Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sia-sia Revisi Mahkamah Konstitusi

Oleh

image-gnews
Ketua Hakim Mahakamah Konstitusi Anwar Usman (tengah saat memimpin sidang penetapan syarat pemilih dalam pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu, 29 Januari 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat
Ketua Hakim Mahakamah Konstitusi Anwar Usman (tengah saat memimpin sidang penetapan syarat pemilih dalam pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu, 29 Januari 2020. TEMPO/Muhammad Hidayat
Iklan

DEWAN Perwakilan Rakyat tak pernah kehilangan hal konyol. Kali ini, “wakil-wakil rakyat” itu menggagas hal tak penting: revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Langkah politik Senayan ini jauh dari persoalan berat yang sedang dihadapi rakyat banyak akibat wabah corona.

Kesia-siaan itu diawali pada 2 April lalu. Dewan menyetujui pembahasan hak inisiatif untuk mengubah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Padahal pengusulnya hanya satu orang, yakni Supratman Andi Agtas dari Partai Gerindra. Pembahasan akan dimulai begitu Presiden mengirim perwakilan pemerintah.

Inisiatif Supratman, yang juga Ketua Badan Legislasi DPR, menyasar 14 perubahan. Revisi itu bisa dikelompokkan ke dalam tiga poin isu: masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK, usia minimal hakim konstitusi, serta masa jabatan hakim konstitusi. Pasal 4 Rancangan Undang-Undang MK merevisi aturan masa jabatan ketua dan wakil ketua dari dua setengah tahun menjadi lima tahun. Rancangan hasil revisi meningkatkan usia minimal calon hakim konstitusi dari 47 menjadi 60 tahun.

Menurut rancangan yang sama, masa jabatan hakim konstitusi yang berusia minimal 60 tahun langsung berlanjut hingga sepuluh tahun. Undang-Undang MK yang berlaku saat ini menyebutkan masa jabatan hakim konstitusi adalah lima tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

Usul perubahan tersebut tak substansial. Apalagi umur dan masa jabatan tak berkorelasi dengan integritas dan kapasitas hakim. Di sejumlah negara, syarat minimal hakim konstitusi justru berada di kisaran 35-45 tahun. Di Jerman, misalnya, hakim MK rata-rata berusia 48-53 tahun. Islandia malah mensyaratkan umur minimal hakim konstitusi 30 tahun.

Baca Juga:

Persetujuan pleno DPR terhadap usul revisi ini mengundang syak wasangka. Sebab, revisi undang-undang MK tak masuk Program Legislasi Nasional 2020. Publik punya pengalaman pahit ketika DPR menjalankan prosedur serupa dalam merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Alih-alih memperkuat, langkah politik itu menghabisi komisi antikorupsi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sejumlah kecurigaan pun muncul. Dewan terlihat sedang memberikan gula-gula kepada hakim-hakim konstitusi. Bisa jadi, tujuannya agar lembaga itu berutang budi sehingga tak membatalkan undang-undang produk legislasi DPR bila ada yang meminta uji materi.

Apalagi MK sedang menyidangkan uji formal Undang-Undang KPK. Tak lama lagi, MK akan menerima gugatan terhadap Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang disahkan DPR pada Selasa, 12 Mei lalu. Undang-undang ini akan digugat kelompok masyarakat sipil karena dinilai sarat aturan yang merugikan warga yang terkena dampak pertambangan.

Perlu disebutkan, revisi Undang-Undang MK bukanlah persoalan tabu. Perubahan bisa dilakukan sepanjang memperkuat lembaga itu. Revisi bisa dilakukan dengan, misalnya, memberikan kewenangan tambahan bagi lembaga itu agar bisa menangani pengaduan konstitusional atau constitutional complain. Selama ini, kewenangan MK hanya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan menangani sengketa pemilihan umum. MK juga berwenang memutus sengketa antarlembaga negara dan pembubaran partai serta memberikan putusan pemakzulan kepada presiden atas usul DPR.

