Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Investor Millennial dan Keserakahan Ekonomi

image-profil

Penulis, Direktur Program Yayasan KEHATI

image-gnews
Sebuah perahu yang digunakan untuk mensurvei terumbu karang yang menjadi putih di Maldewa. Sekitar tiga dekade terumbu karang banyak yang mati karena sterss yang diakibatkan oleh pemanasan global. (The Ocean Agency/XL Catlin Seaview Survey via AP)
Sebuah perahu yang digunakan untuk mensurvei terumbu karang yang menjadi putih di Maldewa. Sekitar tiga dekade terumbu karang banyak yang mati karena sterss yang diakibatkan oleh pemanasan global. (The Ocean Agency/XL Catlin Seaview Survey via AP)
Iklan

Bumi pernah mengalami lima kali kepunahan massal jutaan tahun yang lalu. Penyebab utamanya adalah faktor alam, seperti hujan meteor, banjir besar, gerakan lempeng, gempa bumi, dan sebagainya.

Saat ini bumi ditengarai tengah mengalami proses kepunahan massal keenam. IPBES (The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services) pada 2019 melaporkan bahwa lebih dari satu juta spesies bumi terancam mengalami kepunahan. Bedanya dengan lima kepunahan massal sebelumnya, kepunahan massal keenam kali ini disebabkan oleh faktor manusia.

IPBES (2019) juga mengidentifikasi beberapa penyebab langsung dari kepunahan spesies, yaitu perubahan penggunaan lahan, eksploitasi langsung, perubahan iklim, pencemaran, dan invasi spesies asing. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa kepunahan spesies disebabkan kegiatan ekonomi.

Karena itu, pendekatan ekonomi menjadi penting, baik dalam menganalisis penyebab maupun solusi yang ditawarkan untuk mencegah terjadinya akselerasi kepunahan massal.  Pendekatan ekonomi merupakan hal mendasar dalam pengelolaan keanekaragaman hayati karena pada dasarnya yang dikelola bukanlah keanekaragaman hayatinya, melainkan manusia sebagai makhluk ekonomi yang memiliki kemampuan eksploitasi dengan skala besar.

Salah satu teori ekonomi yang sering menjadi rujukan pengambil kebijakan adalah kurva lingkungan Kuznets  (Environtmental Kuznets Curve), yaitu kurva yang berbentuk U terbalik (inverted U-shaped) dimana garis horisontal menunjukan pendapatan per kapita dan garis vertikal adalah kerusakan lingkungan.

Kurva ini pada awalnya digunakan oleh ekonom Simon Kuznet tahun 1950-an untuk melihat hubungan antara pendapatan per kapita dengan ketimpangan pendapatan. Pada tahun 1990-an, Kurva Kuznet digunakan oleh Grossman dan Krueger untuk mengkaji hubungan antara ekonomi dengan berbagai indikator lingkungan, termasuk emisi karbon dioksida. Kurva Kuznet semakin populer ketika Bank Dunia mengeluarkan World Development Report 1992 yang menyebutkan penerapan kurva Kuznet.

Kurva Kuznet menjelaskan bahwa pendapatan per kapita pada awalnya akan meningkat seiring dengan meningkatnya kerusakan lingkungan hingga mencapai suatu titik balik (turning point).  Setelah itu, kerusakan lingkungan mengalami perbaikan dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita. Artinya, teori ini menekankan bahwa kerusakan lingkungan tidak bisa terelakkan dalam pembangunan ekonomi, sehingga pilihan kebijakan adalah dahulukan ekonomi (economy first).  Sementara urusan kerusakan lingkungan diurus belakangan.

Sebenarnya, masih banyak pertanyaan dan perdebatan terkait teori Kuznet ini, seperti pada level pendapatan per kapita berapa ketika terjadi titik balik? Berapa lama hingga sampai di titik balik? Seberapa parah kerusakan lingkungan yang terjadi hingga titik balik? Apakah setelah mencapai titik balik, perbaikan lingkungan akan terjadi secara otomatis?  Dan pertanyan-pertanyaan kritis lainnya.

