Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menegaskan Kembali Nasionalisme dan Solidaritas Sesama Anak Bangsa

image-profil

Doktor Sosiologi

image-gnews
Bung Tomo bersiap melakukan siaran radio, 1947. Dok.Dukut
Bung Tomo bersiap melakukan siaran radio, 1947. Dok.Dukut
Iklan

Tanggal 10 November 1945 adalah simbolisasi pengorbanan para pahlawan bangsa di Surabaya atas kemerdekaan yang telah dideklarasikan oleh Soekarno-Hatta tiga bulan sebelumnya. Terlepas secara teknis bahwa Inggris di saat itu ingin melakukan pembalasan atas nyawa seorang komandannya yang menjadi korban, Mallaby, keberanian pasukan Bung Tomo dan rakyat sipil Surabaya dalam menghadapi barisan demi barisan pasukan berperlengkapan militer kelas satu di eranya, menggambarkan bahwa Indonesia kala itu memang telah diperlengkapi oleh kesadaran penuh atas identitas nasional yang berbeda dengan identitas kolonial yang telah disematkan Eropa kepada Indonesia.

Oleh karena itu, peristiwa 10 November adalah juga penampakan semangat nasionalisme Indonesia dalam bentuk yang sangat nyata dan keras, tanpa bisa ditawar-tawar. Rasa nasionalisme yang sudah sejak dua dekade ke belakang, terutama sejak Sumpah Pemuda, bertemu momen pembuktian di Surabaya, di mana nyawa dengan ikhlas dan penuh cinta siap sedia dijadikan benteng untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjadi bagian penting di dalam bangunan nasionalisme Indonesia.

Rasa nasionalisme tersebut memberikan gambaran dan pembatas yang bagi rakyat Indonesia tentang siapa penjajah dan siapa yang dijajah, siapa kolonialis dan siapa pihak tertindas, dan siapa yang layak pergi angkat kaki dari tanah Ibu Pertiwi dan siapa yang sejatinya berhak menentukan nasib bangsa Indonesia ke depannya, yakni “bukan Belanda, bukan Inggris, dan bukan sekutu, tapi rakyat Indonesia sendiri”.

Karena itu pula, sangat tepat apa yang ditulis oleh Craig Calhoun dalam bukunya “Nationalism” yang terbit tahun 1997 lalu bahwa “Nationalism has emotional power partly because it helps to make us who we are, because it inspires artists and composers because it gives us a link with history (and thus with immortality)”. Nasionalisme semestinya memang menyadarkan kita tentang siapa diri kita, identitas kebangsaan kita, dan mengaitkan kita dengan sejarah bangsa sendiri, yang terlepas dari kolonialisme dan imperialisme

Secara spatial geografis, peristiwa 10 November hanya terjadi pada satu titik daerah di tengah luasnya wilayah teritorial Indonesia yang disepakati oleh para pendiri bangsa Indonesia kala itu. Tapi gaungnya kemudian menyebar ke seluruh tanah air, dirasakan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia, dan disadari bahwa meskipun peristiwa tersebut tidak terjadi di daerah di mana rakyat Indonesia lainnya tinggal, rasanya seperti terjadi di daerah sendiri.

Baca Juga:

Dengan kata lain, rakyat Indonesia di luar Surabaya juga merasakan bahwa serangan tersebut juga seperti serangan yang ditujukan kepada rakyat Indonesia lainnya, meskipun boleh jadi sebagian besar rakyat Indonesia tak mengetahui secara pasti dibelahan Indonesia mana kota Surabaya berada. Tapi, rasa solidaritas satu bangsa membuat nyaris semua rakyat Indonesia merasakan apa yang dirasakan oleh para pejuang di Surabaya. Karena itulah Benedict Anderson mengistilahkan keajaiban nasionalisme tersebut dengan istilah “The Imagined Communities.”

Ben menulis, “In an anthropological spirit, then, I propose the following definition of the nation: it is an imagined political community—and imagined as both inherently limited and sovereign. It is imagined because the members of even the smallest nation will never know most of their fellow-members, meet them, or even hear of them, yet in the minds of each lives the image of their communion.”

