Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Dua Paus

image-profil

Oleh

image-gnews
Iklan

Seorang paus dan seorang kardinal bertemu di antara pepohonan taman Castel Gandolfo. Di bulan April 2011, siang terik, juga di tempat tetirah para paus di luar Roma itu.

Kedua orang tua itu duduk di sudut yang teduh, kadang-kadang berjalan—dan selamanya berkonfrontasi.

Adegan film The Two Popes di kebun Italia abad ke-17 itu adalah poros karya sutradara Fernando Meirelles ini, yang tumbuh dari fragmen penting sejarah Gereja Katolik, ketika iman, kekuasaan, dan dosa bertaut.

Sang Kardinal berkata kepada sang Paus: “Seluruh Gereja kita kini membutuhkan pengampunan.”

“Selama tahun-tahun belakangan ini kita sibuk menertibkan mereka yang tak menyetujui kebijakan kita—tentang perceraian, keluarga berencana, mereka yang gay... sementara planet ini sedang dihancurkan dan ketimpangan sosial tumbuh seperti kanker....”

Baca Juga:

Anthony Hopkins sebagai Paus Benediktus dan Jonathan Pryce sebagai Kardinal Bergoglio membuat percakapan seperti itu tak berteriak, lebih seperti bunyi api dalam jerami. Dengan kemampuan seni peran yang mempesona, keduanya menghadirkan sejarah kehidupan yang berbeda, arah yang berseberangan.

Tapi dalam The Two Popes kita tak perlu melihat paus dan kardinal itu replika tokoh sejarah abad ke-21. Film ini tak mengundang kita melihat Hopkins sebagai rohaniwan angker yang dulu bernama Ratzinger dan Pryce sebagai kardinal yang rendah hati dari Buenos Aires.

Di layar itu yang kita temui seorang pemimpin agama di saat guncang: korupsi terbongkar dalam manajemen keuangan Takhta Suci, kasus pedofilia terbongkar di kalangan pastor. Vatikan seperti bukan lagi bagian dunia. Sementara itu, Paus Benediktus melihat Gereja, yang baginya suara “kebenaran yang universal”, dikepung “relativisme”.

Maka Gereja harus dijaga. Konon Stalin pernah mengejek: “Vatikan—berapa batalion tentara dia punya?” Tentu tak satu pun. Tapi Gereja sebuah kekuatan moral di tengah dunia yang dilecut persaingan senjata, kapital, dan teknologi. Apa jadinya jika umat dilanda keraguan?

Benediktus melihat, harus ada batas yang kukuh. Harus ada tembok.... Di pojok taman Gandolfo, ia tahu Kardinal Bergoglio tak menyukai itu.

Bergoglio: “Apakah Yesus membangun tembok? Wajah Yesus wajah pengampunan, dan pengampunan ibarat dinamit yang meruntuhkan tembok-tembok.”

Sebuah kontras. Benediktus adalah nada tunggal. Sejak muda ia lebih banyak bergaul dengan buku ketimbang manusia. Orang yang selalu makan malam sendirian ini tak kenal dunia yang beragam. Ia menyukai musik (malam itu ia memainkan karya Bedrich Smetana pada piano), tapi ia tak tahu bahwa tango sebuah tarian. Ia hanya bisa mencoba melucu dengan “humor Jerman”—yang diakuinya sendiri “tak harus jenaka”.

Bergoglio adalah antithesisnya. Ia dari negeri yang meriah, rumit, dan traumatis. Masa lalu Argentina dicederai kediktatoran, masa panjang digerogoti ketimpangan sosial.

Ia kesal agama Katolik tak bisa menjadi inspirasi baru. Ia ingin Gereja berubah, tapi Benediktus anggap berubah sama dengan berkompromi dengan dunia yang tak langgeng.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Anda pengkritik saya yang paling keras,” kata Paus.

Dilihatnya oposisi Bergoglio tak hanya kata-kata. Kardinal ini menolak tinggal di kediaman megah yang ditentukan Vatikan. Ia mengenakan sepasang boot tentara yang talinya mudah lepas, sementara Sri Paus sepatu cantik desain Zara. “Sepatu Anda juga sebuah protes,” kata Bapa Suci.

Tapi tak seluruh film ini kisah konfrontasi. Pelan-pelan ia menjadi kisah persahabatan. Benediktus tahu, orang Argentina ini tulus. Kehangatannya spontan. Ia tak menjaga jarak dari suster pengurus Istana, tukang kebun, penjaga pintu. Ia ikut berteriak-teriak seperti umumnya penonton pertandingan bola dan suka jajan pizza dari kedai.

Dan meskipun ia tak mendukung sikap Benediktus, tak ada dalam sikapnya yang dengan angkuh menghakimi.

Pelan-pelan orang yang duduk di Takhta Suci itu merenung. Dan di ruang dalam Kapela Sistina, ketika mereka kembali berdua, sang Paus mengatakan, “Saya tak menyetujui kebanyakan yang Anda katakan, tapi ada sesuatu....”

Ia tak selesaikan kalimatnya. Tapi kemudian ia ucapkan keputusannya: Gereja harus berubah, dan Bergogliolah yang akan membawanya. Ia sendiri akan mengundurkan diri; ia ingin Kardinal Argentina itu menjadi paus berikutnya.

Bergoglio menolak. Ia bukan orang yang tepat. Ada yang gelap di masa lalunya: di tahun 1970-an, untuk menjaga keselamatan gereja dan umat, ia bekerja sama dengan diktator militer yang baru mengambil alih kekuasaan. Ketika teman-teman Jesuitnya membuat gerakan untuk demokrasi, ia tak membantu. Mereka disergap, di antaranya dibunuh. Ia dituduh berkhianat, dan ia merasa berkhianat. Ia berdosa.

Dan baginya, “Dosa itu luka, bukan cuma noda.” Maaf saja tak cukup.

Ini tentu berlaku juga bagi Benediktus yang tak mengikis habis kejahatan seks di kalangan padri.

Dan kedua paus itu pun bertaut. Saya ingat baris sajak Soebagio Sastrowardojo: “Melalui dosa kita bisa dewasa.”

Kesadaran akan dosa diri tak menghapus dosa itu, tentu, tapi bisa menghapus perasaan paling suci dan ketakaburan, untuk lebih siap menjangkau, memeluk, mereka yang rapuh.

Pada 25 Maret 2016: Paus Fransiskus (d.h. Kardinal Bergoglio) membersihkan kaki imigran muslim yang terpaksa lari dari tanah airnya. Caritas in veritate. “Kebenaran vital bagi hidup, tapi tanpa cinta kasih, ia tak tertanggungkan,” kata orang baik dari Argentina itu.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

2 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


25 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

31 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.