PEMERINTAH seharusnya konsekuen dengan kebijakannya menghentikan penularan Covid-19. Saat ini wabah virus corona belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Melonggarkan aktivitas masyarakat untuk menggerakkan kembali perekonomian justru bisa membuat keadaan makin buruk.
Di DKI Jakarta memang ada perkembangan bagus. Kurva kasus Covid-19 melandai sejak pekan ketiga April lalu. Tapi Ibu Kota masih jauh dari aman. Kurva hanya melandai sedikit di bawah puncak, dengan kasus baru Covid-19 masih sekitar 100 orang per hari. Di sejumlah provinsi lain, kurvanya bahkan terus menanjak.
Dengan penularan yang masih tinggi, pemerintah semestinya makin ketat menerapkan aturan guna menekan wabah. Faktanya, pemerintah malah mengizinkan orang berusia 45 tahun ke bawah kembali bekerja. Pemerintah pun melonggarkan aturan transportasi publik dengan dalih untuk perjalanan dinas. Masalahnya, seperti temuan Ombudsman, pengecekan oleh petugas di lapangan masih longgar. Syarat bepergian pun bisa diakali.
Aturan yang tidak konsisten tersebut merupakan buah dari pertimbangan pejabat yang tidak kompeten. Sering kali pula para pejabat memberikan keterangan yang berbantahan. Ada juga “bermain” kata-kata untuk menganulir kebijakan sebelumnya. Wajar jika masyarakat menjadi apatis, bahkan sinis. Kekesalan mereka terhadap kebijakan yang mencla-mencle sampai melahirkan ungkapan “Indonesia terserah”, yang viral di media sosial.
Keliru besar jika pemerintah latah melihat pengenduran pembatasan sosial, seperti di Selandia Baru, Jerman, Thailand, ataupun Vietnam. Mereka membuka lagi aktivitas ekonominya setelah menerapkan restriksi sosial yang ketat. Di negara-negara itu, wabah pun telah mereda. Selandia Baru, contohnya, memberlakukan keadaan “normal baru” setelah menerapkan karantina wilayah total selama dua bulan serta tak ada lagi kasus baru Covid-19 sejak akhir April lalu.
Di negara-negara yang telah melewati puncak pagebluk, data dan otoritas medis menjadi panglima. Kebijakan pemerintah mengacu pada pertimbangan tersebut. Protokol ketat pun dijalankan agar penularan virus terputus. Masyarakat patuh karena pemerintahnya tidak plinplan.
Sedangkan di Indonesia, pemerintah belum optimal meredakan pandemi. Apalagi ancaman wabah gelombang kedua masih mengintai. Di negara semaju Prancis, contohnya, setidaknya 70 anak terinfeksi virus corona hanya dalam sepekan sejak sekolah dibuka lagi. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi di negeri ini jika gelombang kedua wabah itu datang.
Bahkan jika kurva penularan corona sudah melandai, sejumlah syarat untuk memberlakukan keadaan “normal baru” harus terpenuhi. Pemerintah seharusnya memastikan sistem kesehatan benar-benar siap untuk mengantisipasi lonjakan angka kasus baru. Pemerintah juga perlu menyiapkan panduan beraktivitas dalam situasi “normal baru” tersebut. Pelonggaran pun seharusnya tak berlaku nasional, melainkan berbasis kondisi epidemiologis suatu daerah.
Karena belum memenuhi syarat pelonggaran, pemerintah jangan tergesa-gesa mengendurkan pembatasan sosial. Membenturkan kepentingan ekonomi dan kesehatan terlalu menyederhanakan persoalan. Bagaimanapun, kesehatan masyarakat harus didahulukan. Jika pandemi berhasil ditekan, pulihnya perekonomian akan mengikuti. Sebaliknya, pelonggaran ketika wabah masih merajalela tidak menjamin perekonomian akan sembuh.*