Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Ilusi Penyederhanaan Partai

image-profil

Tempo.co

Editorial

image-gnews
Iklan

Demokrasi Indonesia bakal tambah terpuruk bila ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 7 persen. Apalagi jika praktik ini diikuti penerapan sistem pemilihan proporsional tertutup pada Pemilihan Umum 2024. Menaikkan ambang batas parlemen mungkin terkesan mulia, yakni untuk mengurangi jumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi bahaya besar justru mengancam: hegemoni partai besar kian menjadi-jadi.

Tak dapat disangkal, sistem proporsional tertutup bakal menghapus peluang rakyat memilih calon legislator sesuai dengan keinginan. Musababnya, kandidat terpilih bukan lagi ditentukan oleh suara terbanyak, melainkan berdasarkan nomor urut.

Baca Juga:

Sejumlah partai besar di parlemen yang dimotori Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golkar kini paling bersemangat memasukkan usul tersebut dalam draf Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum. PDIP menyebut penaikan ambang batas dan penerapan sistem proporsional tertutup merupakan rekomendasi rapat kerja nasional pada Januari lalu. PDIP menjadi pemenang Pemilu 2019 dengan perolehan suara 19,33 persen. Sedangkan Golkar berada di peringkat ketiga dengan perolehan suara 12,31 persen di belakang Partai Gerindra (12,57 persen). Selanjutnya, Partai Kebangkitan Bangsa memperoleh suara 9,69 persen, NasDem 9,05 persen, Partai Keadilan Sejahtera 8,21 persen, dan Partai Demokrat 7,77 persen.

RUU Pemilu itu menyebutkan partai politik harus memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 7 persen dari jumlah suara sah nasional untuk bisa ikut dalam penentuan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Padahal, ambang batas yang pukul rata alias flat threshold itu telah ditolak Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012. MK menilai hal itu bertentangan dengan kedaulatan, hak politik, dan rasionalitas rakyat yang memiliki kekhasan politik beragam di setiap daerah. Selain itu, praktik ini bertentangan dengan tujuan pemilu, yakni memilih wakil rakyat secara bebas dari pusat hingga daerah.

Alasan partai penggagas, bahwa ambang batas parlemen berguna untuk menyederhanakan sistem kepartaian, tidak terbukti. Pemilu 2019, yang menaikkan ambang batas parlemen dari 3,5 persen menjadi 4 persen, pun tidak mampu menyederhanakan partai. Argumentasi penyederhanaan partai demi mencapai pemerintahan presidensial yang efektif juga keliru. Pengalaman Orde Baru menjadi buktinya, bahwa perubahan dari multipartai menjadi tiga partai politik justru menjerumuskan Indonesia ke dalam kubangan politik otoritarian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sistem kepartaian yang sederhana sekalipun tidak menjamin pemerintahan presidensial berjalan efektif. Pengalaman Amerika Serikat, dari Presiden Gerald Ford pada 1976 hingga Presiden Donald Trump pada Desember 2018, menunjukkan bahwa sistem partai sederhana itu pun dapat menemui jalan buntu saat hendak menyepakati anggaran untuk kegiatan operasional pemerintahan. Walhasil, lantaran Kongres gagal menyepakati anggaran, pemerintahan Negeri Abang Sam itu pernah terpaksa ditutup alias dilakukan government shutdown.

Alih-alih membuat konstelasi politik di parlemen menjadi lebih baik, penyederhanaan jumlah partai yang menyisakan partai-partai besar itu berpotensi menciptakan oligarki kekuasaan. Demokrasi kita terancam kehilangan makna ketika partai dengan mudahnya berubah sesuai dengan arah angin.

Ketika partai-partai politik tidak lagi menghargai suara pemilih, bahkan menyia-nyiakannya, mereka bakal gampang mengabaikan aspirasi konstituen. Akibatnya, muncul politik yang terasing dari rakyat karena lebih melayani kekuatan oligarki. Bila oligark politik dan ekonomi telah menguasai partai-partai besar tersebut, mereka akan dengan mudahnya menyetir produk hukum yang menguntungkan mereka saja. Kita harus mencegah setiap upaya melegalisasi perilaku kartel politik dan oligarki seperti itu.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


21 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

28 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.


Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

15 Januari 2024

Mantan Menkominfo Johnny G. Plate divonis 15 tahun penjara setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Mei 2023 dalam kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan Kemenkominfo. Johnny bersama sejumlah tersangka lainnya diduga melakukan pemufakatan jahat dengan cara menggelembungkan harga dalam proyek BTS dan mengatur pemenang proyek hingga merugikan negara mencapai Rp 8 triliun. TEMPO/M Taufan Rengganis
Bancakan Proyek Sengkarut Nasional

PPATK menemukan 36,67 persen aliran duit dari proyek strategis nasional mengalir ke politikus dan aparatur sipil negara. Perlu evaluasi total.