Indonesia masih tertinggal dalam merealisasikan komitmen penanganan krisis iklim. Sejumlah kebijakan pemerintah masih mengarah pada peningkatan emisi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Padahal, sejak 2017, World Economic Forum telah menyebut krisis iklim sebagai ancaman paling berbahaya dibanding isu keamanan atau ekonomi. Prediksi terbaru Global Risks Report 2021 kembali mempertegas adanya ancaman itu.
Ketika berpidato di forum Leaders Summit on Climate pada 22 April 2021, Presiden Joko Widodo mengklaim Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata. Jokowi juga menyinggung sejumlah keberhasilan Indonesia, misalnya dalam menurunkan laju penebangan pohon serta menekan angka kebakaran hutan.
Faktanya, Indonesia masih perlu membenahi banyak hal. Di bidang kelistrikan, misalnya. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, per April 2021, sebanyak 86,45 persen pembangkit listrik Indonesia menggunakan energi berbasis fosil, sebagian besar berupa batubara. Sisanya, 13,55 persen, memakai bauran energi baru terbarukan. Padahal, negara-negara di seluruh dunia, pada 2030-2040 sudah harus mengakhiri pemakaian batubara untuk pembangkit listrik. Minimal, penggunaan sumber energi baru dan terbarukan sudah 75 persen pada 2040.
Pemerintah, seperti disampaikan Menteri ESDM Arifin Tasrif awal Oktober lalu, memang akan menghentikan pembangunan pembangkit listrik batu bara, kecuali yang sudah telanjur masuk tahap konstruksi. PT PLN hanya akan menambah pembangkit energi fosil dalam 10 tahun ke depan sebesar 19,6 gigawatt atau 48,4 persen. Namun, tetap saja, fakta itu memperlihatkan penggunaan listrik tenaga fosil tetap tinggi. Sulit membayangkan Indonesia akan mencapai target porsi pembangkit energi terbarukan 48 persen pada 2030.
Bandingkan dengan tetangga kita, Malaysia, yang kini memiliki 23 persen listrik dari bauran energi dan akan meningkatkan kapasitas energi terbarukan menjadi 31 persen pada 2025. Sepuluh tahun kemudian, Malaysia menargetkan komposisi pembangkit listrik energi terbarukan mencapai 40 persen.
Baca Juga:
Pekerjaan rumah lain adalah pembenahan transportasi yang sebagian besar masih menggunakan energi fosil, baik kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Pada 2020, menurut Climate Transparency Report, penjualan mobil listrik baru 0,15 persen dan kendaraan listrik roda dua 0,26 persen. Tak ada pilihan lain, pemerintah harus terus menggenjot industri otomotif berbasis tenaga listrik serta mempromosikan penggunaan kendaraan ramah lingkungan itu.
Laporan Transparansi Iklim menilai Indonesia memang sudah mengusulkan peningkatan energi terbarukan di bidang ketenagalistrikan, transportasi, dan industri. Namun, menurut catatan tahunan yang membandingkan aksi iklim negara G20 itu, Indonesia belum memiliki strategi yang memadai untuk menghentikan batubara secara bertahap serta mendorong persaingan energi terbarukan dengan batubara.
Forum Konferensi Tigkat Tinggi Perubahan Iklim PBB, COP26, di Glasgow, pada 31 Oktober hingga 12 November 2021, merupakan momentum penting bagi Indonesia untuk menegaskan kembali komitmennya dalam mengatasi perubahan iklim. Presiden Jokowi tidak perlu ragu-ragu untuk menyatakan komitmen target energi nol emisi (net-zero emission) pada 2050. Pernyataan komitmen itu penting untuk menunjukkan keseriusan Indonesia dalam menyelamatkan bumi yang kita pinjam dari generasi yang akan datang.
Baca juga: Jokowi: Indonesia Ingin G20 Jadi Contoh Atasi Perubahan Iklim