Kedatangan Kadiv Propam beserta jajaran nya di Komnas HAM pada 19 Oktober 2021 bertepatan dengan terbitnya Telegram Kapolri kepada seluruh Kapolda terkait penanganan tindakan kekerasan anggota Polri terhadap masyarakat.
Sebagai salah satu orang yang hadir dalam pertemuan kedua Lembaga tersebut, kurang lebih apa yang disampaikan Kadiv Propam saat itu menggambarkan Telegram Kapolri, di awal ia menjelaskan kedatangannya merupakan pelaksanaan perintah Kapolri untuk segera bertemu dengan Komnas HAM.
Kadiv Propam menjelaskan satu demi satu updated penanganan kasus peristiwa yang menyita perhatian publik dalam kurun waktu 2 (dua) minggu terakhir di antaranya, tindakan kekerasan yang dilakukan anggota Polisi Lalu Lintas Polres Deli Serdang terhadap seorang pengendara, penanganan Polres Luwu Timur atas kasus kekerasan seksual anak, penetapan Tersangka oleh Polsek Percut Sei Tuan terhadap korban pemerasan, aksi smackdown anggota Polresta Tangerang terhadap mahasiswa peserta aksi demonstrasi, tindakan penembakan anggota Polres Luwu Utara terhadap DPO kasus penganiayaan, kasus kekerasan dan pelecehan seksual Kapolsek Parigi, dan kasus lainnya.
Secara pribadi dan sejalan dengan lembaga, sikap dan tindakan Kadiv Propam patut diapresiasi. Tercatat dalam sejarah kerja Komnas HAM, Polri khususnya Propam secara inisiatif dan terbuka menjelaskan kronologi dan penanganan tiap kasus serta upaya yang akan dilakukan.
Pertemuan itu bisa disebut sebagai momentum tidak kebetulan, didesain untuk menunjukkan komitmen Polri ke publik, namun didahului dengan mengutus Kadiv Propam ke Komnas HAM. Selain menjelaskan penanganan tiap kasus, Kadiv Propam juga menjelaskan rencana strategis ke depan, utamanya menguatkan kerja sama dengan beberapa lembaga pengawas eksternal, termasuk kalangan akademisi. Khusus dengan Komnas HAM, upaya yang akan dan selama ini sebenarnya telah berjalan yaitu sosialisasi HAM kepada anggota Polri, kemudian upaya penanganan kasus tertentu, pencegahan pelanggaran HAM.
Menyoal 11 poin perintah Kapolri melalui Surat Telegram (11 Poin Perintah Kapolri dalam Surat Telegram kepada Seluruh Kapolda, tempo.co, 20 Oktober 2021), tampak Polri ingin menunjukkan sikap yang terbuka atas kritik publik dan komitmen penegakan sanksi tegas kepada anggota yang terbukti melakukan pelanggaran, bahkan hingga pidana. Diperintahkan kepada seluruh anggota Polri, agar tindakan kepolisian harus sesuai dengan kode etik profesi Polri dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
Dari sebelas poin itu, Kapolri luput tidak memasukkan Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Regulasi HAM: Tidak Alergi dan Komitmen Tindakan
Penekanan Hak Asasi Manusia harus diakui sudah tersurat dalam Telegram perintah Kapolri, namun menjadi catatatan, Telegram itu tidak diikuti dengan rujukan aturan yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia.
Sikap pimpinan Polri, Kapolri dan Kadiv Propam jelas dan tegas agar seluruh anggota Polri menghormati Hak Asasi Manusia warga negara dalam setiap tindakan Kepolisian, bagi anggota yang melanggar pilihan sanksinya jelas, dicopot, diberhentikan atau bahkan dipidana.
Sebagai orientasi pencegahan, memasukkan aturan terkait HAM dalam Surat Telegram baik itu Peraturan Kapolri dan Undang-Undang menggambarkan sikap dan kesadaran Polri sebagai aktor penegakan HAM. Membumikan Hak Asasi Manusia harus dimulai dengan pemahaman regulasi HAM sejak awal atau sedini mungkin. Seluruh anggota Polri, dimulai dari Pimpinan, Perwira Tinggi, Perwira Menengah hingga Bintara menyadari HAM warga negara sama pentingnya dengan KUHP, KUHAP dan penegakan hukum.
Saya tidak mengetahui bagaimana pembelajaran HAM anggota Polri saat awal berdinas, baik itu Akpol calon perwira maupun Bintara, apakah materi HAM hanya sebagai pelengkap teori di antara seabreg materi tugas Kepolisian. Pun bagi anggota Polri yang selama ini telah mengikuti pendidikan dan pelatihan HAM dari Komnas HAM, apakah telah mempraktikkan HAM dalam tugas kesehariannya.
Jika anggota Sabhara yang bertugas mengamankan aksi demonstrasi telah mengetahui HAM secara teori, paling tidak dia bisa menghidupi HAM secara nyata dan aktual terutama saat situasi dan kondisi emosinya tersulut saat bertugas, sehingga kita tidak akan melihat aksi smackdown dan bentuk kekerasan serta tindakan sewenang-wenang Kepolisian terhadap peserta demo.
Contoh lain, seorang Polisi ‘artis’ di Jakarta Timur, Aipda MP. Ambarita yang baru saja dimutasi ke Bidang Humas Polda Metro Jaya, mungkin selama ini tampak over percaya diri saat melakukan penyitaan dan menguasai handphone warga. Kewenangan dan tugas anggota Polri yang dimandatkan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak bisa dimaknai secara serampangan, berdalih bahwa Undang-Undang tersebut membolehkan setiap anggota Polri menguasai dan menyita handphone milik warga. Tidak disadarinya bahwa perlindungan dan penghormatan privasi warga negara merupakan bagian dari esensi dan substansi Hak Asasi Manusia.
Harapannya Telegram perintah Kapolri itu telah sampai diterima jajarannya hingga ke tingkat Polsek dan secara konseptual telah dipahami oleh setiap anggota Polri. Pimpinan di tiap wilayah memegang peranan penting untuk pengawasan dan penegakan sanksi terhadap anggotanya. Jika tidak berjalan dengan baik, Kapolri sejak awal menyatakan akan mengambil alih penanganannya.
Sebagai pekerja Hak Asasi Manusia, secara terbuka menyampaikan rasa senang dan bangga atas upaya dan sikap Kapolri, namun tidak boleh euforia berlebihan. Saya bangga jika setiap anggota Polri termasuk Bintara telah menyadari betapa pentingnya Hak Asasi Manusia, tidak alergi dengan Hak Asasi Manusia, sebaliknya mampu mempraktikkan HAM dalam tugas-tugasnya. Selanjutnya saya senang jika masyarakat bahkan secara khusus para pencari keadilan dilayani, dilindungi dan diayomi anggota Polri secara Presisi, baik itu di Polda, Polres, Polsek, dan Polsubsektor.