Meskipun masih terjadi perdebatan pada tataran konsep, teori Kuznet sudah diterapkan secara luas di berbagai negara.  Salah satu dampaknya, seperti disebutkan di awal, adalah terjadinya ancaman kepunahan massal keenam.

Kajian terbaru lingkup global tentang dampak kebijakan ekonomi yang mendahulukan ekonomi dan mengabaikan aspek lingkungan dilakukan oleh ekonom dari Universitas Cambridge, Prof. Partha Dasgupta.  Pada awal 2021, Dasgupta mempublikasikan hasil kajiannya berjudul The Economics of Biodiversity: The Dasgupta Review atau lebih dikenal dengan The Dasgupta Review.

Dasgupta Review dianggap sebagai tonggak sejarah dalam ekonomi keanekaragaman hayati dan menjadi pembahasan di berbagai forum global sejak dipublikasikan. Menurut Dasgupta, kerusakan biosfir dewasa ini sudah sampai pada titik permintaan terhadap barang dan jasa jauh melampaui kemampuan biosfir memenuhi permintaan tersebut secara berkelanjutan.  Secara matematik, ecological footprint sudah jauh melampaui tingkat regenerasi biosfir.  Ecological footprint yang dimaksud bukan hanya dari pengerukan sumber daya alam, tapi juga limbah hasil produksi dan konsumsi yang dibuang ke alam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hasil kajian ini merupakan peringatan bahwa  konsep pembangunan berkelanjutan yang telah disepakati para pemimpin dunia tahun 1992 harus dijalankan secara murni dan konsekuen. Konsep ini menekankan bahwa pembangunan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tidak boleh mengorbankan pemenuhan kebutuhan ekonomi generasi mendatang.

Para pemimpin negara-negara dunia juga menyepakati program Millenium Development Goals (MDGs) dengan delapan tujuan yang kemudian dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) yang terdiri dari 17 tujuan. Sebagai tambahan, terdapat juga kesepakatan Paris Climate Agreement untuk memastikan pembangunan ekonomi di semua negara tidak melampaui target emisi gas rumah kaca global.

Selain kesepakatan para pemimpin negara, dunia usaha global juga membuat kesepakatan untuk menjaga keseimbangan antara keuntungan finansial dan pelestarian lingkungan.

Setidaknya terdapat dua kesepakatan penting dalam dunia usaha, yaitu Equator Principles bagi lembaga keuangan (sebagian besar bank) dan Principles for Responsible Investment (PRI) bagi lembaga investasi.  Kedua kesepakatan ini mendasari komitmennya pada penerapam prinsip-prinsip Environmental, Social, and Government (Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola) yang disingkat ESG.

Equator Principles diinisiasi oleh International Finance Corporation (IFC) pada tahun 2003.  Pada awalnya hanya 10 lembaga keuangan yang mengadopsi Equator Principles, namun seiring berjalanya waktu jumlahnya terus berkembang hingga mencapai 118 lembaga keuangan pada tahun 2021.

Sementara PRI diinisiasi oleh Sekretaris Jenderal PBB Kofi Anan pada tahun 2006.  Lembaga investasi yang berkomitmen menerapkan PRI (signatories) mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu dari 20 lembaga pada tahun 2005 menjadi 3.000 lembaga tahun 2020.  Asset under Management (AUM) PRI juga meningkat tajam, dari hanya USD 3 triliun tahun 2006 menjadi USD 100 triliun tahun 2020.  Ini merupakan sinyal yang kuat bahwa sedang terjadi tren ‘investasi hijau’ secara global.

