Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Dinasti Politik di Solo

image-profil

image-gnews
Bakal calon Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka (kiri) dan bakal calon Wakil Wali Kota Solo, Teguh Prakosa (kanan) memberikan keterangan kepada Wartawan saat berada di kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan, Solo, Jawa Tengah, Jumat 17 Juli 2020. Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa resmi mendapat rekomendasi PDI Perjuangan untuk maju sebagai bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo pada Pilkada serentak Desember mendatang. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Bakal calon Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka (kiri) dan bakal calon Wakil Wali Kota Solo, Teguh Prakosa (kanan) memberikan keterangan kepada Wartawan saat berada di kantor Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan, Solo, Jawa Tengah, Jumat 17 Juli 2020. Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa resmi mendapat rekomendasi PDI Perjuangan untuk maju sebagai bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Solo pada Pilkada serentak Desember mendatang. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Iklan

Paulus Mujiran
Alumni Pascasarjana Universitas Diponegoro

Putra sulung Presiden Joko Widodo alias Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, bersama pasangannya, Teguh Prakosa, resmi mendapat rekomendasi dari Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) setelah "menjegal" Wakil Wali Kota Achmad Purnomo berkat cawe-cawe Jokowi. Ini menjadi torehan dinasti politik pertama Presiden Jokowi di kota kelahirannya, Solo.

Langkah Gibran menjadi calon Wali Kota Solo membangkitkan ingatan publik akan politik dinasti yang selalu marak menjelang pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah. Langkah Gibran, seperti halnya anak-anak pejabat pada umumnya, tidaklah salah. Juga tidak ada undang-undang yang dilanggar terkait dengan keinginan melanjutkan kepemimpinan ayahnya yang juga pernah menjadi Wali Kota Solo.

Bahkan Gibran-Teguh berpotensi menjadi calon tunggal di Kota Bengawan. Politik dinasti merupakan kekuasaan politik yang dijalani oleh sekelompok orang yang mempunyai hubungan keluarga. Politik dinasti lebih identik dengan kerajaan karena kekuasaan diwariskan secara menurun kepada anak meski melalui mekanisme pilkada. Menurut A.G.N. Dwipayana (2016), tren kekerabatan itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional.

Bentuk sistem patrimonial mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis ketimbang sistem merit dan prestasi. Anak dan keluarga masuk ke institusi yang telah disiapkan partai politik. Dalam demokrasi, politik dinasti harus dihindari karena maraknya politik semacam ini menyebabkan proses perekrutan dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan, bahkan macet. Menjadikan partai sebagai mesin politik pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sebagai rekrutmen politik.

Proses perekrutan, yang semestinya didasari oleh kemampuan dan kompetensi, justru didasarkan pada popularitas, kekayaan calon, dan nama besar keluarga untuk meraih kemenangan. Hal itu memicu calon instan yang berasal dari pengusaha, anak pejabat, serta kerabat pejabat yang merasa bagian dari "darah biru" kekuasaan tanpa melalui kaderisasi. Jika kader harus merangkak dari bawah, mulai dari struktur ranting, calon dari dinasti bisa langsung menembus ke elite kekuasaan. Sebagai anak pejabat, mereka tidak perlu bersusah payah berinvestasi di bidang sosial dan politik untuk mendapat dukungan rakyat.

Akibatnya, kader andal partai yang sudah berjuang lama tersingkirkan dan digantikan oleh kader instan dengan modal popularitas dan kekerabatan. Ini menutup kesempatan kader berkualitas yang sudah lama berjuang dari bawah membesarkan partainya. Dengan model politik ini, sulit mewujudkan demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang bersih. Fungsi kontrol juga tidak berjalan efektif sehingga berpotensi terjadi penyimpangan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menurut data Kementerian Dalam Negeri dan LIPI (2016), politik dinasti mempunyai beberapa model. Pertama, model regenerasi, seperti arisan keluarga, yakni satu keluarga memimpin suatu daerah tanpa jeda, mirip seperti regenerasi. Kedua, model lintas kamar dengan cabang kekuasaan. Sang kakak, misalnya, menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; sang adik menjadi bupati; dan adik yang lain memegang jabatan sebagai kepala dinas. Ketiga, model lintas daerah, ketika satu keluarga memegang jabatan kepala daerah di daerah yang berbeda-beda.

Adapun berdasarkan tipologinya, politik dinasti berbentuk populisme, figur populer karena faktor keturunan; octopussy, yang sengaja membentuk sinergi aktor formal dengan informal; tribalisme, yang berdasarkan klan politik; serta feodalisme, yang berdasarkan status mantan kerajaan. Dengan demikian, politik dinasti membuat orang yang tidak kompeten dapat duduk di kursi kekuasaan. Sebaliknya, orang yang kompeten tidak dipakai karena bukan anggota keluarga.

Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan ketika semua warga negara memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan untuk kesejahteraan rakyat. Demokrasi membolehkan warga negara berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, termasuk memilih dan dipilih dalam pemilihan pemimpin publik. Karena itu, kekuasaan di tangan rakyat politik dinasti tidak dikenal di negara kita yang menganut asas demokrasi. Indonesia bukan monarki, yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan.

Politik dinasti juga bertentangan dengan budaya demokrasi karena tren ini mengabaikan kompetensi dan rekam jejak. Bahkan, politik dinasti mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpin. Dalam perspektif Ibnu Khaldun (1332-1406), politik dinasti dinamai ashabiyah sebagai gejala yang bersifat alamiah karena pada umumnya penguasa selalu ingin merekrut orang yang memiliki kekerabatan dengan bawahannya.

Tapi, Ibnu Khaldun mengingatkan, politik ashabiyah pada saatnya bisa mengakibatkan kehancuran negara. Dalam konteks demokrasi modern, hal ini menjadi masalah serius karena dapat mematikan filosofi demokrasi sebagai kekuasaan dari rakyat. Politik dinasti pada saatnya akan mengganggu checks and balances antar-lembaga. Rasa ewuh pakewuh menghambat fungsi kontrol karena jabatan publik dikuasai keluarga besar. Itulah dinamika politik dinasti yang lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

2 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

31 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

50 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

50 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.