Salah satu yang saya suka dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas karena kejelasan sikapnya, tegas, tanpa basa-basi, meskipun pada akhirnya akan menuai kontroversi.
Catat saja daftar kontroversinya. Soal afirmasi Syiah dan Ahmadiyah dia sampaikan, justru tak lama setelah dilantik jadi Menteri Agama. Kemudian tentang doa semua agama di setiap acara Kemenag. Dan terakhir ini, pernyataan tentang Kemenag hadiah negara untuk NU, pun tak luput dipersoalkan.
Sebenarnya, tak hanya kali ini saja pernyataannya penuh kontroversi. Jauh sebelumnya, sebagai Ketua Umum Ansor, Gus Yaqut dinilai sudah kontroversial. Banyak pernyataan yang membuat kelompok radikal dan Islam garis keras khususnya merasa tak nyaman. Dalam hal ini, menurut saya, dia paling mewarisi sikap Gus Dur.
Bikin Gaduh
Adalah Dr. Anwar Abbas yang paling reaktif dan sangat keras merespons pernyataan Gus Yaqut. Petinggi Muhammadiyah itu menilai bahwa pernyataan tentang Kemenag hadiah negara untuk NU sama saja telah menafikkan kelompok Islam dan agama lain. Apalagi dikutip pula penggalan statemen yang seakan mewakili sikap Menag bahwa NU bisa memanfaatkan peluang yang ada di Kementerian itu.
Sekjen PBNU Helmy Faishal Zaini pun seakan mengamini. Dalam release-nya, dia jelaskan bahwa NU memang mempunyai peran besar, tetapi tidak berarti NU boleh semena-mena berkuasa atas Kementerian Agama ataupun merasa ada hak khusus.
Menilai sebuah pernyataan, apalagi hanya berupa penggalan dan tidak utuh memahaminya, tentu sangat berlebihan. Terlebih jika hanya dengan itu kemudian membuat simpulan (dan keputusan), pasti tak dapat dipertanggungjawabkan.
Menganggap Menag telah bikin gaduh, maka Kemenag bubarkan saja, justru malah bisa membingungkan. Pernyataan tersebut bukan saja tidak mendidik, tetapi justru menyesatkan. Apalagi disampaikan tokoh senior sekaliber Dr. Anwar Abbas.
Membubarkan Kementerian hanya sang menteri dinilai membuat kegaduhan, misalnya, tentu sangat tidak beralasan. Yang berwenang membentuk dan juga membubarkan Kementerian, menurut UU Nomor 39 Tahun 2008, tak lain adalah Presiden. Ini pun harus dengan meminta pertimbangan DPR, kecuali Kementerian yang menangani urusan agama, hukum, keuangan, dan keamanan harus dengan persetujuan DPR (Pasal 21).
Yang menarik sebenarnya, apakah pernyataan Gus Yaqut telah bikin gaduh? Jelas, persepsi “kegaduhan” antara yang satu dengan lainnya juga tak sama.
Tapi, cobalah lihat definisi gaduh itu secara umum. Kita bisa membacanya dalam KBBI online, misalnya, yang diartikan dengan “rusuh dan gempar karena perkelahian (percekcokan dsb); ribut, huru-hara”.
Dari pengertian itu saja, menurut saya, apa yang disampaikan Menag, apabila kita memahaminya secara utuh sebagaimana video yang beredar, sebenarnya tak ada potensi sedikitpun dapat menciptakan kegaduhan.
Bahwa ada pihak-pihak yang merasa terusik dengan pernyataannya itu, dalam kaca mata politik, adalah hal yang biasa dan wajar saja. Ini artinya, bukan kegaduhan, tetapi soal “kepentingan” semata.
Meluruskan Sejarah
Di balik pernyataan Gus Yaqut, baik atas nama pribadi maupun sebagai Menteri, saya melihatnya justru dalam konteks memahami sejarah dengan benar. Di sini, tidak hanya sejarah Kementerian Agama, tetapi juga sejarah tentang Pancasila dan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada umumnya, yang memang harus terus digali dan diluruskan kembali.
