Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Bahaya Nepotisme Politik

Oleh

image-gnews
Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KP2KKN) meluncurkan batik bermotif cicak-buaya di Semarang, Jumat (20/11). Batik tersebut diproduksi ountuk memberi semangat melawan korupsi. TEMPO/Budi Purwanto
Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KP2KKN) meluncurkan batik bermotif cicak-buaya di Semarang, Jumat (20/11). Batik tersebut diproduksi ountuk memberi semangat melawan korupsi. TEMPO/Budi Purwanto
Iklan

PRESIDEN Joko Widodo bisa saja berkilah bahwa pencalonan anak dan menantunya dalam pemilihan kepala daerah pada Desember mendatang tak melanggar peraturan apa pun. Dia bisa juga mengklaim bahwa majunya Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution dalam pemilihan wali kota Solo dan Medan bukanlah indikasi politik dinasti. Tapi, yang jelas, kemunculan sanak keluarganya dalam percaturan politik Indonesia merupakan rentetan termutakhir dari makin kentalnya nepotisme dalam sirkulasi elite di negeri ini.

Untuk soal satu ini, Jokowi tidak sendirian. Siti Nur Azizah, anak Wakil Presiden Ma’ruf Amin, juga maju dalam pemilihan Wali Kota Tangerang Selatan. Sebelumnya, anak Presiden Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, duduk di kursi menteri. Anak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono, sempat dicalonkan menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Menurut Yoes C. Kenawas, kandidat doktor ilmu politik di Northwestern University, Illinois, Amerika Serikat, saat ini ada 117 kepala dan wakil kepala daerah yang berasal dari dinasti politik. Mereka memenangi pemilihan kepala daerah serentak dalam lima tahun terakhir. Di Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024, ada 104 anggota Dewan yang memiliki ikatan kekerabatan dengan elite politik. Jumlah mereka yang fenomenal menunjukkan betapa dalamnya racun nepotisme telah menembus urat nadi politik kita.

Realitas ini sungguh memprihatinkan. Kita ingat, pada puncak Reformasi 1998, tuntutan utama gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang menumbangkan Presiden Soeharto adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketika itu, mahasiswa gerah melihat Orde Baru membangun kekuasaan selama 32 tahun dengan bantuan kroni dan keluarga elite. Mereka merusak semua tatanan politik, sosial, dan ekonomi Indonesia karena para elite ini naik ke puncak kekuasaan hanya berdasarkan koneksi kekerabatan, bukan kompetensi. Hasilnya adalah para pemimpin yang lebih suka menjilat ke atas dan abai terhadap kepentingan orang banyak.

Tuntutan menghentikan nepotisme itu sah dan relevan karena sejak awal Indonesia berdiri, 17 Agustus 1945, para pendiri negara ini sudah menyepakati bentuk pemerintahan republik. Dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, para tokoh bangsa menyadari pentingnya meletakkan kepentingan publik di atas segala-galanya. Mohammad Yamin, misalnya, mengatakan, dalam sebuah negara republik, kepentingan rakyat harus diutamakan, bukan para pejabat dan elite politik. Nepotisme yang makin mengakar dalam peta politik kita belakangan ini jelas melanggar prinsip dasar bernegara tersebut.

Baca Juga:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Harus diakui, kondisi ini terjadi akibat banyak faktor yang berkaitan. Namun kesalahan terbesar ada pada partai politik yang gagal membentuk diri menjadi organisasi modern yang menerapkan asas meritokrasi. Hampir semua partai politik Indonesia amat bergantung pada figur personal di semua level, dari daerah hingga pusat. Para politikus kawakan ini menjadi patron yang membuka jalan bagi suami, istri, anak, menantu, besan, dan kemenakan untuk menguasai jabatan-jabatan publik.

Ini diperparah budaya politik lama yang masih kuat bercokol di benak para pemilih kita. Khalayak ramai dimanipulasi agar lebih percaya kepada tokoh daripada sistem. Pemimpin partai bisa menjabat sampai bertahun-tahun tanpa pengganti karena dianggap memiliki karisma menggalang massa, menjembatani berbagai faksi yang bersaing, dan mendanai partai. Akibatnya, seperti virus corona, nepotisme terus viral, tak mati-mati.

Ada yang mengatakan nepotisme politik adalah konsekuensi demokrasi. Dalam sistem ini, setiap orang berhak mencalonkan diri sebagai pemimpin, siapa pun orang tuanya. Amerika Serikat, Filipina, Jepang, dan India sering dikutip sebagai contoh negara demokrasi dengan problem dinasti politik yang serupa. Argumentasi itu tak sepenuhnya benar. Banyak riset menunjukkan daerah yang dikuasai terus-menerus oleh pemimpin dari keluarga yang sama cenderung mundur, tidak akuntabel, dan pencapaiannya buruk. Ketika rotasi elite menjadi tertutup dan kompetisi politik dimonopoli, rakyat kehilangan kuasa untuk menghukum pemimpin yang menyeleweng. Demokrasi kehilangan esensinya.

Karena itu, Presiden Jokowi dan para pemimpin politik di Indonesia perlu menyadari ini: negara bukanlah perusahaan keluarga. Demokrasi membutuhkan keterlibatan semua kalangan. Nepotisme yang merajalela tak hanya merusak sistem politik, tapi juga memperburuk kualitas kerja pemerintah. Pada akhirnya yang dirugikan adalah kita semua: rakyat jelata di negeri ini.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.