Pengaduan konstitusional ini penting untuk melindungi hak asasi warga negara yang dirugikan kebijakan negara. Misalnya Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Jaksa Agung yang merugikan hak asasi penganut Ahmadiyah. Penganut Ahmadiyah tak bisa mengajukan permohonan uji materi ke MK meski kebijakan itu jelas-jelas melanggar hak asasi.

MK merupakan salah satu hasil reformasi 1998. Alih-alih melemahkannya, revisi undang-undang sudah semestinya memperkuat lembaga tersebut.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

2 hari lalu

Sertijab Pj Bupati Musi Banyuasin
Apriyadi Siap Dukung Pj Bupati Muba Sandi Fahlepi

Sandi mengajak semua elemen yang ada di Kabupaten Muba bahu membahu secara berkeadilan, setara dan transparan.


25 hari lalu


Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

31 hari lalu

Ilustrasi perang sosial media. / Arsip Tempo: 170917986196,9867262
Hibah untuk Keberlanjutan Media yang Melayani Kepentingan Publik

Tanggung jawab negara dalam memastikan jurnalisme yang berkualitas di Tanah Air perlu ditagih.


Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

12 Februari 2024

Penjabat Bupati Banyuasin Sidak Pusat Pelayanan Terpadu Citra Grand City

Hani Syopiar mengapresiasi tenaga kesehatan yang bertugas selama libur panjang.


Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

12 Februari 2024

Cuplikan film Dirty Vote. YouTube
Urgensi Kontranarasi dari Film Dokumenter "Sexy Killer" dan "Dirty Vote"

Layaknya "Sexy Killer", "Dirty Vote" layak diacungi jempol. Substansi yang dihadirkan membuka mata kita tentang kecurangan dan potensi-potensi kecurangan elektoral secara spesifik, yang boleh jadi terlewat oleh kesadaran umum kita.


PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

6 Februari 2024

PT Pegadaian Dukung Sertifikasi Halal bagi Pedangang Mie Bakso Yogyakarta

PT Pegadaian berkolaborasi dengan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) serta Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Ashfa Yogyakarta untuk memfasilitasi proses sertifikasi halal.


Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

5 Februari 2024

Ferdinand
Bagaimana Bongbong Memenangkan Pilpres Filipina

Kemenangan Bongbong, nama beken dari Ferdinand Marcos Jr. sering dikaitkan dengan penggunaan media sosial seperti Tiktok, Instagram dan Facebook secara masif, selain politik gimmick nir substansi berupa joget-joget yang diperagakan Bongbong.


Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

22 Januari 2024

Bamsoet: Implementasikan Nilai Pancasila demi Pemilu Damai

Ajakan mengimplementasikan nilai Pancasila ditegaskan kepada kader Pemuda Pancasila Banjernegara.


Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

15 Januari 2024

Tangkapan layar tayangan video Tempo.co berisi kampanye Prabowo Subianto di Riau, Pekanbaru, Selasa, 9 Januari 2024.
Prabowo dan Fenomena Akumulasi Penguasaan Tanah di Indonesia

Pernyataan Prabowo soal HGU yang kuasainya disampaikan tanpa terkesan ada yang salah dengan hal tersebut. Padahal Undang-Undang 1/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memandatkan hal yang berbeda.


Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

15 Januari 2024

Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) dan Wakil Ketua MK Aswanto (tengah) meninggalkan ruang sidang seusai mengikuti sidang pleno penyampaian laporan tahun 2019 di Gedung MK, Jakarta, Selasa 28 Januari 2020. Sejak berdiri pada tahun 2003 hingga Desember 2019 MK telah menerima sebanyak 3.005 perkara. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Membatalkan Hasil Pilpres sebagai Keniscayaan

Kita menunggu Mahkamah Konstitusi mewariskan putusan yang berpihak kepada hukum dan kebenaran, karena kalau hukum tidak ditegakkan, maka tirani yang akan leluasa merusak harkat dan mertabat bangsa Indonesia.