Faktor penting lain dalam pertumbuhan investasi hijau adalah investor millennial yang merupakan pewaris kekayaan senilai USD 30 trilliun.  Survei yang dilakukan oleh Morgan Stanley tahun 2017 menunjukan bahwa 86 persen investor millennial tertarik pada investasi berkelanjutan yang bukan saja menghasilkan keuntungan finansial tapi juga memberikan dampak positif terhadap sosial dan lingkungan.  Survei ini juga menyebutkan bahwa 75 persen investor millennial percaya bahwa investasi mereka dapat mempengaruhi kondisi perubahan iklim dan 84 persen percaya bahwa investasi mereka dapat mengurangi angka kemiskinan.

Tren investasi hijau menunjukan bahwa dunia usaha tengah memainkan peranan penting dalam upaya mengatasi isu lingkungan. Beberapa korporasi besar telah membuktikan keseriusannya dalam penerapan prinsip-prinsip ESG, namun ada juga yang masih bermain dengan greenwashing, yaitu menjadikan isu lingkungan sebagai sensasi pemasaran dengan membuat klaim palsu untuk menghasilkan keuntungan dari tren keberlanjutan yang sedang populer.

Menurut Michael Porter (2013), pakar manajemen dari Universitas Harvard, paradigma lama bahwa bisnis dapat memperoleh keuntungan dengan cara merusak lingkungan mesti berubah menjadi paradigma baru, yaitu bisnis dapat memperoleh keuntungan dengan cara memperbaiki lingkungan.  Agar paradigma baru ini dapat terealisasi, maka ada dua hal yang perlu dilakukan.  Pertama, mengubah cara pikir dunia bisnis dalam melihat dirinya sendiri dan kedua, mengubah cara pikir dunia non-bisnis terhadap dunis bisnis.

Ringkasnya, perlu ada kolaborasi antar stakeholder dan dunia bisnis dalam memperbaiki planet bumi. Karena tidak ada Planet B.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Politikus Demokrat Timo Pangerang Diduga Rangkap Jabatan, Ada Indikasi Benturan Kepentingan di LPS

9 hari lalu

Andi Timo Pangerang. Foto: Facebook
Politikus Demokrat Timo Pangerang Diduga Rangkap Jabatan, Ada Indikasi Benturan Kepentingan di LPS

Politikus Partai Demokrat A.P.A Timo Pangerang diduga rangkap jabatan sebagai kader partai dan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)


Dua Begal Terekam CCTV Saat Beraksi di Grogol Petamburan, Ditangkap di Kuningan dan Bogor

15 hari lalu

Ilustrasi begal / penyerangan dengan senjata tajam / klitih / perampokan. Shutterstock
Dua Begal Terekam CCTV Saat Beraksi di Grogol Petamburan, Ditangkap di Kuningan dan Bogor

Unit Reskrim Polsek Grogol Petamburan Jakarta Barat mengungkap motif di balik aksi begal ponsel di warteg wilayah Jelambar Baru, Grogol Petamburan, Jakarta Barat.


Pantang Menyerah Lawan Kanker Ginjal, Vidi Aldiano: Segala Ikhtiar Dilakukan

18 hari lalu

Vidi Aldiano mengunggah foto dirinya saat bertolak ke Koh Samui, Thailand untuk menjalani terapi melawan kanker ginjal. Foto: Instagram.
Pantang Menyerah Lawan Kanker Ginjal, Vidi Aldiano: Segala Ikhtiar Dilakukan

Vidi Aldiano mengaku mengalami serangan kecemasan saat transit di Bandara Changi, Singapura sebelum melanjutkan perjalanan ke Thailand untuk terapi.


PLN Gandeng 28 Mitra Kembangkan Infrastruktur Catu Daya Kendaraan Listrik

21 hari lalu

Direktur Retail dan Niaga PLN Edi Srimulyanti saat menyampaikan sambutannya pada acara penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan 28 mitra badan usaha terkait pengembangan dan penyediaan charging di PLN Unit Induk Distribusi Jakarta Raya (UID Jaya) pada Rabu, 3 Juli 2024.
PLN Gandeng 28 Mitra Kembangkan Infrastruktur Catu Daya Kendaraan Listrik

PT PLN (Persero) melakukan langkah besar dalam memperkuat ekosistem kendaraan listrik di Indonesia dengan menandatangani 30 set Memorandum of Understanding (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan 28 mitra badan usaha terkait pengembangan dan penyediaan charging.


