Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Jokowi, Belajarlah dari Kesalahan

image-profil

Seorang penulis lepas yang tinggal di Jakarta

image-gnews
Presiden Jokowi melepas kontingen Indonesia yang akan berlaga di ajang Olimpiade Tokyo tahun 2021 di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 8 Juli 2021. Indonesia memberangkatkan sebanyak 28 atlet dan 17 ofisial dari 8 cabang olahraga. Foto: Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden Jokowi melepas kontingen Indonesia yang akan berlaga di ajang Olimpiade Tokyo tahun 2021 di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 8 Juli 2021. Indonesia memberangkatkan sebanyak 28 atlet dan 17 ofisial dari 8 cabang olahraga. Foto: Lukas - Biro Pers Sekretariat Presiden
Iklan

Greysia Polii dan Apriyani Rahayu baru saja menjaga tradisi emas cabang bulutangkis di olimpiade. Kerja keras mereka berdua, dengan dukungan penuh Eng Hian sebagai pelatih, plus bantuan teknis dan nonteknis Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI), plus sorak-sorai rakyat Indonesia akhirnya berbuah manis di negeri Sakura baru-baru ini.

Gelar ini bagi Greysia menjadi pelipur lara atas kegagalannya di Olimpiade London 2012. Greysia yang waktu itu berpasangan dengan Meiliana Jauhari—dan lawan mereka Ha Jung Eun/Kim Min Jung asal Korea Selatan—harus keluar dari Olimpiade London karena terkena hukuman diskualifikasi. Kedua pasangan itu dianggap bersikap tidak sportif, setelah dengan sengaja menghindari kemenangan di babak Grup C cabang bulutangkis. Mereka tau mau berhadapan dengan pasangan nomor satu dunia asal Tiongkok kala itu, Wang Xiaoli/Yu Yang, di babak perempat final. Sementara bagi Apriyani, debutnya di olimpiade tahun ini langsung berbuah gelar.

Greysia melewati sembilan tahun untuk bangkit dari setelah hukuman diskualifikasi itu. Tapi, ternyata hukuman itu berujung manis dengan emas yang diraihnya bersama Apriyani. Seandainya saja perempuan berusia 33 tahun itu pensiun usai Olimpiade Rio de Janeiro 2016, tentu takkan ada tangisan haru di podium tertinggi olimpiade saat Indonesia Raya dikumandangkan. Mungkin dia akan menangis juga. Tapi bukan karena terharu, melainkan karena menyesali nasibnya yang kalah dari pemain lawan.

Seandainya saja Greysia tak menerima bujukan Apriyani agar tak pensiun kala itu, pasti mereka berdua takkan meraih emas di Tokyo, lalu kebanjiran bonus dari kiri dan kanan.

Tapi, semua sudah terjadi. Lagi pula, dalam sejarah tak ada kata seandainya. Greysia dan Apriyani menunjukkan bahwa siapapun bisa melakukan kesalahan. Tak peduli siapa kita: berkantong tebal atau tipis, penggemar Pevita Pearce atau Atta Halilintar, penggila drama Korea atau film Warkop DKI, penyuka bubur ayam yang diaduk atau tidak diaduk. Kita semua pasti pernah dan senantiasa melakukan kesalahan.

Baca Juga:

Pertanyaan pentingnya adalah: sadarkah kita pernah dan akan senantiasa melakukan kesalahan? Sanggup dan bersediakah kita memperbaiki kesalahan itu?

Soal kesalahan itu, saya teringat pada komentar-komentar Presiden Joko Widodo, para pembantunya di kabinet, berikut para pendukung setianya selama pandemi ini. Tunggu dulu, para pendukung setia Pak Jokowi. Saya tak menutup mata pada hal-hal baik yang juga dilakukan bapaknya Mas Wali Kota Solo sekaligus mertua dari Bang Wali Kota Medan itu.

Saya tak mau membuat daftar panjang kesalahan-kesalahan itu. Saya hanya akan menyebut tiga saja. Silakan kalau Anda masing-masing mau memperpanjang daftar itu. Ini tak lebih dari usaha untuk mengingatkan, karena sebenarnya juga sudah disebut cukup banyak orang.

