Valentina Sagala
Pendiri Institut Perempuan dan penulis buku Ketika Negara Mengatur Kekerasan Seksual
Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia bersepakat mencabut Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dari Program Legislasi Nasional 2020. Dikeluarkannya rancangan ini dari Prolegnas mengundang kekecewaan publik.
Satu-satunya fraksi di DPR yang terang benderang menolak rancangan itu adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tak banyak yang memperhatikan bahwa Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga yang diusung kuat oleh partai tersebut dan mengundang gelombang penolakan justru mulus bertahan dalam Program Legislasi Nasional 2020.
Dari segi substansi, ada sejumlah alasan untuk menolak pencabutan rancangan itu. Pertama, jelas bahwa Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 28G, menjadi landasan filosofis kuat pentingnya rancangan itu. Ayat pertama pasal tersebut menyatakan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Ayat lain menyatakan setiap orang berhak terbebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Kedua, sebagai landasan sosiologis, catatan Komisi Nasional Perempuan menunjukkan bahwa, selama 2001-2012, sedikitnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap hari. Pada 2019 tercatat jumlah kasus kekerasan seksual mencapai 4.898. Situasi pandemi Covid-19 bahkan semakin menyadarkan masyarakat akan kerentanan perempuan mengalami kekerasan seksual.
Ketiga, kebanyakan dari kasus itu tidak dapat memperoleh keadilan melalui proses hukum lantaran tidak ada landasan hukum spesifik yang mengaturnya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, misalnya, belum mendefinisikan kekerasan seksual serta terbatas mengatur pemerkosaan dan perbuatan cabul. Sejalan dengan itu, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga belum menjawab kompleksitas kekerasan seksual, termasuk pembuktian dan perlindungan berperspektif korban. Ini jelas merupakan landasan yuridis kuat bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual amatlah mendesak.
Proses legislasi rancangan itu boleh dikatakan “panas”. Rancangan tersebut menjadi inisiatif DPR sejak 2017. Pada Juni 2017, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Presiden Nomor R.25/Pres/06/2017 yang menugasi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan rancangan itu.
Pembahasan antara panitia kerja komisi sosial DPR dan pemerintah sudah berlangsung tahun lalu, tapi rancangan “gagal” disahkan. Pada tahun yang sama, Presiden Jokowi mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2019 tentang amnesti untuk Baiq Nuril, korban pelecehan seksual yang dikriminalisasi. Sekilas dapat ditafsirkan bahwa Presiden meyakini ada “kekosongan hukum” dalam isu kekerasan seksual.
Tapi bagaimana dengan partai politik pendukung Presiden di DPR? Meski tak sampai pada pandangan fraksi, politik hukum pembahasan rancangan itu tidak “hitam-putih” antara fraksi pendukung dan penolak. Jika fraksi PKS merupakan satu-satunya fraksi yang menolak, bagaimana bisa mereka “memenangi” pertarungan yang berujung pada gagalnya rancangan itu disahkan? Padahal komposisi fraksi PKS dalam panitia kerja minim, yaitu hanya satu bangku sebagai wakil ketua dan satu bangku anggota dari total 26 anggota panitia.
Pada 27 November 2019, Komisi Sosial DPR berkirim surat kepada Badan Legislasi agar memasukkan rancangan itu menjadi prioritas tahun ini. Namun rancangan itu tidak masuk sebagai “carry over”. Artinya, pembentukannya kembali dari “nol”. Pada saat yang bersamaan, masyarakat dikagetkan oleh munculnya Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga yang masuk prioritas.
Apakah rancangan itu akan masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021? Laporan Singkat Rapat Koordinasi Badan Legislasi dengan pimpinan semua komisi dalam mengevaluasi Program Legislasi Nasional 2020 menyimpulkan bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual baru akan dipertimbangkan untuk masuk atau tidak dalam Program Legislasi Nasional 2021 pada Oktober 2020. Kesimpulannya, semua bergantung pada proses politik. Masyarakat perlu terus mengawalnya karena dalam situasi “panas” ini tak ada yang pasti.