Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menyoal Calon Tunggal Panglima TNI

image-profil

Pengamat Pertahanan dan Keamanan

image-gnews
KSAD Andika Perkasa. TEMPO/Subekti.
KSAD Andika Perkasa. TEMPO/Subekti.
Iklan

Pergantian kepemimpinan TNI menjadi sorotan publik dalam beberapa waktu terakhir. Pasalnya, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto akan mengakhiri masa baktinya pada akhir November tahun ini. Sebelumnya, dua jenderal digadang-gadang masuk dalam bursa Panglima TNI, yaitu Jenderal TNI Andika Perkasa, yang saat ini menjabat sebagai Kasad dan Laksamana Yudo Margono sebagai Kasal.

Bargairahnya perdebatan publik soal siapa pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto bukan saja karena penting dan strategisnya jabatan panglima TNI, tapi juga karena masuknya nama Jenderal Andika Perkasa ke dalam jajaran calon pengganti Marsekal Hadi. Masalahnya, jika mengikut tradisi rotasi yang semestinya, jabatan Panglima TNI kali ini akan bergulir ke Cilandak alias ke Angkatan Laut, yang kebetulan digawangi oleh Laksamana Yudo Margono. Dari sinilah awal mula ramainya pembicaraan soal rencana pergantian Panglima TNI

Dan tanpa diduga, Jokowi mengambil jalan lain di luar tradisi tersebut. Nama Jenderal Andika Perkasa muncul sebagai calon tunggal yang diajukan untuk menjalankan proses “fit and proper test” di DPR. Bagaimanapun, tentu semua pihak perlu mahfum bahwa penentuan siapa yang akan menjadi Panglima TNI adalah hak prerogatif presiden, tidak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun, layaknya pengangkatan menteri dan pejabat negara lainnya.

Namun lepas dari itu, tanpa harus mempersoalkan idealitas dan kapasitas hak prerogatif seorang presiden, pilihan yang diambil Jokowi tentu boleh diperdebatkan, bahkan dikritisi dengan cara-cara yang etis dan pertimbangan-pertimbangan yang masuk akal. Karena hak prerogatif sejatinya tidak menghilangkan hak publik dalam memperdebatkan pemanfaatan hak tersebut, mengingat Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung kebebasan berekspresi dan berpendapat. Sehingga, tak ada salahnya pilihan yang telah ditetapkan Jokowi diperdebatkan, dikritisi, dan diproyeksikan.

Dengan kata lain, pemilihan Jenderal Andika Perkasa sebagai kandidat tunggal Panglima TNI perlu dijelaskan kepada publik sejelas-jelasnya oleh Jokowi dan pemerintah, mengingat pilihan tersebut keluar dari pakem konvensional tentang rotasi posisi Panglima TNI untuk ketiga angkatan. Sebagaimana telah kita saksikan selama ini, posisi Panglima TNI didominasi oleh angkatan darat. Lalu setelah Jokowi berhasil mendorong Angkatan Udara, Marsekal Hadi Tjahjanto, menjadi Panglima TNI, publik sangat berharap bahwa Jokowi akan sangat sensitif ke depannya soal rotasi yang adil untuk posisi Panglima TNI.

Namun jawaban Jokowi ternyata tak lagi seperti saat beliau mengganti Jenderal Gatot Nurmantyo dengan Marsekal Hadi Tjahjanto. Jokowi seolah-olah kembali kepada pakem lama sebagaimana Jenderal Moeldoko digantikan oleh Jenderal Gatot Nurmatyo. Ada apa gerangan? Mengapa Jokowi mengabaikan tradisi rotasi tersebut, setelah memulainya dengan baik di saat mengganti Jenderal Gatot Nurmantyo? Tentu Jokowi dan jajarannya perlu menjelaskan ini, terutama kepada jajaran Angkatan Laut Indonesia, yang boleh jadi sangat merindukan seorang Laksamana duduk di kursi Panglima TNI

Jokowi perlu menjelaskan mengapa tradisi rotasi yang sejatinya sangat baik di antara tiga angkatan karena berlandaskan atas azas keadilan di antara ketiga angkatan justru diabaikan kali ini, apalagi di saat pemerintah telah terlanjur mengagung-agungkan kedaulatan maritim sejak lama? Karena dengan mengembalikan jabatan Panglima TNI kepada angkatan darat, artinya Jokowi telah berlaku kontradiktif dalam dua hal. Pertama, Jokowi melewati Angkatan Laut begitu saja dengan mengabaikan tradisi rotasi yang telah kadung dianggap baku oleh banyak pihak. Dan kedua, Jokowi mengabaikan visi maritimnya sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Karena indikasi paling kuat bahwa Jokowi benar-benar menghormati tradisi rotasi dan mengupayakan visi kedaulatan maritim nasional adalah dengan memosisikan SDM terbaik dari Angkatan Laut ke posisi Panglima TNI. Dan celakanya, di saat posisi Panglima TNI tersebut secara tradisi semestinya berotasi ke Angkatan Laut, Jokowi justru membelokkannya kembali ke Angkatan Darat. Karena itulah Jokowi dan jajaran perlu memberikan penjelasan yang sejelas-jelasnya kepada publik atas keputusan non konvensional yang telah ia keluarkan.

Sehingga publik tidak berprasangka tentang adanya permainan politik di balik pengangkatan Jenderal Andika Perkasa, mengingat beliau berkebetulan adalah menantu dari seorang mantan Jenderal yang akrab dikait-kaitkan dengan tokoh di belakang layar yang ada di belakang Jokowi. Sementara, Laksamana Yudo Margono adalah laksamana karir yang profesional yang meniti anak tangga dari bawah di dalam korps Angkatan Laut.

Artinya, jangan sampai publik menilai bahwa pertama, ada jejaring oligarki di dalam tubuh militer Indonesia yang selalu berusaha menguasai posisi-posisi strategis di dalam TNI, tanpa peduli dengan tradisi baik dan tradisi yang berkeadilan yang telah ada, layaknya oligarki di dalam dunia ekonomi politik nasional. Jejaring ini kemudian bisa saja dianggap telah berhasil memaksakan kehendaknya di Istana terkait siapa yang akan duduk di posisi Panglima TNI. Dan kedua, jangan sampai publik justru menilai bahwa Jokowi tidak berpihak kepada profesionalisme, tapi justru berpihak kepada jenderal yang didukung oleh jejaring politik yang telah menguasai TNI selama ini.

Prasangka-prasangka semacam ini hanya bisa terjawab jika Jokowi mampu meyakinkan publik bahwa pilihannya adalah pilihan yang paling tepat, baik untuk Indonesia, baik untuk masa depan visi maritim pemerintah, baik untuk proses reformasi TNI, dan baik pula untuk persatuan dan kesatuan di dalam TNI. Karena secara teknis maupun strategis, penggunaan hak prerogatif presiden kali ini nyatanya cukup bertentangan dengan itu semua.

Landasan pemilihan kandidat tunggal ini bisa dianggap kurang profesional, kurang singkron dengan visi maritim pemerintah, dan secara psikologis bisa memperlemah spirit persatuan dan soliditas di dalam tubuh TNI sendiri. Karena itulah Jokowi harus bicara dan menjelaskan sejelas-jelasnya, agar tidak ada pihak yang merasa terzalimi di dalam tubuh TNI dan tidak ada prasangka negatif di ruang publik atasnya. Semoga

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

2 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

31 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

50 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

50 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.