Pertama, pengabaian para pejabat tinggi negara akan keberadaan virus. Silakan cari di mesin pencari punya Om Google. Pasti dengan mudahnya Anda akan menemukan bagaimana satu demi satu pejabat melontarkan komentar kontroversial. Ada menteri yang bilang bahwa COVID-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing sehingga kebal. Ada juga satu menteri yang menjadikan ini candaan bahwa virus itu sulit masuk ke Indonesia karena perizinan di negeri kita ini dikenal berbelit-belit. Menteri Kesehatan saat itu bahkan pada Februari 2020 menantang Universitas Harvard untuk membuktikan langsung hasil riset yang memprediksi virus corona semestinya sudah masuk ke Indonesia. Terawan bersikeras hingga saat itu belum ada kasus virus corona karena mengklaim Indonesia sudah punya alat untuk mendeteksi virus asal Tiongkok tersebut.

"Ya Harvard suruh ke sini. Saya suruh buka pintunya untuk melihat. Tidak ada barang yang ditutupi," kata Terawan waktu itu.

Presiden Joko Widodo, sebagai bos mereka, bahkan melontarkan wacana yang tak kalah kontroversial pada Februari 2020. Wacana itu adalah soal pemberian insentif untuk wisatawan mancanegara agar berkunjung ke tanah air. Wishnutama Kusubandio, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada saat itu, menguatkan pernyataan atasannya itu, dengan mengatakan bahwa insentif pariwisata dianggarkan untuk mendatangkan 736.000 wisatawan asing. Seluruh wisatawan tersebut diharapkan bisa menghasilkan devisa sekitar Rp 13 triliun. Sementara, pada periode itu, sejumlah negara di dunia sudah mulai menutup akses masuk ke wilayahnya.

Kedua, narasi para politisi dan pendengung alias buzzer yang memecah belah semasa pandemi. Toxic positivity alias bersikap seolah semua baik-baik saja, yang mereka dengungkan setiap saat sungguh berbahaya bagi masyarakat. Sebabnya adalah, hal ini berpotensi menurunkan tingkat kewaspadaan, meski dikemas dalam kata-kata manis. Psikolog klinis dan hipnoterapis bernama Liza Marielly Djaprie mengatakan, toxic positivity ini adalah gangguan psikologis di mana seseorang punya sikap positif yang berlebihan. Katanya, orang macam itu biasa mengaku dirinya baik-baik saja tetapi tidak melakukan aksi apapun atas masalah yang menimpa dirinya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bayangkan, kalau ada banyak dan semakin banyak orang yang terjangkit gangguan psikologis ini, karena termakan kata-kata manis para pendengung dan politisi. Beberapa kalangan menyebut para pendengung dan politisi ini sebagai sekumpulan ikan lele yang kerap memperkeruh suasana. Semakin keruh suasana yang ditimbulkan, semakin ia merasa tujuannya tercapai. Dalam kekeruhan kita tak akan mungkin bisa menatap ke dasar kolam bukan?

Ketiga, keengganan para pejabat untuk mengakui kekeliruan mereka dalam menghadapi pandemi. Para pejabat itu, dengan segala kewenangan dan legitimasi yang ada pada mereka, tentu punya kekuatan yang lebih besar ketimbang masyarakat kebanyakan. Tapi, pengingkaran demi pengingkaran berbentuk eufemisme tak jarang kita jumpai selama pandemi ini.

Kesalahan demi kesalahan sudah terjadi, di samping hal-hal baik yang sudah pemerintah kerjakan. Pemerintah saat ini sebaiknya tidak lagi dan lagi melakukan unforced errors, sebuah istilah dalam olahraga tenis lapangan saat seorang pemain melakukan kesalahan sendiri, bukan karena tekanan dari lawan. Berhentilah melontarkan komentar atau melakukan sesuatu yang berpotensi melukai perasaan masyarakat, terutama yang secara ekonomi sedang dan terus-menerus terpuruk.

