Pandemi corona, yang diikuti dengan berbagai pembatasan sosial, telah memukul semua sektor ekonomi. Tak terkecuali, guncangan dirasakan industri pers. Pendapatan hampir semua penerbit media massa tergerus.
Dalam situasi ini, negara sudah sepatutnya memberi penopang agar pers bisa berlanjut. Kita tahu, di tengah membanjirnya kabar kibul alias hoaks, fungsi pers untuk menyediakan informasi terverifikasi sangatlah penting dalam kehidupan bernegara.
Pukulan bagi industri pers terlihat dari hasil survei Serikat Perusahaan Pers (SPS). Di situ disebutkan, pendapatan 38 persen dari 44 anggota asosiasi ini turun sampai 60 persen. Bahkan sebagian di antaranya terkena dampak lebih dalam lagi. Serikat menyebutkan pembatasan sosial menurunkan pendapatan sirkulasi media cetak. Pembatasan juga menghilangkan acara-acara tatap muka, seperti seminar, yang bisa mendatangkanpemasukan tambahan bagi perusahaan media.
Pendapatan perusahaan pers dari sisi iklan juga menurun tajam. Hampir semua instansi pemerintah dan perusahaan swasta mengurangi alokasi belanja iklannya. Padahal mayoritas perusahaan media masih mengandalkan pemasukan dari iklan. Masuk akal jika Dewan Pers dan organisasi konstituennya mendorong pemerintah memberi insentif kepada industri pers.
Namun permintaan Dewan Pers itu memancing cibiran dari sejumlah kelompok. Mereka bertanya dengan nada sengit: mengapa pers yang selalu mengkritik pemerintah "merengek" bantuan dalam kesulitan? Cibiran itu seolah-olah benar, tapi gampang dipatahkan. Pertama, pemerintah sebenarnya hanya salah satu dari elemen negara. Kedua, kritik terhadap pemerintah sebagai pelaksanaan salah satu fungsi persdilakukan demi kehidupan bernegara yang baik. Kewajiban memberi insentif ada pada negara, yang memerlukan pers sehat.
Tentu, bukan berarti negara perlu mengistimewakan industri pers di tengah kesulitan banyak orang ini. Negarayang diwakili pemerintahpun wajib memberi kemudahan kepada sektor-sektor lain yang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak. Industri kecil semacam usaha mikro dan kecil, yang jelas terpukul pandemi, sudah selayaknya mendapat perlindungan maksimal.
Praktik semacam itu juga dijalankan pemerintah negara lain. Sejumlah negara memberi aneka kemudahan untuk media massa. Pemerintah Selandia Baru mengalokasikan 25 juta pound sterling untuk membantu industri pers. Australia menghapus semua pajak iklan komersial di televisi. Pemerintah Kanada mengalokasikan bujet iklan untuk kampanye program pemerintah dalam penanganan Covid-19 kepada media massa.
Pemberian insentif kepada perusahaan pers bukan semata-mata untuk menyelamatkan media tersebut. Dalam negara demokrasi yang sehat, pers memegang fungsi penting. Di musim pandemiseperti saat ini, keberadaanmedia massa yang sehat danprofesional juga sangatpenting untuk memverifikasi berbagai informasi. Hasilnya bisa menjadi pijakan masyarakat dan pemerintah dalam mengambil keputusan.
Sungguh benar bahwa belakangan ini muncul banyak media massa yang bersikap partisan. Sebagian tidak bekerja untuk kepentingan publik dan menjadi sekadar corong pemilik modal. Fenomena ini selalu menjadi autokritik di kalangan pekerja pers. Usaha pembenahan untuk mengurangi penyimpangan itu tak kurang-kurang. Dari perspektif lain, itu artinya kebutuhan akan pers yang sehat menjadi lebih besar.