Agus Pakpahan
Ekonom Kelembagaan dan Mantan Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia
Akhir-akhir ini tersiar kabar bahwa Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyatakan Bulog, PT Perkebunan Nusantara (PTPN), dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) akan digabungkan menjadi satu perusahaan holding. Tujuannya adalah membentuk rantai industri pangan yang terkonsolidasi di BUMN.
Pada 2010, dalam proses penyusunan PTPN holding, saya menyampaikan gagasan bahwa pembentukan PTPN holding memerlukan penerapan prinsip kehati-hatian. Hal ini mengingat adanya tambahan birokrasi korporasi, yaitu institusi holding, yang akan membuat PTPN berubah menjadi anak perusahaan dengan status bukan BUMN. Aset PTPN, yang sebelumnya milik negara, akan menjadi aset perusahaan holding. Perubahan ini akan membuat negara kehilangan aset yang bersumber dari kekayaan negara yang dipisahkan. Prediksi saya ketika itu kelihatannya sekarang semakin besar kemungkinannya untuk terjadi dengan menumpuknya utang PTPN hingga sekitar Rp 42 triliun. Utang ini hanya akan bisa dibayar melalui penjualan aset.
Kemampuan kita dalam mengelola BUMN dapat dikatakan masih lemah. Kerugian yang menyebabkan meledaknya utang adalah salah satu buktinya. Mari kita tengok, misalnya, koperasi petani di Amerika Serikat. Pada 2018, CHS dan Land O’Lakes di Minnesota memperoleh pendapatan masing-masing US$ 32,7 miliar (sekitar Rp 458 triliun) dan US$ 14,9 miliar (sekitar Rp 209 triliun). Pada tahun yang sama, BRI memperoleh pendapatan Rp 111,6 triliun dan Bank Mandiri Rp 85 triliun. Pendapatan kedua bank itu, yang merupakan representasi perusahaan besar dan terpandang di Indonesia, masih kalah jauh bila dibandingkan dengan koperasi petani tersebut.
Pembentukan 14 BUMN perkebunan pada 1996, dari sebelumnya berjumlah 32 perusahaan, pada dasarnya hendak menjadikannya medan latihan agar para CEO BUMN perkebunan tersebut bisa naik kelas menjadi CEO kelas dunia. Rupanya menjadi CEO kelas dunia itu tidaklah mudah dan tidak pula sederhana. Selain itu, perusahaan yang lebih dulu berstruktur holding, seperti RNI dan BUMN pupuk, belum dapat dikatakan sebagai perusahaan berhasil dalam bentuk holding. Jadi, kita belum bisa mengatakan bahwa penggabungan perusahaan menjadi holding akan membuatnya menjadi lebih baik.
Rencana penggabungan BUMN pangan itu sebenarnya merupakan kebijakan yang tak pasti. Suatu kebijakan dikatakan tidak pasti apabila pembuatan kebijakan tersebut belum dilandasi suatu kajian ilmiah yang cukup kokoh. Wishful thinking memang diperlukan. Tapi, apabila pengetahuan belum menjadi landasan utama suatu kebijakan, kebijakan tersebut dapat diperkirakan akan gagal.
Persoalan terbesar BUMN kita tidak terletak pada struktur. Ibarat main bola, struktur (aturan) permainannya sama saja di seluruh dunia, tapi kemampuan pemain-pemain kita tertinggal dari negara lain. Hal itu disebabkan oleh banyak faktor. Demikian juga dengan para partisipan dalam BUMN perkebunan. Kita harus mengatasi persoalan pertama, yaitu memperbaiki sumber daya manusia di lingkungan BUMN sebagai kunci untuk meningkatkan kapabilitas BUMN.
Pengalaman Jepang dalam membangun pusat pertaniannya di Hokkaido pada 1876 dapat kita jadikan cermin. Saat itu, Jepang menyadari bahwa pertanian mereka jauh tertinggal dari Amerika. Pemerintah lalu mengangkat William S. Clark, mantan rektor Massachusetts Agricultural College, sebagai rektor Hokkaido University. Ia datang ke Jepang bersama timnya. Ia membuat semboyan untuk membakar semangat pemuda-pemudi Hokkaido: “Boys be Ambitious”. Hasilnya, Hokkaido sekarang menjadi pusat pertanian Negeri Matahari Terbit.
Contoh lain adalah Belanda. Dewasa ini, luas lahan pertanian Belanda hanya sedikit lebih besar dibanding luas area lahan yang dikuasai BUMN perkebunan. Tapi Belanda memiliki prestasi luar biasa sebagai negara penerima devisa terbesar kedua dunia setelah Amerika dari ekspor hasil pertanian dan pangan.
Saya ingin menggarisbawahi hal-hal yang perlu kita perkuat terlebih dulu dalam BUMN. Pertama, kita harus mendahulukan penyiapan sumber daya manusia sebelum mengambil langkah-langkah besar tapi tingkat ketidakpastiannya tinggi. The man behind the gun. Hal ini merupakan pertimbangan pragmatisme yang sangat penting. Pengalaman enam tahun Holding Perkebunan, RNI, dan Pupuk Holding perlu dijadikan studi kasus untuk mendapatkan pengetahuan yang diperlukan apabila akan dilakukan suatu perubahan struktural baru. Bila perlu kita bisa meniru Jepang. Tak perlu malu dan ragu apabila kita memerlukan dukungan sumber daya manusia dari luar.
Kedua, riset dan pengembangan perlu dijadikan investasi langsung. Lembaga ini diperlakukan sebagai komplemen pengembangan sumber daya manusia. Investasi di bidang ini tidak boleh kurang dari 2,5 persen dari total belanja modal.
Ketiga, banyak hal yang sifatnya eksternal bisa diinternalisasi menjadi bagian integral kegiatan perusahaan, seperti pupuk dan energi biomassa untuk PTPN dan RNI. Bulog juga akan menjadi pujaan petani padi, misalnya, apabila bisa melakukan investasi dalam mengolah semua potensi yang dikandung padi, seperti beras, tepung beras, energi berbahan bakar sekam, dan batu bata tahan api. Setelah kita kuat di bidang ini, sekali dayung, banyak pulau terlampaui. Dengan kapabilitas mengelola organisasi besar yang sudah mampu menghasilkan nilai tinggi (bukan kerugian tinggi), kita sudah memiliki pengetahuan dalam bentuk amalannya, yaitu bisa mengatasi pelbagai sumber ketidakpastian.