Meski tak semua kritik bermutu adanya, janganlah lagi-lagi pemerintah menjadikan para kritikus sebagai sasaran serangan ad hominem, lantas mengabaikan hal-hal substansial dalam pandangan-pandangan mereka.

Sebaliknya, pemerintah harus terus berupaya mencetak winner—juga istilah dalam olahraga tenis lapangan – yaitu pukulan yang tidak dapat dijangkau oleh lawan dan mendapatkan poin; pukulan servis yang dapat dijangkau namun tidak dapat dikembalikan oleh lawan dan menghasilkan poin. Lawan dalam konteks pandemi ini adalah virus itu sendiri. Bagaimana caranya? Tentu sudah banyak masukan dari para ahlinya.

Tentu, sama sekali tak mudah untuk seseorang bangkit dari keterpurukan, memperbaiki kekeliruan, dan meraih hasil optimal. Lihat saja perjalanan Greysia dan Apriyani di Olimpiade Tokyo. Mereka tampil di sana dengan status pasangan nonunggulan. Tapi, di babak penyisihan grup mereka menundukkan pasangan nomor satu dunia yang jadi unggulan pertama yaitu Yuki Fukushima/Sayaka Hirota. Pasangan Korea Selatan, yang jadi unggulan keempat, Lee Soo-he/Shin Seung Chan jadi korban mereka di babak semifinal. Di partai puncak, giliran unggulan kedua asal Tiongkok Chen Qing/Jia Yi Fan yang jadi korban Greysia/Apriyani.

Semoga saja pemerintah kita bisa dan mau bercermin dari pasangan Greysia/Apriyani ini, terutama tekad kuat mereka dalam menghadapi tantangan untuk berhasil meraih tujuan. Memberikan bonus ini dan itu senilai miliaran rupiah tentu baik sekali. Tapi, belajar dari perjalanan Greysia/Apriani sebelum mempersembahkan medali emas untuk Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020 juga tak kalah baiknya.

Soal belajar dari kesalahan ini, saya teringat pada sebuah acara daring yang digelar pada hari Pendidikan Nasional 2 Mei lalu. Saat itu ada seorang pria yang  mengaku sejak masih menjadi siswa selalu belajar dari kesalahan, tidak putus asa, dan senang berkompetisi.

“Saya selalu belajar dari kesalahan. Kemudian juga tidak pernah putus asa, dan saya senang yang namanya kompetisi,” kata pria itu. 

Pak Jokowi tentu tak lupa, karena pria itu tak lain adalah dirinya sendiri.

Iklan

Berita Selanjutnya



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Pemilihan Presiden Tanpa Penyalahgunaan Jabatan

1 hari lalu

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyampaikan paparan dihadapan ribuan orang kepala desa dan pengurus Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia di GOR C-Tra Arena, Bandung, Jawa Barat, 23 November 2023. Prabowo Subianto bersama mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, menghadiri Rakerda Apdesi Jawa Barat yang dihadiri sekitar 5.000 orang kepala desa dan pengurus pemerintah desa. TEMPO/Prima Mulia
Pemilihan Presiden Tanpa Penyalahgunaan Jabatan

Agar pemilihan presiden dan wakil presiden terhindar dari mudarat kecurangan dan ketidakadilan, semestinya para menteri dan kepala daerah yang menjadi calon melepas jabatan.


4 hari lalu


Bapak-isme

8 hari lalu

Ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR saat unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, Mei 1998. Selain menuntut diturunkannya Soeharto dari Presiden, Mahasiswa juga menuntut turunkan harga sembako, dan cabut dwifungsi ABRI. TEMPO/Rully Kesuma
Bapak-isme

Adakah jalan untuk mencegah kemunduran demokrasi? Panduan dari Bung Hatta perlu dijadikan pedoman


