Editorial Tempo.co
---
Demi mencegah dan menangani kekerasan seksual di kampus, Nadiem Makarim mesti berkeras hati. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi itu harus berkukuh menerapkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, yang baru diundangkan pada 3 September 2021.
Nadiem harus mempertahankan aturan tersebut dan mendesak kampus segera menerapkannya. Kekerasan seksual di perguruan tinggi sudah mengkhawatirkan. Riset kolaborasi tiga media pada 2019 bertajuk Nama Baik Kampus, misalnya, mendapatkan 174 pengakuan dari korban kekerasan seksual di 79 kampus di 29 kota. Sepanjang 2015-2010, Komisi Nasional Perempuan juga mencatat kekerasan seksual telah terjadi di semua jenjang pendidikan. Pendidikan tinggi menyumbang 27 persen. Adapun menurut hasil survei Kementerian Pendidikan pada 2020, sebanyak 77 persen dosen menyatakan kekerasan pernah terjadi di kampus mereka.
Maka, kasus kekerasan seksual di kampus yang muncul belakangan ini boleh jadi hanyalah puncak gunung es. Tumpukan kasus lain masih dipendam korban yang ketakutan dan ditutup-tutupi oleh kampus yang menganggap jamak kekerasan seksual. Indikasinya, sebanyak 63 persen dari 77 persen dosen yang mengakui ada kekerasan seksual tadi, memilih tidak melaporkan kasus yang diketahuinya ke pimpinan perguruan tinggi.
Banyak kasus tidak terungkap karena relasi kuasa di kampus begitu mencengkeram. Pelaku, misalnya, seorang dosen dan korban adalah seorang mahasiswi, yang kelancaran pendidikannya sangat tergantung dosen tersebut. Lantaran merasa lebih inferior, secara psikologis mahasiswi tersebut tidak berdaya menolak kekerasan seksual oleh dosen. Kekerasan seksual tersebut bisa saja tanpa paksaan fisik ataupun verbal. Misalnya, dengan mengomentari bagian tubuh korban; mengirim gambar cabul; menyentuh bagian tubuh seperti pipi, dada, bokong, paha, kelamin; ataupun memperlihatkan alat kelamin tanpa persetujuan korban.
Kekerasan seksual akibat relasi kuasa tersebut tidak dicantumkan dalam peraturan mana pun. Pada Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), relasi kuasa hanya mengatur soal pelaku dalam rumah tangga ditambah pembuktian akan adanya pemaksaan hubungan seksual. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengakui relasi kuasa jika disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Hanya Undang-Undang tentang Perlindungan Anak yang mengakui adanya relasi kuasa antara pelaku yang sudah dewasa, dengan korban yang belum cakap menentukan sikap. Relasi kuasa tersebut bisa berupa tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau bujukan. Sementara di kampus, relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa atau mahasiswa angkatan senior dan angkatan yunior masih amat kuat sehingga menyuburkan praktik kekerasan seksual.
Contoh terbaru adalah laporan kekerasan seksual di Universitas Negeri Riau. Korban sempat meminta tolong kepada seorang dosen di kampus itu untuk melaporkan kasus tersebut kepada ketua jurusan. Tapi si dosen malah mengintimidasi korban agar tak mengadu kepada siapa pun karena terlapor adalah seorang dekan. Ketika sang mahasiswi nekat melapor langsung kepada ketua jurusan, bukannya mendapat perlindungan, dia malah diminta oleh ketua jurusan untuk bungkam. Akhirnya mahasiswi melaporkan kasusnya ke polisi dan berujung dilaporkan balik oleh dekan dengan tuduhan pencemaran nama.
Karena itu, Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30 Tahun 2021 sudah sepatutnya didukung. Peraturan ini menjadi oasis bagi kekosongan hukum penanganan kekerasan seksual di kampus. Peraturan ini, misalnya, mewajibkan setiap kampus untuk membentuk satuan tugas khusus non-ad hoc yang melibatkan perwakilan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan perguruan tinggi. Satgas ini bertugas menerima laporan, memeriksa bukti-bukti, memberikan rekomendasi sanksi terhadap pelaku, hingga memulihkan korban dan melakukan penanganan lanjutan untuk mencegah kekerasan seksual terulang.
Kepada para penolak, seperti Muhammadiyah yang mengelola banyak institusi pendidikan tinggi serta mempersoalkan prosedur pembuatan peraturan dan frasa “tanpa persetujuan korban” pada butir-butir Pasal 5 ayat 2 peraturan tersebut, Nadiem harus meyakinkan mereka bahwa peraturan itu untuk menanggulangi kekerasan seksual di kampus yang sudah mengkhawatirkan. Frasa itu tidak bisa disimpulkan sebagai pelegalan terhadap seks bebas. Dalam hukum, tidak diatur bukan berarti dibolehkan. Adapun larangan seks bebas sudah diatur oleh norma kesusilaan, kesopanan, dan agama.
Sementara kepada penolak seperti Partai Keadilan Sejahtera, yang selalu menjadikan upaya penanggulangan kekerasan seksual sebagai komoditas politik, Nadiem sudah sepatutnya memasang kacamata kuda. Tanggapan mereka mengaburkan substansi persoalan: kekerasan seksual di kampus sudah darurat. Perbuatan keji tersebut telah “merusak martabat korban dan merontokkan fungsi universitas sebagai tempat pencarian kebenaran”.
Baca juga: Ini Alasan Nadiem Makarim Terbitkan Permendikbud 30 Soal Kekerasan Seksual