Ya, memang begitulah yang terjadi. Rakyat Indonesia, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, berkemungkinan besar tidak saling kenal satu sama lain, bahkan kurang memahami budaya, sosial, dan fakta ekonomi di daerah lain di luar daerahnya, justru dengan mantap menyatakan solidaritas dan dukungan penuh pada perjuangan pahlawan-pahlawan bangsa di Surabaya, hanya bermodalkan “imaginasi kuat” bahwa Surabaya adalah bagian dari Indonesia, darah daging ibu pertiwi, yang harus dibela dan diperjuangkan layaknya membela dan memperjuangkan diri sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dan tak salah, Ben Anderson menyebutnya sebagai “Imagined Communities”, karena memang begitulah yang terjadi. Peritiwa Surabaya, satu lokalitas di antara lokalitas geografis lainnya di Indonesia, satu peristiwa di antara banyak peristiwa yang terjadi di nusantara, kemudian diterima sebagai simbol perjuangan kebangsaan untuk seluruh Indonesia dan diakui secara nasional sebagai “hari pahlawan nasional”. Peristiwa tersebut diperingati dari tahun ke tahun, dikisahkan di setiap sekolah, dan tak sedikitpun keraguan kita atasnya sampai hari ini.

Namun, seiring waktu berlalu, rezim silih berganti, ekonomi bergerak naik dan turun, sosial budaya berdinamika, apalagi di peradaban milenial yang sangat digital ini, hari pahlawan pun mulai diperlakukan layaknya rutinitas biasa yang di sana sini terlihat mulai kehilangan spiritnya. Rasa solidaritas dan saling memiliki mulai menipis, bahkan boleh jadi tersisa setipis plastik transparan . Para elit politik berbagi kepentingan dengan sesama elit, para konglomerat dan pengusaha berbagi untung dengan sesama mereka saja, sembari terus mencari cara mengakali kekayaan negara, tanpa peduli pada rakyat banyak.

Seiring dengan itu, generasi muda mulai menjauh dari identitas nasionalisnya, berpadu padan dengan budaya global tanpa dibekali kesadaran historis yang mendalam dan tanpa dilapisi kebanggaan yang tebal atas kebangsaan Indonesia. Dan dari perspektif politik, para generasi muda terserap nyaris secara total ke dalam tatanan generasi tua yang oligarkis dan elitis, tanpa mampu membela idealitas demokrasi yang telah diamanatkan secara gamblang di dalam konstitusi nasional. Padahal, Indonesia tak pernah kehilangan generasi muda. Tapi sayangnya, sebagian generasi muda kita justru mulai kehilangan Indonesia.

Imaginasi atas kebersamaan di atas keberagaman Indonesia mulai terkikis, berganti kepentingan elitis dari jejaring oligarki yang menyamarkan keuntungan demi keuntungan yang mereka raup atas nama kepentingan bangsa dan negara. Kita mulai gagap berkomunikasi satu sama lain, lalu digantikan dengan kompetisi demokratis salah kaprah di mana para elit saling berhitung angka. Mereka lupa, mereka justru telah merendahkan rakyat hanya ke dalam angka-angka statistik lembaga survei. Kebersamaan tak bisa digantikan dengan suara siapa yang terbanyak, tapi kebersamaan adalah upaya komunikasi antara sesama elemen bangsa. Demokrasi tidak melulu soal suara terbanyak, tidak melulu soal siapa yang paling banyak pendukungnya, karena pendukung bisa direkayasa dengan kelimpahan dana.

Kebersamaan adalah upaya saling merasakan dan mengupayakan. Tak masalah suaranya parau dan terdengar sedikit saja, tapi suara kecil itu pun adalah bagian dari Indonesia, yang hak dan kepentingannya perlu dijaga dan diperjuangkan. Apalagi suara besar dari rakyat banyak. Boleh jadi tak mendapat tempat lagi di dalam ruang publik karena ruang publik sudah dikavling-kavling secara oligarkis, tapi suara rakyat adalah suara yang menggaungkan nasionalisme yang telah melepaskan Indonesia dari penjajah, suara yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa untuk tetap tertulis di dalam konstitusi kita.

Karena itu, hari pahlawan kali ini semestinya adalah hari untuk menegaskan kembali rasa nasionalisme kita agar kita sebagai sesama anak bangsa bisa saling merasakan, saling berbagi perasaan, dan saling berbicara dengan kesadaran historis, sebagaimana rakyat Indonesia berbagi perasaan dan kesadaran dengan pejuang-pejuang yang gugur di Surabaya tanggal 10 November 1945. Semoga.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


23 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.