Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Menata Hutan dengan Omnibus Law

image-profil

Rimbawan dan Pemerhati Kehutanan

image-gnews
Ilustrasi penebangan pohon. ANTARA
Ilustrasi penebangan pohon. ANTARA
Iklan

Sejak Undang-Undang Cipta Kerja disahkan DPR, berbagai kalangan mereponsnya dengan pro dan kontra.Tak terkecuali substansi di bidang kehutanan. Salah satu substansi yang diperdebatkan adalah penghapusan ketentuan luas minimal kawasan hutan 30 persen yang tertuang dalam Undang-Undang Kehutanan. Dari masyarakat awam hingga akademisi menganggap penghapusan ketentuan ini akan memperparah penggundulan hutan. Di sisi lain, ketentuan 30 persen ini memang tidak sesuai lagi dengan kondisi terkini. Ada beberapa penyebabnya.

Pertama, penetapan 30 persen membawa konsekuensi merugikan baik dari segi ekologi, sosial, dan budaya. Contohnya, provinsi dengan kawasan hutan di atas 30 persen, maka ketentuan ini justru memicu daerah untuk berlomba-lomba mengkonversi kawasan hutan. Tidak heran banyak provinsi mengubah kawasan hutan menjadi perkebunan, pertambangan, dan peruntukan lainnya.

Sebaliknya, provinsi dengan kawasan hutan dengan luas di ambang atau di bawah 30 persen, kesulitan dalam menata ruang dan menyelesaikan permasalahan konflik pertanahan. Apabila ingin mengubah tata ruangnya maka harus membeli lahan untuk dijadikan kawasan hutan sebagai pengganti. Hal ini tentu saja sangat mahal dan tidak memungkinkan, khususnya provinsi di Pulau Jawa,. Akibatnya, banyak permasalahan keterlanjuran dalam kawasan hutan—berupa pemukiman, fasilitas umum dan sosial—tidak pernah terselesaikan. Padahal, semakin lama isu tumpang tindih tenurial ini, permasalahan akan semakin larut dan kompleks. Sementara itu, terdapat lahan yang memiliki kualifikasi sebagai hutan di area penggunaan lain (non kawasan hutan).

Kedua, masyarakat awam masih rancu tentang makna hutan dan kawasan hutan. Kita sepakat hutan sangat berarti bagi kehidupan manusia. Melestarikan hutan memang suatu keharusan. Namun, angka 30 persen yang ada dalam Undang-Undang Kehutanan itu mengacu pada kawasan hutan, bukan hutan secara biofisik. Dari definisi dan kriteria, hutan berbeda dengan kawasan hutan. Untuk memudahkan membedakannya: hutan adalah hamparan tanah yang didominasi oleh pepohonan, sedangkan kawasan hutan adalah area yang ditetapkan oleh pemerintah. Artinya, kawasan hutan adalah status suatu ruang saja, terlepas di dalamnya sudah berbentuk perumahan, perkebunan, pertambangan, dan fasum fasos. Di Indonesia, kawasan hutan tanpa pohon ini mencapai 34 juta hektare.

Sementara itu, arti hutan tidak pernah bulat baik di kalangan nasional maupun global. Di internasional, kriteria yang disepakati pada forum antar bangsa, Food and Agriculture Organization (FAO), menjadi definisi yang paling banyak digunakan. Meski demikian, definisi dan kriteria FAO mengundang perdebatan dan multi tafsir. Hutan bukan lagi dilihat dari aspek biofisik, tapi juga aspek politis. Sebagai contoh, sebelum 2015, perkebunan kelapa sawit dianggap sebagai hutan oleh FAO. Kini, sawit justru dituding sebagai penyebab utama deforestasi.

Ketiga, alasan lain penghapusan angka 30 persen adalah karena angka ini memang doktrin pemerintahan kolonial. Menurut dua cendekiawan Amerika, Davis dan Robbins,  konsepsi penetapan luas minimal hutan berawal pada abad ke-18. Kemudian, ide tersebut menyebar ke berbagai kalangan rimbawan di seluruh dunia. Termasuk rimbawan kolonial yang saat itu menjajah Indonesia. Sebuah studi karya Nancy Peluso (akademisi Amerika) menyebutkan awal pengenalan angka 30 persen ini diinisiasi oleh tokoh rimbawan Belanda, Van Arstson. Tujuannya saat itu adalah untuk mengelola hutan di Jawa. Menurutnya, sekitar 30 persen wilayah daratan pulau Jawa seharusnya tertutup hutan.

