Julio Achmadi
Anggota Perkumpulan SUAKA
Keraguan pemerintah Indonesia dalam menyelamatkan pengungsi Rohingya di kapal yang hampir tenggelam di perairan Aceh Utara merupakan buah ketidakpatuhan hukum terkait dengan penanganan pengungsi. Masyarakat sekitar mendesak pemerintah menyelamatkan mereka atas dasar kemanusiaan. Dalam situasi ini, pemerintah tidak boleh bersikap xenofobia dan diskriminatif terhadap pengungsi yang sedang berjuang hidup. Pemerintah harus menjunjung tinggi prinsip-prinsip internasional dan melakukan pendekatan kemanusiaan.
Kapal motor pengungsi Rohingya dikabarkan terlihat di perairan Pantai Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara, pada 24 Juni lalu. Kapal itu mengangkut 99 pengungsi Rohingya, yang terdiri atas 17 laki-laki dewasa, 48 perempuan dewasa, dan 34 anak-anak. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menobatkan pengungsi Rohingya sebagai kelompok minoritas yang paling dipersekusi di dunia. Persekusi itu sudah terjadi selama ratusan tahun. Pergerakan mereka meningkat pesat sejak terjadinya kekerasan masif di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, pada Agustus 2017.
Pada saat kapal pengungsi itu mendarat, pemerintah Aceh sempat menolaknya karena situasi pandemi Covid-19. Namun masyarakat setempat justru meminta pengungsi segera didaratkan atas dasar kemanusiaan. Setelah terjadi tarik-ulur, masyarakat akhirnya mengevakuasi para pengungsi.
Ketakutan pemerintah terhadap kedatangan pengungsi itu menunjukkan ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi arus pengungsi selama pandemi. Pemerintah terlihat masih mengutamakan pendekatan keamanan ketimbang kesehatan dan kemanusiaan. Ketakutan tersebut juga merupakan bukti ketidakpatuhan Indonesia terhadap hukumnya sendiri, yaitu Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri yang diterbitkan Presiden Jokowi pada Desember 2016. Aturan tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa pengungsi yang berada dalam keadaan darurat harus segera dipindahkan ke kapal penolong jika kapal akan tenggelam, dibawa ke daratan, dan diidentifikasi kebutuhan medisnya.
Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut dan Konvensi Internasional untuk Keselamatan Penumpang di Laut, yang mewajibkan negara anggota untuk menolong siapa pun yang berada dalam kesulitan di laut. Indonesia juga terikat dengan hukum kebiasaan internasional. Karena itu, rencana pengarungan kembali pengungsi Rohingya setelah kapal mereka diperbaiki harus dihindari karena akan melanggar prinsip non-refoulement (asas larangan pengembalian paksa) yang dikecam masyarakat internasional.
Sebagai satu-satunya produk hukum yang secara eksplisit mendefinisikan pengungsi dari luar negeri, peraturan presiden itu masih memiliki banyak kekurangan. Ia hanya mengatur teknis penanganan pengungsi yang meliputi proses penemuan, penampungan, pengamanan, dan pengawasan keimigrasian, tapi belum mengatur hak-hak pengungsi ketika berada di wilayah Indonesia. Peraturan itu juga belum memiliki aturan turunan berupa pedoman penanganan pengungsi dalam kondisi wabah, yang menjadi akar masalah pemerintah Aceh.
Pemerintah Aceh sebenarnya dapat merujuk pada undang-undang mengenai bencana dan kekarantinaan kesehatan serta berkoordinasi dengan gugus tugas penanganan Covid-19 untuk menangani pengungsi Rohingya. Pemerintah Aceh juga sudah berpengalaman dalam menerima arus pengungsi Rohingya, seperti yang terjadi pada 2015.
Pemerintah harus menerima fakta bahwa konflik di berbagai belahan dunia terus terjadi dalam situasi pandemi Covid-19, sehingga arus pengungsi diproyeksikan akan terus berlangsung. Indonesia perlu memaksimalkan kesiapannya dalam menghadapi tantangan global ini dan menjadi teladan di tingkat regional dengan melakukan serangkaian tindakan.
Pertama, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia perlu menerbitkan surat edaran tentang penanganan pengungsi dari luar negeri yang mengatur prinsip non-refoulement serta pemenuhan hak-hak dasar pengungsi di wilayah Indonesia dengan pendekatan kesehatan dan kemanusiaan. Kedua, Direktorat Jenderal Imigrasi perlu menerbitkan surat edaran tentang pedoman penanganan pengungsi dari luar negeri sebagai respons cepat terhadap kasus pengungsi Rohingya. Surat edaran ini dapat menjadi acuan teknis terkait dengan proses penerimaan, pendataan, pengidentifikasian kebutuhan medis, dan koordinasi dengan Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi PBB di Indonesia.
Ketiga, pemerintah Aceh segera mengimplementasikan aturan dalam peraturan presiden tadi dalam menangani pengungsi Rohingya, khususnya soal proses penampungan. Koordinasi harus dilakukan dengan kementerian/lembaga terkait, institusi hak asasi manusia, organisasi internasional, dan lembaga swadaya masyarakat untuk efektivitas penanganan.
Keempat, aturan-aturan turunan teknis dari peraturan presiden itu perlu dibuat oleh kementerian/lembaga terkait untuk mencegah kebingungan dalam penanganan pengungsi. Kelima, pemerintah harus menginisiasi pembuatan Undang-Undang tentang Pengungsi untuk menyesuaikan dengan konteks kebutuhan pengungsi yang berkembang pesat sebagai solusi jangka menengah-panjang. Keenam, pemerintah harus bekerja sama dengan masyarakat untuk menghindari stigmatisasi, diskriminasi, dan perilaku xenofobia terhadap pengungsi. Pendekatan kesehatan dan kemanusiaan harus diutamakan untuk menghindari konflik lebih lanjut.