sang menteri. Risma juga tipis telinga. Saat menjabat Wali Kota Surabaya, ia melaporkan warganya yang mengkritik banjir di kawasan Surabaya barat dengan pasal ujaran kebencian pada Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dari sini tercermin, seorang pejabat negara semestinya tak hanya memiliki kapasitas dalam bekerja, melainkan juga etika.
Sebagai pejabat publik, Risma harus menghentikan kebiasaan buruk marah-marah dan suka meledak-ledak. Kegagalan dia mengelola tekanan membuatnya hanya cocok bekerja untuk rezim yang sewenang-wenang.
Baca juga: Kronologi Menteri Risma Paksa Anak Tuli Bicara, Lalu Menuai Kritik