Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Hak Asasi Tahanan Politik Papua

image-profil

image-gnews
Mahasiswa yang tergabung dalam Front Mahasiswa Bersatu menggelar aksi singkat usai persidangan gugatan praperadilan enam aktivis Papua di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 4 Desember 2019. Tempo/Adam Prireza
Mahasiswa yang tergabung dalam Front Mahasiswa Bersatu menggelar aksi singkat usai persidangan gugatan praperadilan enam aktivis Papua di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu, 4 Desember 2019. Tempo/Adam Prireza
Iklan

Usman Hamid
Pendiri Public Virtue dan Direktur Amnesty International Indonesia

Masyarakat Papua menghadapi tantangan serius selama pandemi Covid-19. Selain berjuang melawan virus mematikan itu, mereka mengalami ancaman dalam hal kebebasan berpendapat dan berekspresi. Meskipun hak asasi manusia dijamin oleh hukum, dalam praktiknya, pelanggaran terhadap hak untuk berkumpul secara damai terus terjadi. Salah satunya adalah pemenjaraan terhadap aktivis asal Papua yang memprotes insiden rasisme di Malang dan Surabaya pada Agustus tahun lalu.

Selama ini aparat keamanan sering menggunakan langkah-langkah represif, baik terhadap protes biasa maupun ekspresi politik aktivis pro-kemerdekaan. Mereka membubarkan protes damai, melakukan penangkapan massal, dan penuntutan berdasarkan pasal-pasal makar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal yang digunakan kebanyakan berdasarkan pasal-pasal kejahatan terhadap keamanan negara.

Berdasarkan penelitian Amnesty International, setidaknya 96 orang Papua telah ditangkap karena menggunakan hak mereka untuk berkumpul secara damai, berserikat, dan kebebasan berekspresi sehubungan dengan insiden rasisme di Malang dan Surabaya. Sayangnya, para pelaku insiden rasisme itu hanya divonis ringan, 5-10 bulan penjara. Adapun aktivis mahasiswa Papua, seperti Ferry Kombo dkk; atau aktivis politik Papua, seperti Buchtar Tabuni, Agus Kossay, dkk, justru dituntut dengan hukuman yang sangat berat.

Negara seharusnya memastikan bahwa polisi ada di Papua untuk melindungi hak mereka yang ingin berkumpul secara damai, tidak menggunakan kekuatan secara sewenang-wenang, apalagi menginjak-injak hak-hak itu. Menggunakan kekuatan berlebihan tidak dapat diterima dalam hukum internasional. Tidak seorang pun harus ditangkap semata-mata karena menjalankan hak asasi mereka secara damai.

Hak untuk kebebasan berkumpul dan berserikat dijamin untuk semua orang di Indonesia di bawah perjanjian hak asasi manusia internasional, seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Indonesia juga memiliki Undang-Undang Dasar 1945 beserta peraturan perundangan nasional yang melindungi asosiasi damai. Polisi juga memiliki peraturan internal yang meminta penghormatan terhadap hak asasi manusia, seperti Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Penerapan Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia untuk Polisi.

Sampai 8 Juni lalu, masih ada 44 tahanan politik dari Papua di balik jeruji besi, termasuk aktivis politik dan pembela hak asasi manusia. Mereka semua didakwa dengan pasal-pasal yang berbau pengkhianatan terhadap negara, yang diancam penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara. Pemerintah Indonesia, melalui perangkat kejaksaan, telah menggunakan ketentuan hukum pidana seperti ini untuk menuntut puluhan aktivis politik pro-kemerdekaan selama dekade terakhir.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika pemerintah sungguh-sungguh berkomitmen untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di Papua, atas nama kemanusiaan pemerintah harus membebaskan orang-orang Papua yang ada di penjara karena alasan politik. Pembebasan mereka menjadi penting karena, pada 25 Maret, Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, memperingatkan pemerintah tentang konsekuensi “bencana kesehatan” bagi tahanan. Peringatan ini juga dimaksudkan agar setiap negara dapat mengatasi kepadatan penjara dan kondisi penahanan yang buruk selama masa pandemi Covid-19.

Bachelet meminta agar tahanan politik masuk daftar pertama narapidana dan tahanan yang dibebaskan. Ini artinya negara diharapkan membebaskan semua tahanan hati nurani (prisoners of conscience), aktivis politik, pembela hak asasi manusia, dan lainnya yang dipenjara semata-mata karena menjalankan hak-hak mereka dengan damai. Mereka harus segera dibebaskan dan tanpa syarat.

Pemerintah harus membedakan orang yang secara damai mengadvokasi hak penentuan nasib sendiri dari mereka yang menggunakan kekerasan atau menggunakan ekspresi yang menghasut diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Ekspresi mereka adalah bagian dari hak atas kebebasan berpikir di masyarakat.

Atas seruan itu, pemerintah merespons dengan membebaskan lebih dari 30 ribu narapidana. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia benar saat menyatakan bahwa yang membuat pemerintah ingin membebaskan narapidana adalah padatnya lembaga pemasyarakatan karena kebijakan itu dapat meminimalkan risiko infeksi Covid-19 agar tak menjadi ancaman kesehatan bagi yang lain. Tapi mengapa tidak termasuk tahanan dan narapidana politik?

Ada ratusan orang berada di balik jeruji besi hanya karena menggunakan hak mereka untuk berekspresi dan berkumpul secara damai. Sekarang mereka dihadapkan pada risiko yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak dapat diterima oleh kesehatan mereka. Pemerintah harus memastikan agar mereka memiliki akses yang cepat ke layanan medis dan perawatan kesehatan dengan standar sama yang tersedia di masyarakat, termasuk pengujian, pencegahan, dan perawatan Covid-19. Melindungi hak tahanan nurani dalam hal kesehatan sama pentingnya dengan melindungi hak mereka atas kebebasan berekspresi.

Namun, yang tidak kalah penting, pemerintah sebaiknya menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap aktivis-aktivis yang mengangkat masalah Papua. Intimidasi, apalagi kriminalisasi berupa tindak penangkapan, hanya menambah sesak penjara dan membuat klaim-klaim pemerintah semakin kehilangan kredibilitas.

 
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

2 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

23 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


25 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

31 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

35 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

50 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

51 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.