Saat Indonesia merdeka, angka minimal hutan 30 persen diadopsi dalam Undang-Undang Pokok Kehutanan pada 1967. Meski ada upaya merevisi pada era reformasi, namun angka 30 persen kembali muncul dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Angka luas minimal 30 persen pun dijadikan kurikulum pendidikan kehutanan baik formal maupun non formal. Tidak heran doktrin itu tertanam kuat di masyarakat Indonesia terutama kaum rimbawan.

Bertolak berbagai permasalahan di atas, maka penghapusan ketentuan 30 persen luas minimal kawasan hutan merupakan suatu terobosan nyata. Sebagai alternatif batasan minimal, sebenarnya terdapat alat analisis yang lebih komprehensif, yaitu analisis multi kriteria. Metode ini dapat mengintegrasikan berbagai nilai, seperti nilai jasa ekosistem, nilai daya dukung dan daya tampung, aspek sosial, dan juga nilai ekonomi.

Pada 2019, penulis pernah mengaplikasikan metode tersebut dengan judul “Rasionalisasi Kawasan Hutan Indonesia”. Data dan informasinya yang digunakan mencakup 31 peta tematik mewakili kriteria daya dukung daya tampung, sosial-politik, dan aspek ekonomi. Khususnya aspek daya dukung daya tampung, terdapat beberapa variabel: (1) nilai keanekaragaman hayati, (2) cadangan karbon atau kualitas hutan, (3) daya dukung daya tampung untuk air dan pangan.

Berdasarkan hasil studi, seluruh daratan Indonesia yang layak dikatakan hutan—dalam arti memberikan jasa ekosistem—adalah sekitar 65 juta hektare (34 persen daratan). Jika menempatkan hutan untuk kepentingan ekonomi, maka luasannya mencapai 110 juta hektare (59 persen daratan Indonesia).

Meskipun demikian, penentuan batas minimal tidak dapat diberlakukan sama rata secara nasional. Perlu penyesuaian berdasarkan karakteristik dan kondisi tiap pulau. Hal ini mengingat Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki ciri biofisik dan faktor sosial yang berbeda-beda. Selain itu, faktor demografi juga sangat berpengaruh terhadap penentuan batas minimal kawasan hutan. Pulau dengan kepadatan penduduk tinggi dan menjadi pusat perekonomian serta didukung kondisi geografi yang menguntungkan, bisa jadi hanya membutuhkan kawasan hutan kurang dari 30 persen. Sedangkan pulau lain dengan kondisi berbeda membutuhkan kawasan hutan lebih dari 30 persen.

Misalnya, pulau Jawa hanya membutuhkan 7 persen kawasan hutan untuk fungsi perlindungan. Namun, apabila memasukkan urusan produksi, maka area yang menjadi kawasan hutan menjadi sekitar 18 persen. Pulau lain seperti Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua, kawasan hutan patut mempertahankan hutan lebih dari 30 persen.  Sebagai contoh Papua, kawasan yang cocok disebut sebagai hutan mencapai 48 persen. Tapi jika memasukkan fungsi produksi, maka kawasan hutan Papua mencapai 91 persen.

Singkatnya, ketentuan batas minimal kawasan hutan 30 persen sudah tidak relevan lagi bagi pembangunan Indonesia terkini dan masa depan. Penghapusan ketetapan tersebut justru dapat dijadikan momentum untuk menata kembali hutan Indonesia. Analisis komprehensif diperlukan untuk mengganti ketetapan tersebut. Batas minimal hutan tentu tidak boleh diputuskan di atas meja saja dan top down. Verifikasi lapangan—tentu saja secara partisipatif dan transparan—menjadi pekerjaan bersama. Dengan begitu pembangunan kehutanan di Indonesia lebih terencana dan holistik, seperti yang pernah dicita-citakan oleh Bung Karno: Pembangunan Nasional Semesta Berencana. 

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

2 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

31 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

50 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

51 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.