Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sidang Sandiwara Penyerangan Novel

image-profil

Tempo.co

Editorial

image-gnews
Penyidik senior KPK, Novel Baswedan saat bersaksi dalam sidang kasus penyiraman air keras terhadapnya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis, 30 April 2020. Akibat penyerangan tersebut mata kiri Novel sudah mengalami kebutaan total, sementara pengelihatan di mata kanannya di bawah 50 persen. TEMPO/M Taufan Rengganis
Penyidik senior KPK, Novel Baswedan saat bersaksi dalam sidang kasus penyiraman air keras terhadapnya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis, 30 April 2020. Akibat penyerangan tersebut mata kiri Novel sudah mengalami kebutaan total, sementara pengelihatan di mata kanannya di bawah 50 persen. TEMPO/M Taufan Rengganis
Iklan

Tuntutan rendah jaksa kepada terdakwa penyerang Novel Baswedan semakin menunjukkan ketidakseriusan penegak hukum dalam mengungkap kasus ini. Majelis hakim semestinya tidak terpaku pada tuntutan itu untuk mengambil keputusan.

Sejak terjadinya penyerangan tiga tahun lalu, aparat seolah-olah tak berdaya menemukan pelaku yang telah menghilangkan sebagian besar penglihatan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi itu. Ketika akhirnya dua tersangka pelaku "ditemukan"-disebutkan menyerahkan diri-drama tak juga berakhir. Merekalah, Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis, anggota Brigade Mobil Kepolisian, yang kemudian diajukan sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Rahmat dan Rony mengatakan merasa dendam terhadap Novel yang disebutnya telah berkhianat kepada institusi. Novel dulu merupakan anggota kepolisian yang beralih status menjadi pegawai komisi antikorupsi dan kemudian banyak mengungkap kasus korupsi di bekas institusinya. Jaksa menuntut mereka dengan hukuman 1 tahun penjara.

Jaksa menuntut ringan keduanya dengan alasan mereka tak sengaja menyiram muka Novel. Terdakwa yang pergi ke Jakarta Utara dari Markas Brimob di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, pada pagi buta itu disebutkan berniat menyiramkan cairan ke badan Novel, bukan ke wajah. Karena itu, menurut jaksa, perbuatan terdakwa tak memenuhi unsur-unsur dakwaan primer penganiayaan berat. Jaksa juga mengikuti keterangan kedua terdakwa yang mengaku bertindak karena dendam pribadi.

Tuntutan ringan jaksa jauh dari rasa keadilan buat korban dan masyarakat. Sebagai penyidik kasus-kasus kakap korupsi, Novel pasti mengandalkan kekuatan penglihatan dalam pekerjaannya. Mata merupakan salah satu senjata utamanya untuk memerangi kejahatan kerah putih itu. Serangan yang membutakan matanya itu jelas pukulan terberat, tak hanya buat Novel, tapi juga bagi usaha memerangi korupsi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jaksa bahkan mengabaikan akal sehat. Dalih bahwa serangan tak dimaksudkan untuk mengincar mata Novel tidak masuk logika banyak orang. Tak aneh jika di media sosial ramai olok-olok yang mempertanyakan tuntutan itu, termasuk dari kalangan pesohor. Jaksa pun mengabaikan terdakwa yang merupakan anggota kepolisian sebagai unsur pemberat. Dengan status terdakwa sebagai penegak hukum yang semestinya bertugas melindungi warga negara, tuntutan hukumannya seharusnya lebih berat. Apalagi, korbannya juga aparat hukum.

Tuntutan ringan itu menambah panjang daftar keanehan persidangan. Meskipun terdakwa disebut bertindak atas nama pribadi, institusi menyediakan tim penasihat hukum yang dipimpin seorang perwira tinggi bintang satu alias brigadir jenderal. Di persidangan, jaksa juga lebih banyak mencecar keterangan saksi-saksi, termasuk Novel sebagai saksi korban. Penuntut bertindak menyerupai pembela terdakwa.

Majelis hakim selayaknya menilai lebih obyektif keterangan saksi. Mereka perlu menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada tuntutan jaksa jika meyakini bahwa terdakwa betul-betul pelaku penyerangan. Sebaliknya, mereka tidak perlu ragu membebaskan terdakwa jika ternyata keterangan saksi tidak cukup meyakinkan bahwa mereka pelaku sebenarnya.

Dalam hal ini, pemerintahan Joko Widodo perlu membentuk tim independen untuk menyelidiki kasus penyerangan. Tuntutan ini tak pernah dipenuhi Jokowi, yang lebih mempercayakannya kepada kepolisian. Padahal, waktu membuktikan, penyelidikan lembaga itu jauh dari harapan masyarakat banyak.

 
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

1 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

22 hari lalu

Menhub Buka Posko Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi secara resmi membuka Pos Koordinasi (Posko) Pusat Angkutan Lebaran Terpadu 2024 di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, Jakarta.


24 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

30 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

34 hari lalu

UKU dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menggelar konferensi pers di The Acre, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 21 Maret 2024. TEMPO/Savero Aristia Wienanto
AFPI Sebut Mahasiswa Jadi Salah Satu Peminjam Dana Fintech Lending, untuk Bayar UKT hingga Penelitian

Mahasiswa disebut menjadi salah satu peminjam di fintech lending.


DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

49 hari lalu

Badan Anggaran (Banggar) bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) kembali membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2024 di Ruang Rapat Paripurna, DPRD DKI Jakarta, Senin, 30 Oktober 2023. Tempo/Mutia Yuantisya
DPRD DKI Jakarta Gelontorkan Rp 3 M untuk Seragam Dinas, Sekwan: Ada Pin Emas

DPRD DKI Jakarta kembali menggelontorkan anggaran miliaran untuk pengadaan baju dinas dan atributnya. Tahun 2024 bahkan anggarannya naik menembus Rp 3 miliar.


Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

50 hari lalu

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memberikan pidato politiknya secara virtual pada acara HUT ke-12 Partai Nasdem di NasDem Tower, Jakarta, Sabtu 11 November 2023. HUT tersebut mengambil tema
Pastikan Dukung Hak Angket, NasDem: Menunggu Penghitungan Suara Selesai

NasDem memastikan bakal mendukung digulirkannya hak angket kecurangan pemilu di DPR. Menunggu momen perhitungan suara rampung.


H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

15 Februari 2024

Pekerja mengangkut beras di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Senin, 5 Januari 2024. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memastikan persediaan bahan pokok, terutama beras, cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menjelang Ramadan 1445 Hijriah. TEMPO/Tony Hartawan
H+1 Pemilu, Bulog Salurkan Lagi Bansos Beras

Bayu Krisnamurthi memantau langsung penyaluran bansos beras di Kantor Pos Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat pada Kamis, 15 Februari 2024.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.