Greysia Polii dan Apriyani Rahayu baru saja menjaga tradisi emas cabang bulutangkis di olimpiade. Kerja keras mereka berdua, dengan dukungan penuh Eng Hian sebagai pelatih, plus bantuan teknis dan nonteknis Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI), plus sorak-sorai rakyat Indonesia akhirnya berbuah manis di negeri Sakura baru-baru ini.
Gelar ini bagi Greysia menjadi pelipur lara atas kegagalannya di Olimpiade London 2012. Greysia yang waktu itu berpasangan dengan Meiliana Jauhari—dan lawan mereka Ha Jung Eun/Kim Min Jung asal Korea Selatan—harus keluar dari Olimpiade London karena terkena hukuman diskualifikasi. Kedua pasangan itu dianggap bersikap tidak sportif, setelah dengan sengaja menghindari kemenangan di babak Grup C cabang bulutangkis. Mereka tau mau berhadapan dengan pasangan nomor satu dunia asal Tiongkok kala itu, Wang Xiaoli/Yu Yang, di babak perempat final. Sementara bagi Apriyani, debutnya di olimpiade tahun ini langsung berbuah gelar.
Greysia melewati sembilan tahun untuk bangkit dari setelah hukuman diskualifikasi itu. Tapi, ternyata hukuman itu berujung manis dengan emas yang diraihnya bersama Apriyani. Seandainya saja perempuan berusia 33 tahun itu pensiun usai Olimpiade Rio de Janeiro 2016, tentu takkan ada tangisan haru di podium tertinggi olimpiade saat Indonesia Raya dikumandangkan. Mungkin dia akan menangis juga. Tapi bukan karena terharu, melainkan karena menyesali nasibnya yang kalah dari pemain lawan.
Seandainya saja Greysia tak menerima bujukan Apriyani agar tak pensiun kala itu, pasti mereka berdua takkan meraih emas di Tokyo, lalu kebanjiran bonus dari kiri dan kanan.
Tapi, semua sudah terjadi. Lagi pula, dalam sejarah tak ada kata seandainya. Greysia dan Apriyani menunjukkan bahwa siapapun bisa melakukan kesalahan. Tak peduli siapa kita: berkantong tebal atau tipis, penggemar Pevita Pearce atau Atta Halilintar, penggila drama Korea atau film Warkop DKI, penyuka bubur ayam yang diaduk atau tidak diaduk. Kita semua pasti pernah dan senantiasa melakukan kesalahan.
Pertanyaan pentingnya adalah: sadarkah kita pernah dan akan senantiasa melakukan kesalahan? Sanggup dan bersediakah kita memperbaiki kesalahan itu?
Soal kesalahan itu, saya teringat pada komentar-komentar Presiden Joko Widodo, para pembantunya di kabinet, berikut para pendukung setianya selama pandemi ini. Tunggu dulu, para pendukung setia Pak Jokowi. Saya tak menutup mata pada hal-hal baik yang juga dilakukan bapaknya Mas Wali Kota Solo sekaligus mertua dari Bang Wali Kota Medan itu.
Saya tak mau membuat daftar panjang kesalahan-kesalahan itu. Saya hanya akan menyebut tiga saja. Silakan kalau Anda masing-masing mau memperpanjang daftar itu. Ini tak lebih dari usaha untuk mengingatkan, karena sebenarnya juga sudah disebut cukup banyak orang.
Pertama, pengabaian para pejabat tinggi negara akan keberadaan virus. Silakan cari di mesin pencari punya Om Google. Pasti dengan mudahnya Anda akan menemukan bagaimana satu demi satu pejabat melontarkan komentar kontroversial. Ada menteri yang bilang bahwa COVID-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing sehingga kebal. Ada juga satu menteri yang menjadikan ini candaan bahwa virus itu sulit masuk ke Indonesia karena perizinan di negeri kita ini dikenal berbelit-belit. Menteri Kesehatan saat itu bahkan pada Februari 2020 menantang Universitas Harvard untuk membuktikan langsung hasil riset yang memprediksi virus corona semestinya sudah masuk ke Indonesia. Terawan bersikeras hingga saat itu belum ada kasus virus corona karena mengklaim Indonesia sudah punya alat untuk mendeteksi virus asal Tiongkok tersebut.
"Ya Harvard suruh ke sini. Saya suruh buka pintunya untuk melihat. Tidak ada barang yang ditutupi," kata Terawan waktu itu.
Presiden Joko Widodo, sebagai bos mereka, bahkan melontarkan wacana yang tak kalah kontroversial pada Februari 2020. Wacana itu adalah soal pemberian insentif untuk wisatawan mancanegara agar berkunjung ke tanah air. Wishnutama Kusubandio, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada saat itu, menguatkan pernyataan atasannya itu, dengan mengatakan bahwa insentif pariwisata dianggarkan untuk mendatangkan 736.000 wisatawan asing. Seluruh wisatawan tersebut diharapkan bisa menghasilkan devisa sekitar Rp 13 triliun. Sementara, pada periode itu, sejumlah negara di dunia sudah mulai menutup akses masuk ke wilayahnya.