Kaum muda khususnya, apalagi yang lahir pasca 1990an atau generasi milenial, haruslah mempunyai kesadaran historis. Pesannya jelas: “Jas merah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” demikian Bung Karno (1966).
Kepada mereka mestinya disuguhkan sejarah yang benar tentang bangsa ini. Karena, jujur harus diakui, 32 tahun rezim orde baru telah sangat berhasil membuat sejarahnya sendiri. Disadari atau tidak, kita semua telah dibuai. Seakan tak ada “sisi lain” fakta sejarah yang bisa disuguhkan.
Kita lihat saja sejarah tentang Pancasila. Bukankah pemerintah baru menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila melalui Keppres Nomor 24 Tahun 2016? Artinya, pemerintahan Presiden Jokowi yang mempunyai keberanian untuk menetapkan itu. Inilah bagian penting dari upaya meluruskan sejarah.
Atau, yang terkait langsung dengan NU, misalnya. Yakni tentang Resolusi Jihad. Selama ini kita hanya dikenalkan pada sejarah pertempuran 10 Nopember 1945 di Surabaya, dengan tokoh utama Bung Tomo. Tetapi kronologi sejarah yang mengiringinya, bahkan hingga kenapa pekik takbir dikumandangkan saat itu, tak sedikitpun disuguhkan dalam mata pelajaran sejarah kita.
Adilkah, jika Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy'ari dengan Resolusi Jihad-nya pada 22 Oktober 1945 sama sekali luput dari catatan sejarah Indonesia? Justru, Bung Tomo menggemakan takbir karena fatwa Resolusi Jihad itu. Sejarah juga tidak mencatat Kiai Abbas, Buntet Cirebon, yang memimpin pertempuran 10 Nopember tersebut. Berapa banyak kiai dan santri yang menjadi korban saat itu pun tak ada catatannya.
Justru, sejarah itulah yang ditulis dengan sangat apik oleh Muhammad Asad Shahab (w.2001), jurnalis Arab yang pernah meliput ketika Revolusi Indonesia. Dia membukukan karyanya dengan judul: al-Allamah Muhammad Hasyim Asy'ari Wadli'u Ashliyati Istiqlali Indonesia. Jika diterjemahkan, artinya: Maha Kiai Muhammad Hasyim Asy'ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia.
Dan baru 70 tahun kemudian, setelah Presiden Jokowi melalui Keppres Nomor 22 Tahun 2015, kita semua bisa memahami Resolusi Jihad dengan benar karena dijadikan dasar penetapan Hari Santri Nasional. Tentu, ini bukan hanya untuk mengenang jasa para pendahulu kita. Lebih dari itu, sekali lagi, merupakan upaya untuk meluruskan sejarah.
Demikian pula saya harus menilai apa yang disampaikan Gus Yaqut, baik sebagai pribadi maupun atas nama institusi Kementerian Agama. Secara pribadi, pernyataan tersebut tentu mewakili keresahan kaum muda NU khususnya, betapa sampai hari ini masih ada kelompok yang belum "ikhlas" sepenuhnya menjadikan Kementerian Agama sebagai institusi negara yang harus melayani seluruh warga bangsa, tanpa kecuali.
Kita semua hanya berharap, sejarah ketidakadilan rezim orde baru kepada NU khususnya, tak terulang kembali. Berpuluh-puluh tahun NU dimarginalkan, juga tak pernah balas dendam, apalagi membuat kegaduhan.
Atas nama Menteri Agama, tentu Gus Yaqut harus berani membuat terobosan. Meluruskan sejarah memang bukan pekerjaan mudah. Bahwa Kementerian Agama, jelas, bukan milik umat Islam saja. Indonesia ini Bhinneka Tunggal Ika, milik seluruh warga bangsa. Jika tak berani meluruskan sejarah saat ini, mau kapan lagi?
Kalisuren, 25 Oktober 2021