Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

5 Juli

image-profil

Oleh

image-gnews
Iklan

Masa lalu seperti tes Rorschach: tetesan tinta yang tak jelas bentuknya di atas kertas pucat, yang harus kita tafsirkan apa gerangan. Dari tafsir itu diasumsikan akan tersirat bagaimana keadaan jiwa kita.

Sebab itu sejarah adalah susunan tafsir tentang apa yang ambigu tafsir yang lebih berbicara tentang kita hari ini ketimbang apa sebenarnya yang terjadi dahulu.

Tak berarti mengingat masa lalu tak ada gunanya. Setidaknya buat sebuah percakapan.

Maka saya coba mengingat 5 Juli 1959.

Hari itu Presiden Sukarno memaklumkan perubahan besar buat Indonesia: ia mendekritkan sistem politik yang baru, yang ia sebut “Demokrasi Terpimpin”. Parlemen yang para anggotanya dipilih rakyat tiga tahun sebelumnya—dibubarkan. Sebagian surat kabar, di antaranya koran terkemuka seperti Indonesia Raya, Pedoman, Sin Po, dan Star Weekly, ditutup, tak boleh terbit; sejak itu, orang harus mendapat “Surat Izin Terbit” dari penguasa untuk membuat surat kabar.

Mochtar Lubis, wartawan dan novelis terkenal itu (Jalan Tak Ada Ujung, Tak Ada Esok), dipenjarakan; mungkin total sekitar sembilan tahun. Novel karya S. Takdir Alisjahbana apa saja dilarang diedarkan; pengarangnya, juga sastrawan Idrus, lari ke luar negeri.

Beberapa tokoh dalam sejarah politik Indonesia, Sjahrir, Mohammad Natsir, Mohamad Roem, jadi tahanan politik; tak pernah dijelaskan kenapa. Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden, dan sejak itu tak banyak terdengar dalam kehidupan publik.

Dengan berlakunya “Ekonomi Terpimpin”, sektor produksi dan distribusi komoditas penting dikuasai Negara. Perusahaan-perusahaan asing di bidang perkebunan, perdagangan, dan transportasi umum diambil alih, dijadikan perusahaan-perusahaan negara yang sekarang berlanjut sebagai BUMN. Tentara diberi jabatan memimpin bisnis yang dikuasai Negara termasuk di bidang penerbitan. Saya ingat, waktu itu masih remaja, saya tak bisa lagi pesan buku dari penerbit Noordhoff-Kolff, yang dulu menerbitkan terjemahan Huckleberry Finn karya Mark Twain, karena sudah menjadi milik negara, diganti namanya, dan dipimpin seorang birokrat. Balai Pustaka dipimpin seorang jenderal.

Pemerintah mewajibkan beberapa segmen masyarakat secara bergilir mengikuti “indoktrinasi” pendidikan ideologi dengan membaca buku Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi, dengan akronim terkenal “Manipol” (Manifesto Politik) dan “USDEK”.

Akronim terakhir ini singkatan dari “Undang-Undang Dasar 1945”, “Sosialisme Indonesia”, “Demokrasi Terpimpin”, “Ekonomi Terpimpin”, dan “Kepribadian Nasional”. Ada suatu masa kata “Manipol-USDEK” harus ditulis besar-besar di atap rumah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pengadilan juga harus mengikuti doktrin itu. Hakim tak berada dalam kedudukan independen.

Sewaktu-waktu masyarakat dimobilisasi untuk berkumpul mendukung kebijakan Pemerintah, atau sebaliknya untuk “mengganyang” mereka yang dianggap “musuh-musuh Revolusi” termasuk membakar perpustakaan. Pejabat (juga dosen) yang dianggap tak sepaham dengan ideologi negara dicopot (kata yang dipakai “diretool”). Film Amerika tak boleh masuk. Jenis musik yang dianggap terpengaruh “Barat” dilarang dimainkan; para pemain band terkenal, Koes Plus, yang dianggap memainkan musik “ngak-ngik-ngok”, dimasukkan ke bui.

Bung Karno kemudian menjadi presiden-seumur-hidup. Presiden ini juga “Pemimpin Besar Revolusi” yang kekuasaannya di atas Mahkamah Agung. Pada suatu masa tiap koran dan majalah, termasuk majalah sastra, harus memuat teks tulisan atau pidatonya. Pelbagai gelar kehormatan (biasanya dengan ajektif “Agung”, seperti “Wartawan Agung”) dipersembahkan kepadanya dalam upacara resmi. Fotonya ada di mana-mana, dan citranya melekat sampai sekarang: peci, jas warna terang atau gelap, dasi, bintang jasa, tanda jasa, tongkat komando yang ujungnya berkilau, kadang-kadang kacamata hitam tubuh kekar tambun dengan kostum yang lain daripada yang lain, yang tampak ganjil jika bersama pemimpin-pemimpin dunia. Sang “Pemimpin Besar Revolusi”: citra yang berbeda sama sekali dengan Bung Karno yang ramping, yang tak berbintang di dada tak berdasi Bung Karno dari masa Republik I.

Indonesia di bawah “Demokrasi Terpimpin”, itulah Republik III, setelah Republik I, Republik Proklamasi (1945-1949), dan Republik II atau masa Demokrasi Konstitusionil (1950-1958), ketika hidup lebih sederhana dan politik lebih bersih dan perdebatan di sidang konstitusi menunjukkan wawasan, kefasihan, dan keseriusan para wakil rakyat yang sekarang tak ada lagi.

Setelah itu, Republik ke-4: di bawah Presiden Soeharto yang suasana otoriternya sudah dibangun dalam masa Republik “Demokrasi Terpimpin” tapi ditambah dengan teror di dalam politik yang beku, sejak pembantaian berpuluh-puluh ribu warga yang tak bersalah....

Tapi mungkin saya tak akurat mengingat. Saya hidup di Indonesia sejak Republik I, tapi, ya, masa lalu seperti tes Rorschach: tetesan tinta yang tak jelas bentuknya di atas kertas pucat. Tiap kali kita mencoba memberi sosok, memberi makna, dan kita menatapnya dengan suasana hati yang kita rasakan hari ini.

History has many cunning passages, contrived corridors T.S. Eliot, “Gerontion”.

Goenawan Mohamad 

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

11 hari lalu

IMI dan RS Premiere Bintaro Kerja Sama di Bidang Layanan Kesehatan

RS Premiere Bintaro menyediakan berbagai fasilitas khusus untuk pemilik KTA IMI.


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

20 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


43 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

49 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.