Kedua, narasi para politisi dan pendengung alias buzzer yang memecah belah semasa pandemi. Toxic positivity alias bersikap seolah semua baik-baik saja, yang mereka dengungkan setiap saat sungguh berbahaya bagi masyarakat. Sebabnya adalah, hal ini berpotensi menurunkan tingkat kewaspadaan, meski dikemas dalam kata-kata manis. Psikolog klinis dan hipnoterapis bernama Liza Marielly Djaprie mengatakan, toxic positivity ini adalah gangguan psikologis di mana seseorang punya sikap positif yang berlebihan. Katanya, orang macam itu biasa mengaku dirinya baik-baik saja tetapi tidak melakukan aksi apapun atas masalah yang menimpa dirinya.
Bayangkan, kalau ada banyak dan semakin banyak orang yang terjangkit gangguan psikologis ini, karena termakan kata-kata manis para pendengung dan politisi. Beberapa kalangan menyebut para pendengung dan politisi ini sebagai sekumpulan ikan lele yang kerap memperkeruh suasana. Semakin keruh suasana yang ditimbulkan, semakin ia merasa tujuannya tercapai. Dalam kekeruhan kita tak akan mungkin bisa menatap ke dasar kolam bukan?
Ketiga, keengganan para pejabat untuk mengakui kekeliruan mereka dalam menghadapi pandemi. Para pejabat itu, dengan segala kewenangan dan legitimasi yang ada pada mereka, tentu punya kekuatan yang lebih besar ketimbang masyarakat kebanyakan. Tapi, pengingkaran demi pengingkaran berbentuk eufemisme tak jarang kita jumpai selama pandemi ini.
Kesalahan demi kesalahan sudah terjadi, di samping hal-hal baik yang sudah pemerintah kerjakan. Pemerintah saat ini sebaiknya tidak lagi dan lagi melakukan unforced errors, sebuah istilah dalam olahraga tenis lapangan saat seorang pemain melakukan kesalahan sendiri, bukan karena tekanan dari lawan. Berhentilah melontarkan komentar atau melakukan sesuatu yang berpotensi melukai perasaan masyarakat, terutama yang secara ekonomi sedang dan terus-menerus terpuruk.
Meski tak semua kritik bermutu adanya, janganlah lagi-lagi pemerintah menjadikan para kritikus sebagai sasaran serangan ad hominem, lantas mengabaikan hal-hal substansial dalam pandangan-pandangan mereka.
Sebaliknya, pemerintah harus terus berupaya mencetak winner—juga istilah dalam olahraga tenis lapangan – yaitu pukulan yang tidak dapat dijangkau oleh lawan dan mendapatkan poin; pukulan servis yang dapat dijangkau namun tidak dapat dikembalikan oleh lawan dan menghasilkan poin. Lawan dalam konteks pandemi ini adalah virus itu sendiri. Bagaimana caranya? Tentu sudah banyak masukan dari para ahlinya.
Tentu, sama sekali tak mudah untuk seseorang bangkit dari keterpurukan, memperbaiki kekeliruan, dan meraih hasil optimal. Lihat saja perjalanan Greysia dan Apriyani di Olimpiade Tokyo. Mereka tampil di sana dengan status pasangan nonunggulan. Tapi, di babak penyisihan grup mereka menundukkan pasangan nomor satu dunia yang jadi unggulan pertama yaitu Yuki Fukushima/Sayaka Hirota. Pasangan Korea Selatan, yang jadi unggulan keempat, Lee Soo-he/Shin Seung Chan jadi korban mereka di babak semifinal. Di partai puncak, giliran unggulan kedua asal Tiongkok Chen Qing/Jia Yi Fan yang jadi korban Greysia/Apriyani.
Semoga saja pemerintah kita bisa dan mau bercermin dari pasangan Greysia/Apriyani ini, terutama tekad kuat mereka dalam menghadapi tantangan untuk berhasil meraih tujuan. Memberikan bonus ini dan itu senilai miliaran rupiah tentu baik sekali. Tapi, belajar dari perjalanan Greysia/Apriani sebelum mempersembahkan medali emas untuk Indonesia di Olimpiade Tokyo 2020 juga tak kalah baiknya.
Soal belajar dari kesalahan ini, saya teringat pada sebuah acara daring yang digelar pada hari Pendidikan Nasional 2 Mei lalu. Saat itu ada seorang pria yang mengaku sejak masih menjadi siswa selalu belajar dari kesalahan, tidak putus asa, dan senang berkompetisi.
“Saya selalu belajar dari kesalahan. Kemudian juga tidak pernah putus asa, dan saya senang yang namanya kompetisi,” kata pria itu.
Pak Jokowi tentu tak lupa, karena pria itu tak lain adalah dirinya sendiri.