Wajah Kusam Penegakan Hukum

8 hari lalu

Kepala Kejaksaan Negeri Bondowoso, Puji Triasmoro (depan) dan Kepala seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Bondowoso, Alexander Kristian Diliyanto Silaen, resmi memakai rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan pasca terjaring Operasi Tangkap Tangan KPK, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Kamis, 16 November 2023. KPK resmi meningkatkan status perkara ke tahap penyidikan dengan menetapkan dan melakukan penahanan secara paksa selama 20 hari pertama terhadap 4 orang tersangka baru Kepala Kejaksaan Negeri Bondowoso, Puji Triasmoro dan Kepala seksi Tindak Pidana Khusus Kejari Bondowoso, Alexander Kristian Diliyanto Silaen, dua orang pengendali CV. Wijaya Gumilang, Yossy S. Setiawan dan  Andhika Imam Wijaya, serta mengamankan barang bukti uang tunai sebesar Rp.225 juta dalam tindak pidana korupsi berupa pemberian hadiah atau janji dalam rangka pengurusan perkara di Kejaksaan Negeri Bondowoso Jawa Timur. TEMPO/Imam Sukamto
Wajah Kusam Penegakan Hukum

Satu per satu aparat penegak hukum tertangkap kasus korupsi. Nasib penegakan hukum kian buram.


Fanatisme Pemilih Indonesia Dalam Kontestasi Politik

8 hari lalu

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Fanatisme Pemilih Indonesia Dalam Kontestasi Politik

Ada sebuah tantangan besar bagi penyelenggara pemilu dan Pemerintah dalam pengejawantahan demokrasi tersebut yakni fanatisme politik dari sebagian pemilih di Indonesia.


Bamsoet Dukung Perlindungan Hak Intelektual Pendidikan

14 hari lalu

Bamsoet Dukung Perlindungan Hak Intelektual Pendidikan

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menjadi penguji ahli disertasi mahasiswa S3 Ilmu Hukum UNPAD yang mengangkat tema tentang Urgensi Pengaturan Penggandaan Karya Tulis Ilmiah di Perguruan Tinggi.


Wajah Neo Orba di Ujung Pemerintahan Jokowi

15 hari lalu

Ekspresi Presiden Joko Widodo saat membuka Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Penyelenggara Pemilu di Jakarta, Rabu 8 November 2023. Rakornas diikuti sekitar 1.200 penyelenggara pemilu yang terdiri dari dari Ketua KPU dan Ketua Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota serta Sekretaris KPU se-Indonesia. TEMPO/Subekti.
Wajah Neo Orba di Ujung Pemerintahan Jokowi

Intimidasi menimpa sejumlah kalangan dan kelompok yang menentang dinasti politik keluarga Jokowi. Meniru tindakan lancung Soeharto.


Kesempatan MKMK Menjaga Demokrasi

22 hari lalu

Anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie memimpin rapat rapat MKMK di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis 26 Oktober 2023. Rapat dengan  agenda klarifikasi kepada pihak-pihak terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi. TEMPO/Subekti.
Kesempatan MKMK Menjaga Demokrasi

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi akan membuat putusan penting besok. Kesempatan menyelamatkan demokrasi.


BPJS Kesehatan Anugerahkan Penghargaan untuk 20 pemenang Lomba Karya Jurnalistik 2023

27 hari lalu

BPJS Kesehatan Anugerahkan Penghargaan untuk 20 pemenang Lomba Karya Jurnalistik 2023

Karya para jurnalis yang ikut lomba mengedukasi masyarakat tentang Program Jaminan Kesehatan Nasional.


Waswas Motif Tersembunyi Insentif Ekonomi

29 hari lalu

Warga membawa beras Bantuan Pangan Cadangan Beras Pemerintah dan bantuan sembako dari Presiden di Gudang Bulog Sukamaju milik Perum Bulog Divisi Regional Sumsel dan Babel di Palembang, Sumatera Selatan, Kamis 26 Oktober 2023. Presiden meninjau persediaan beras dan proses penyaluran bantuan pangan cadangan beras pemerintah kepada keluarga penerima manfaat. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Waswas Motif Tersembunyi Insentif Ekonomi

Banyak studi menunjukkan bahwa program-program populis, seperti bantuan sosial dan insentif pajak, rentan dimanfaatkan oleh penguasa yang ingin mempertahankan kekuasaannya lewat pemilihan umum.