Bagong Suyanto
Guru Besar Sosiologi Ekonomi Universitas Airlangga
Pandemi Covid-19 tidak hanya mengancam keselamatan jiwa, tapi juga menimbulkan efek domino yang mengancam aktivitas produksi, pemutusan hubungan kerja (PHK), serta kemiskinan yang makin luas dan dalam. Jumlah pekerja yang dirumahkan dan terkena PHK dilaporkan terus bertambah. Di berbagai daerah, sejumlah pabrik berhenti beroperasi atau paling tidak aktivitas produksinya turun drastis gara-gara tidak ada lagi permintaan pasar.
Industri manufaktur, yang selama ini menampung banyak pekerja, kini tidak sedikit yang tersungkur. Indeks Manajer Pembelian Manufaktur Indonesia anjlok, dari 45,3 pada Maret 2020 menjadi 27,5 pada April. Ini berarti ancaman gelombang PHK dari sektor perekonomian sudah di depan mata. Sekitar 15 juta pekerja diperkirakan menjadi korban wabah yang terus merajalela.
Wabah diperkirakan (dan diharapkan) akan berakhir pada akhir Juli nanti. Namun pekerjaan rumah yang berat dan justru menanti pasca-wabah adalah bagaimana memulihkan ekonomi dan reformasi sosial agar kehidupan masyarakat kembali normal.
Hingga pertengahan April lalu, jutaan orang telah dirumahkan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat 2-3,7 juta pekerja kehilangan mata pencarian. Hingga awal Mei, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 3 juta orang dirumahkan dan dipecat. Adapun pekerja sektor informal yang terkena dampak wabah sebanyak 314.833 orang. Terlepas dari data mana yang digunakan, bisa dipastikan muncul orang-orang miskin baru dan orang-orang miskin yang mengalami pendalaman kemiskinan karena imbas wabah.
Tidak sedikit pekerja pabrik, karyawan swasta, dan pelaku usaha lainnya yang turun status menjadi orang miskin baru gara-gara wabah. Mereka tidak saja kehilangan pekerjaan, tapi juga penyangga ekonomi keluarga, baik dalam bentuk tabungan, modal, maupun aset produksi.
Kita semua tahu bahwa momen menjelang perayaan Idul Fitri biasanya menjadi masa panen dan berkah bagi warga masyarakat. Namun, pada masa pandemi ini, kemungkinan masyarakat memperoleh tambahan penghasilan, tunjangan hari raya (THR), dan keuntungan lain tiba-tiba pupus. Jangankan berharap mendapat tambahan keuntungan atau THR, untuk mempertahankan usaha dan pekerjaan pun tampaknya sudah tidak mungkin dilakukan.
Saat ini, di kebanyakan keluarga, sisa-sisa dana yang masih dimiliki umumnya hanya cukup untuk bertahap hidup. Bahkan tidak sedikit keluarga yang menjadi korban PHK dan terkena dampak langsung Covid-19 telah terperangkap dalam jeratan utang yang kronis.
Meski belum jelas kapan pandemi Covid-19 berakhir, pemerintah telah merancang dan menyiapkan skenario untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi tahun depan. Pada 2021, pemerintah menargetkan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 4,5-5,5 persen. Pemerintah juga menetapkan defisit anggaran tahun depan hanya di kisaran 3,21-4,17 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara itu, rasio perpajakan juga dipatok hanya 8,25-8,63 persen, jauh lebih rendah daripada tax ratio ideal yang biasanya dipatok 15 persen.
Sejauh mana skenario dan upaya yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan kondisi perekonomian bakal berhasil tentu bergantung pada banyak hal. Disadari bahwa proses agar aktivitas perekonomian kembali pulih bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan waktu. Upaya untuk memulihkan kembali produktivitas, akselerasi industri substitusi impor, peningkatan ekspor, promosi produk dalam negeri, dan lain-lain tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Ada dua hal yang menjadi dilema.
Pertama, kebutuhan untuk mengedepankan efisiensi agar aktivitas perekonomian dapat segera kembali pulih ataukah lebih menekankan pengembangan sektor padat karya niscaya akan menjadi pilihan yang tidak mudah. Di tengah banyak pekerja yang menjadi korban PHK dan kehilangan mata pencarian, pengembangan sektor padat karya akan membantu para penganggur dan korban PHK dapat lebih cepat mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. Namun mendahulukan penyerapan tenaga kerja melalui sektor padat karya tentu berisiko memperlambat pengembangan aktivitas produksi yang efisien dan menguntungkan.
Kedua, pilihan dilematis antara memanfaatkan dana stimulus untuk mendorong pengembangan usaha produktif dan lebih banyak memanfaatkan anggaran pembangunan untuk meneruskan program jaring pengaman sosial. Selama wabah berlangsung, bisa dipastikan jumlah masyarakat yang menjadi korban dan terkena dampak sangat besar. Mereka tentu membutuhkan program jaring pengaman sosial yang sifatnya langsung. Masalahnya, ketika dana pembangunan lebih dimanfaatkan untuk dana santunan guna membantu masyarakat miskin, tentu implikasinya adalah pos dana untuk mendorong pemulihan aktivitas usaha produktif menjadi terhambat.
Berbagai pilihan dilematis antara memanfaatkan dana pembangunan untuk program revitalisasi dunia usaha dan program populis yang berfungsi memperpanjang daya tahan masyarakat menghadapi tekanan krisis tentu memiliki konsekuensi yang berbeda. Ibarat orang yang tengah berdiri di simpang jalan, ke mana rute yang akan ditempuh sebaiknya dipikirkan masak-masak. Parameter yang seyogianya dijadikan acuan adalah sejauh mana rute yang dipilih benar-benar menempatkan masyarakat sebagai subyek dan prioritas utama.