IDE pemerintah menghidupkan kembali Tim Pemburu Koruptor sungguh menggelikan. Setelah Joko Widodo mengebiri Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melahirkan undang-undang revisi, ide membangkitkan tim ini terkesan gula-gula belaka.
Pemerintah kebakaran jenggot ketika buron hak tagih Bank Bali, Joko S. Tjandra, bisa bebas keluar-masuk wilayah Indonesia tanpa terdeteksi. Untuk memupus cap buruk ketidakbecusan aparat hukum menangkap Joko Tjandra, sekonyong-konyong Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. hendak menghidupkan kembali tim pemburu itu.
Tim tersebut dibentuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004. Tim ini beranggotakan perwakilan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, Kementerian Luar Negeri, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Selain tidak pernah mempublikasikan hasil kerja mereka, tim yang dipimpin Jaksa Agung Basrief Arief ini, ketika itu, hanya bisa memulangkan empat dari 16 terpidana korupsi yang buron. Hingga akhir masa jabatannya, SBY tak pernah mendeklarasikan kegagalan tim ini.
Maka, mendaur ulang ide usang ini menggelikan dalam dua hal: tak konsisten pada usaha Jokowi menumpulkan gerakan antikorupsi, dan gagal mencari solusi atas masalah yang terjadi.
Joko Tjandra bisa masuk ke Indonesia dan hidup nyaman di Papua Nugini bukan karena tidak ada tim yang memburunya, melainkan akibat kekacauan manajemen pemerintahan. Jika ia benar berstatus buron, seharusnya data perlintasannya tercatat di imigrasi, sehingga aparat hukum bisa langsung mencokoknya.
Kebobolan oleh Joko Tjandra, pemerintahan Jokowi tampak makin tak berkutik di bawah oligarki—segelintir orang berduit yang mengendalikan kekuasaan untuk kepentingan mereka. Joko Tjandra adalah bukti bahwa oligarki sangat berkuasa mengendalikan negara ini.
Ide Mahfud Md. menghidupkan tim yang sudah lama terkubur itu menunjukkan ketidakmampuan dia membereskan birokrasi di bawahnya. Mahfud tak cukup berdaya untuk memakai kekuasaannya memantau birokrasi di bawahnya dalam menegakkan aturan, kewenangan, dan hukum yang berada di tangannya.
Ketimbang menghidupkan kembali Tim Pemburu Koruptor hanya untuk menunjukkan pemerintah serius memburu buron, Mahfud seharusnya menyiapkan seperangkat strategi dengan mengefektifkan tugas dan fungsi lembaga yang ada. Sebagai Menteri Koordinator, Mahfud sebaiknya berfokus memperkuat koordinasi di antara lembaga penegak hukum.
Masalahnya, setelah pemerintah sukses melemahkan KPK, sulit berharap bahwa penegak hukum yang lain akan melakukan terobosan dalam memburu koruptor. Padahal setidaknya ada 40 buron kasus korupsi yang telah bertahun-tahun menghilang. Yang terakhir, KPK tak kunjung menangkap Harun Masiku, politikus PDI Perjuangan, yang raib setelah menjadi tersangka penyuapan.
Menghidupkan kembali Tim Pemburu Koruptor akan sia-sia bila pangkal soalnya, yakni keengganan pemerintah memberantas korupsi, tak dibereskan. Bereaksi atas kejadian baru yang memalukan dengan ide lama yang gagal hanya akan membuat pemerintahan ini makin terlihat tak mampu menjalankan amanah dari pemilihnya. *