Deretan Film yang Diadaptasi dari Video Game

25 hari lalu

Film Detective Pikachu merupakan film Pokemon live-action pertama dan dikemas lebih modern.
Deretan Film yang Diadaptasi dari Video Game

Adaptasi film yang diambil dari video game menawarkan pengalaman menarik dan menghibur bagi penonton segala usia.


Disdag Palembang Gelar Pasar Murah, Antisipasi Lonjakan Harga Menjelang Idul Adha

43 hari lalu

Antisipasi Lonjakan Harga menjelang Idul Adha, Dinas Perdagangan Kota Palembang Adakan Pasar Murah. TEMPO/ Yuni Rohmawati
Disdag Palembang Gelar Pasar Murah, Antisipasi Lonjakan Harga Menjelang Idul Adha

Pemerintah Kota Palembang melalui Dinas Perdagangan (Disdag) menggelar pasar murah menjelang hari Raya Idul Adha 2024


Asosiasi Tagih Janji Pemerintah Soal Penguatan Industri Game Nasional, Isu Pendanaan Paling Krusial

57 hari lalu

Salah satu industri game dunia Sony and XBOX ONE, mengikuti pameran ini. Industri game di Inggris menyumbang GDP terbesar bagi Inggris, dengan total nilai transaksi mencapai  1.72 milyar poundsterling. Birmingham, Inggris, 24 September 2015.  M Bowles / Getty Images
Asosiasi Tagih Janji Pemerintah Soal Penguatan Industri Game Nasional, Isu Pendanaan Paling Krusial

Asosiasi game nasional mendesak realisasi Perpres Nomor 19 tahun 2024 soal pengembangan industri game nasional sebelum rezim berganti.


Mengenal Tangkahan, Kawasan Ekowisata dan Konservasi Gajah di Taman Nasional Gunung Leuser Sumut

58 hari lalu

Gajah-gajah saat menyiram wisatawan saat berkunjung ke Tangkahan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Gajah-gajah tersebut digunakan bagi wisatawan untuk trekking keliling kawan ini. Tempo/Soetana Monang Hasibuan
Mengenal Tangkahan, Kawasan Ekowisata dan Konservasi Gajah di Taman Nasional Gunung Leuser Sumut

Tangkahan dijuluki sebagai The Hidden Paradise of North Sumatra, karena letaknya yang tersembunyi dengan keindahan alam yang masih alami,


Mengenal Tapera yang Akan Memotong Gaji Pegawai Sebesar 3 Persen

58 hari lalu

Pekerja tengah menyelesaikan proyek pembangunan rumah subsidi di kawasan Sukawangi, Bekasi, Jawa Barat, Senin, 6 Februari 2023. PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. targetkan 182.250 unit KPR FLPP dan Tapera, seiring dengan rasio jumlah kebutuhan rumah (backlog) masih tinggi mencapai 12,75 unit. Tempo/Tony Hartawan
Mengenal Tapera yang Akan Memotong Gaji Pegawai Sebesar 3 Persen

Tapera adalah penyimpanan dana yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu


Dieng Caldera Race Digelar 8-9 Juni 2024, Peserta Diajak Lari Menikmati Keindahan dan Dinginnya Dieng

59 hari lalu

Telaga Merdada terlihat dari atas ketinggian 2.500 meter, di Dieng, Banjarnegara, (4/10). Penghujung musim kemarau di Dataran Tinggi Dieng menyuguhkan pemandangan yang eksotis. Aris Andrianto/Tempo
Dieng Caldera Race Digelar 8-9 Juni 2024, Peserta Diajak Lari Menikmati Keindahan dan Dinginnya Dieng

Pada Juni hingga Agustus, suhu udara di ketinggian Dieng mencapai nol derajat Celcius, bahkan minus.